Oleh : Muslimin.M
Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 menjadi salah satu pilkada yang paling dinamis dan penuh perhatian publik, bahkan tidak sedikit yang memberi penilaian dengan ungkapan “pilkada serasa pilpres”. Antusiasme pemilih terlihat jelas sejak masa kampanye, mulai dari debat publik hingga acara-acara yang dilakukan masing-masing tim sukses. Media termasuk media sosial juga begitu berperan besar dalam memberitakan proses itu dan menjadi salah satu yang berperan aktif dalam meningkatkan partisipasi aktif pemilih, hal ini mencerminkan betapa keterlibatan publik begitu tinggi. Pilkada Jakarta bukan hanya tentang siapa yang terpilih, tetapi juga tentang semangat demokrasi dan partisipasi aktif masyarakat. Antusiasme masyarakat dari berbagai kalangan dan latar belakang, berbagai usia menunjukkan bahwa ketika rakyat merasa suaranya dihargai, mereka akan dengan sukarela, penuh semangat berpartisipasi dalam proses demokrasi. Dari cerita pilkada DKI ini, saya akan melanjutkan tulisan ini dengan tema “partisipasi pemilih”.
Lima bulan lagi tepatnya november 2024 pemilihan kepala daerah( pilkada) akan digelar secara serentak. Pilkada tahun 2024 ini merupakan bentuk implementasi dari sistem demokrasi dan juga merupakan penerapan sila keempat Pancasila dan pasal 1 (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilu atau pilkada merupakan mekanisme untuk memilih wakil rakyat di lembaga Legislatif di tingkat pusat maupun daerah, presiden dan wakil presiden dan kepala daerah. Kalau kita melihat sejarah pemilu, pemilihan umum di Indonesia sejak 1955 hingga saat ini yang terakhir di Pemilu serentak Pebruari 2024 tahun ini, mengalami banyak sekali perubahan dari aspek kerangka hukum, penyelenggara, tahapan, peserta, kelembagaan, Pelanggaran, maupun manajemen pelaksanaannya,termasuk pilkada-pilkada yang sudah berlangsung beberapa kali pelaksanaan.
Salah satu indikator kita dalam menilai sukses nya penyelenggaraan pilkada adalah tingginya partispasi politik yang diwujudkan dengan pemberian hak suara oleh masyarakat yang telah mempunyai hak pilih. Boleh dikatakan bahwa semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam proses pilkada, maka akan semakin baik proses demokrasinya, pun sebaliknya. Tingkat partispasi yang rendah pada umumnya dianggap sebagai tanda yang kurang baik karena dapat ditafsirkan bahwa banyak warga tidak menaruh perhatian serius terhadap demokrasi atau ekstrimnya tidak begitu peduli dengan nasib daerahnya, padahal indikator kepedulian terhadap daerah itu adalah dengan aktif dan sadar memilih kepala daerah yang dianggap layak dan pantas.
Partisipasi pemilih
Peran serta dan partisipasi masyarakat dalam politik merupakan kegiatan politik baik secara perorangan maupun kelompok untuk turut serta secara aktif dalam kehidupan politik, dengan jalan memilih pimpinan negara, dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah( public policy.) Secara konvensional kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai politik.
Partisipasi masyarkat masih dipahami sebagai upaya mobilisasi masyarakat untuk kepentingan Pemerintah atau Negara, Padahal sebenarnya partisipasi idealnya masyarakat ikut serta dalam menentukan kebijakan Pemerintah yaitu bagian dari kontrol masyarakat terhadap kebijakan Pemerintah. Partisipasi politik akan berjalan selaras manakala proses politik berjalan secara stabil. Seringkali ada hambatan partisipasi politik ketika stabilitas politik belum bisa diwujudkan, karena itu penting untuk dilakukan oleh para pemegang kekuasaan untuk melakukan proses stabilisasi politik. Disamping itu pula proses berikutnya melakukan upaya pelembagaan politik sebagai bentuk dari upaya untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengaktualisasikan cita-citanya.
Salah satu ruang publik yang cukup besar pengaruhnya dalam membentuk karakter pemilih adalah media sosial, tentu media sosial ini mempunyai pengaruh sangat besar dalam menyebarkan dan menerima informasi bukan hanya dari aspek positifnya aspek negatifnya juga kadang tidak terhindarkan, media sosial bisa membuat sejumlah orang optimis bahkan pesimis terhadap Pemilu atau pilkada. Rasa pesimis pada sebagian orang tentu merupakan persoalan besar bagi Komisi Pemilihan Umum ditengah gencarnya himbauan untuk berpartisipasi secara aktif dalam setiap pemilu atau pilkada sebab anggapan sebagian orang bahwa memilih adalah hak yang tidak ada sanksi apapun padahal sejatinya hak itu menjadi salah satu penentu keberlangsungan demokrasi dan masa depan bangsa.
