Oleh : Muslimin.M
Beberapa waktu yang lalu, secara tidak sengaja saya terlibat dalam perbincangan salah satu diskusi dengan kelompok masyarakat di sebuah kedai kopi pinggir jalan, tema yang hangat dibicarakan dalam diskusi lepas itu adalah tentang calon tunggal yang akan melawan kotak kosong dalam pilkada. Ada banyak Pendapat warga tentang hal ini, dan tentu mereka memiliki alasan-alasan, salah satunya karena maraknya fenomena borong partai oleh kelompok tertentu yang seolah olah tidak memberi kesempatan pada calon lain yang ingin berkompetisi.
Melawan kotak kosong atau fenomena calon tunggal dalam momen pilkada bisa dikatakan sebagai gambaran wajah demokrasi kita saat ini. Apakah ini kategori demokrasi kita baik-baik saja ? Atau jangan-jangan memang sehat saja tetapi sengaja dibuat sakit ? demikianlah kondisi saat ini, dan fakta ini telah terkonfirmasi pada pilkada-pilkada sebelumnya, dimana ada puluhan daerah calonnya hanya satu atau tunggal dan harus berhadapan dengan kotak kosong, dan ajaibnya ada beberapa daerah justru kotak kosongnya yang menang.
Dalam kondisi seperti itu, tentu mekanisme pemilihan tetap berjalan dengan pilihan “setuju” atau “tidak setuju” terhadap calon tunggal tersebut. Jika jumlah suara “setuju” melebihi suara “tidak setuju,” maka calon tunggal tersebut akan dianggap terpilih. Namun, jika suara “tidak setuju” lebih banyak, maka pemilihan harus diulang dengan calon yang berbeda.
Kaitan dengan itu, fenomena calon tunggal cukup menarik bagi masyarakat kita dalam konteks demokrasi saat ini, karena bisa mencerminkan situasi politik tertentu di daerah tersebut. Itu artinya bahwa ada kelompok tertentu yang memang ingin menang dalam kompetisi itu dengan model borong partai dan menganggap akan mudah memenangkannya.
Jika kita melihat pilkada serentak tahun 2020 lalu, dimana ada banyak calon tunggal, dari 270 daerah yang menyelenggarakan pilkada tahun itu, ada 25 daerah yang hanya punya satu peserta. 25 daerah itu adalah 1. Humbang Hasundutan; 2. Kota Gunungsitoli; 3. Kota Pematangsiantar (Sumatera Utara); 4. Pasaman (Sumatera Barat); 6. Ogan Komering Ulu (Sumatera Selatan); 7. Bengkulu Utara (Bengkulu); 8. Boyolali; 9. Grobogan; 10. Kebumen; 11. Kota Semarang; 12. Sragen; 13. Wonosobo (Jawa Tengah); 14. Kediri; 15. Ngawi (Jawa Timur); 16. Badung (Bali); 17. Sumbawa Barat (NTB); 18. Kota Balikpapan 19. Kutai Kartanegara (Kalimantan Timur); 20. Gowa; 21. Soppeng (Sulawesi Selatan); 22. Mamuju Tengah (Sulawesi Barat); 23. Manokwari Selatan; 24. Arfak; dan 25. Raja Ampat (Papua Barat).
Jumlah 25 pilkada calon tunggal ini meningkat pesat dibanding pilkada serentak sebelumnya.
Lalu, akankah pilkada tahun 2024 ini akan terulang lagi seperti tahun 2020 lalu ? Dominasi dan tren kenaikan calon tunggal disebabkan banyak hal. Pada dasarnya ini merupakan jalan cepat untuk meraih kursi kepala daerah tanpa menghadapi lawan yang seimbang. Ketidakseimbangan ini tidak bisa lagi diartikan karena kualitas, kapasitas, elektabilitas, maupun integritas dari pasangan calon. Bisa jadi karena faktor lain yang kadang berlawanan dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Suramnya Demokrasi
Pengalaman pada penyelenggaraan Pilkada tahun 2020 lalu, calon tunggal makin menggambarkan sebagai cara alternatif bagi mereka yang berambisi untuk menjadi kepala daerah namun tidak siap bertarung melawan kompetitornya. Fenomena pilkada tahun 2024 ini sepertinya akan tidak begitu berbeda pada tahun 2020 lalu dengan munculnya calon tunggal di beberapa daerah.