Fenomena rendahnya partisipasi politik masyarakat sebagai pemilih merebak pada beberapa pemilu, baik nasional maupun kepala daerah. Sebuah apatisme politik warga negara terhadap proses politik yang ada. Banyak yang akhirnya memilih Golput sebagai sikap politik yang dinilai tepat oleh masyarakat. Demokrasi ini tentu kurang sehat jika partisipasi pemilih dalam pemilu atau pilkada rendah sebab salah satu ukurannya adalah tingginya warga dalam menyalurkan hak pilihnya. Hak pilih menentukan masa depan negara, masa depan pemerintahan, masa depan daerah, setidaknya lima tahun kedepan.
Di kutip dari berbagai sumber bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi rendahnya partisipasi pemilih pada setiap momen pemilu atau pilkada, salah satunya maraknya golput. Menurut Eep Saefullah golput terbagi atas empat golongan. (1) golput teknis, yakni mereka yang karena sebab-sebab teknis tertentu berhalangan hadir ke tempat pemungutan suara, atau mereka yang keliru mencoblos sehingga suaranya dinyatakan tidak sah. (2) golput teknis-politis, seperti mereka yang tidak terdaftar sebagai pemilih karena kesalahan dirinya atau pihak lain ( penyelenggara pemilu). (3) golput politis, yakni mereka yang merasa tak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tak percaya bahwa pileg/pilkada akan membawa perubahan dan perbaikan. 4) golput ideologis, yakni mereka yang tak percaya pada mekanisme demokrasi (liberal) dan tak mau terlibat di dalamnya entah karena alasan fundamentalisme agama atau alasan politik-ideologi lain.
Dari konteks diatas maka kita bisa menarik benang merahnya bahwa faktor penyebab seseorang tidak menggunakan hak pilihnya pada setiap momen pemilu atau pilkada karena faktor teknis, faktor politik, faktor sosialisasi, faktor administrasi. Artinya bahwa permasalahan yang muncul di masyarakat ini bisa dimaknai sebagai permasalahan klasik yang sering muncul ketika menjelang pemilu atau pilkada dan seolah menjadi permasalahan rutin yang terkesan tidak begitu penting, padahal justru ini bisa menjadi pintu masuknya permasalahan hukum pemilu atau pilkada terutama pidana pemilu.
Bahwa kemudian pilkada serentak masih menyisakan beberapa bulan lagi bukan berarti antisipasi akan munculnya permasalahan serius tidak dilakukan, justru penyelenggara pilkada mesti menjadikan waktu yang singkat ini untuk benar-benar serius membenahi masalah masalah klasik tersebut.
Kesuksesan Pilkada pada tahun 2024 ini, tentu dimulai dari kesuksesan penyelenggaranya, bagaimana kemampuan, kecepatan dan ketepatan dalam merespon, memetakan dan memperbaiki permasalahan yang ada secara tepat dan benar sebab secara teknis dan administratif otoritasnya ada pada penyelenggaranya dan tidak boleh salah dalam bertindak sebab sekecil apapun kesalahan itu maka akan selalu membawa konsekuensi baik hukum maupun administrasi.
Pemilihan kepala daerah (pilkada) memiliki peran yang sangat penting dalam sistem pemerintahan demokratis di Indonesia. Beberapa alasan utama mengapa pilkada penting adalah:
Pertama :Kedaulatan Rakyat; Pilkada memungkinkan warga negara untuk berpartisipasi langsung dalam memilih pemimpin lokal mereka, yang merupakan wujud dari kedaulatan rakyat. Ini adalah esensi dari demokrasi di mana kekuasaan berada di tangan rakyat.
Kedua: Aspirasi Lokal; Kepala daerah yang terpilih melalui pilkada diharapkan lebih peka dan responsif terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat setempat. Mereka memiliki tanggung jawab untuk mengelola daerahnya dengan mempertimbangkan kepentingan dan kondisi lokal.
Ketiga :Peningkatan Kualitas Pemerintahan Lokal ; Dengan adanya kompetisi dalam pilkada, diharapkan munculnya pemimpin-pemimpin yang kompeten dan berintegritas. Ini dapat meningkatkan kualitas pemerintahan lokal dan layanan publik yang disediakan.
Stabilitas, legitimasi Politik Pilkada dan desentralisasi akan memberikan legitimasi kepada kepala daerah terpilih, stabilitas politik dan sosial. Kepala daerah yang dipilih melalui proses demokratis cenderung lebih diterima oleh masyarakat luas. Desentralisasi Pilkada adalah bagian penting dari desentralisasi pemerintahan, yang bertujuan untuk memberikan wewenang dan tanggung jawab lebih besar kepada pemerintah daerah. Hal ini memberi ruang yang luas pada pengelolaan sumber daya yang lebih efisien dan relevan dengan kondisi lokal.
Tentu kita sepakat bahwa pilkada merupakan mekanisme penting untuk memperkuat demokrasi, meningkatkan kualitas pemerintahan daerah, dan memastikan bahwa aspirasi dan kebutuhan masyarakat lokal dapat diakomodasi dengan lebih baik. Oleh karena itu, kunci sukses pilkada tahun ini juga sangat tergantung dari partisipasi warga dalam menyalurkan hak pilihnya, tentu dengan catatan bukan aktif karena faktor tertentu semisal karena dibayar.(**)