Mungkin sebagian masyarakat berharap bahwa pilkada tahun 2024 ini, jangan ada calon tunggal, biarkan masyarakat secara bebas memilih pemimpinnya dengan beberapa pilihan yang ada. Tetapi, tidak mudah memang mengakomodir itu sebab sistem pemilu kita tidak mengatur secara ketat tentang itu. Dibutuhkan evaluasi yang kemudian melahirkan rumusan-rumusan untuk digunakan dalam revisi undang-undang pemilu. Kita Ingin pesta demokrasi melalui pilkada memberi ruang dan kesempatan bagi siapa saja yang dianggap layak dan pantas untuk menjadi kepala daerah dengan cara-cara yang demokratis dan bermartabat, agar dalam proses demokrasi itu lahir kepala daerah yang berkualitas sebagai hasil pilihan rakyat secara jujur dan transparan.
Pilkada 2024 ini berpotensi akan makin bertambah daerah ber calon tunggal dan melawan kotak kosong. Setidaknya ada tiga alasan dalam melihat kondisi itu; (1) pilkadanya lebih banyak dari tahun sebelumnya karena serentak se indonesia baik di provinsi dan kabupaten/kota.(2) karena pilkada ada di satu tahun yang sama dengan pemilu lainnya, pemilu presiden dan pemilu legislatif. (3) ketentuan syarat calon cukup memberatkan bagi yang ingin berkompetisi.
Calon tunggal dalam pilkada bisa membawa implikasi signifikan terhadap masa depan demokrasi. Meskipun bisa terjadi dalam konteks tertentu, fenomena ini menimbulkan sejumlah tantangan yang harus diatasi untuk menjaga kualitas demokrasi yang sehat dan berkelanjutan. Beberapa pertimbangan tentang bagaimana calon tunggal dapat mempengaruhi masa depan demokrasi :
Pertama : Kurangnya Kompetisi ; Demokrasi yang sehat memerlukan kompetisi yang adil dan terbuka. Calon tunggal mengurangi atau bahkan menghilangkan kompetisi, yang bisa menurunkan kualitas pemimpin yang terpilih.
Kedua : Kehilangan Kepercayaan Publik ; Jika pemilih merasa mereka tidak memiliki pilihan yang berarti, ini dapat menurunkan partisipasi dan kepercayaan mereka terhadap proses demokrasi.
Ketiga : Potensi Otoritarianisme ; Tanpa pesaing, calon tunggal kurang merasa perlu untuk mempertanggungjawabkan kebijakan dan tindakannya yang bisa mengarah pada perilaku otoriter.
Untuk masa depan demokrasi yang sehat, penting untuk memastikan bahwa setiap pemilihan memberikan kesempatan bagi kompetisi yang adil dan terbuka. Calon tunggal, meskipun bisa terjadi dalam situasi tertentu, tidak boleh menjadi norma yang menghalangi proses demokrasi yang sebenarnya. Dengan reformasi yang tepat, dukungan kepada calon independen, edukasi politik yang lebih baik, dan pengawasan yang ketat, demokrasi dapat diperkuat dan kepercayaan publik dapat dipulihkan.
Tentu, kita juga menyadari bahwa fenomena melawan kotak kosong adalah konsekuensi tidak edukatif bagi demokrasi kita. Padahal sejatinya sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, kompetisi dan persaingan dalam memperebutkan pemenang pilkada adalah otoritas rakyat, sebab rakyatlah yang berkuasa dan pemberi mandat yang sesungguhnya pada pemenang pilkada.(**)