Oleh : Muslimin.M
Ada yang cukup menarik dari pidato presiden Prabowo Subiyanto pada HUT Golkar Beberapa hari yang lalu yaitu tentang pilkada yang berbiaya mahal dan tidak efisien, bukan tanpa alasan mengapa presiden Prabowo menyampaikan itu, selain merespon apa yang disampaikan oleh ketua umum Golkar tentang pilkada langsung yang berbiaya mahal, pun juga faktanya memang demikian, dan sebetulnya persoalan ini bukan hal baru bahkan beberapa tahun lalu sudah sering diwacanakan.
Jika kita mundur kebelakang sejak dimulai nya sistem pemilu terbuka atau pemilu langsung termasuk Pilkada, tentu kita akan sepakat bahwa memang pemilu atau pilkada dengan sistem terbuka ini meskipun memiliki potensi untuk meningkatkan kualitas demokrasi dan memberikan lebih banyak pilihan bagi pemilih, tetapi ternyata menghadapi sejumlah permasalahan serius dan justru berpotensi merusak demokrasi yang sedang dibangun.
Salah satu permasalahan serius yang sering muncul dalam Pilkada langsung adalah maraknya politik uang, calon kepala daerah yang memiliki sumber daya finansial yang lebih besar dapat mendominasi kampanye, membeli dukungan atau memengaruhi pemilih dengan cara yang tidak adil. Pemilihan yang bergantung pada kekuatan dana dapat merugikan calon yang lebih berkompeten namun tidak memiliki dukungan finansial yang cukup.
Meskipun sistem terbuka memberi peluang bagi banyak calon untuk ikut berkompetisi, termasuk yang berasal dari kalangan independen. Namun, ketidaksetaraan dalam akses terhadap sumber daya seperti dana, infrastruktur dan jaringan relawan menjadi kurang menguntungkan. Calon independen atau non partai sering kesulitan untuk membiayai kampanye mereka secara efektif sehingga suaranya tereduksi meskipun memiliki kualitas atau visi yang lebih baik.
Pilkada dengan sistem terbuka, tentu pemilih memiliki kebebasan untuk memilih berdasarkan pilihan masing-masing, tetapi disisi yang lain juga membuka potensi bagi calon yang kurang berkualitas atau tidak berpengalaman untuk maju. Tanpa adanya mekanisme seleksi yang ketat dari partai politik, pemilih bisa saja memilih calon yang tidak memiliki kapasitas memadai untuk memimpin daerah yang berdampak pada buruknya kualitas pemerintahan.
Ada banyak kalangan yang menilai bahwa Pilkada dengan sistem terbuka memiliki potensi besar untuk menciptakan pemimpin yang lebih merakyat dan demokratis, tetapi kita juga tidak boleh menutup mata tentang fakta yang ditimbulkan dari pilkada langsung itu sendiri, pragmatisme pemilih yang berujung transaksional jual beli suara adalah masalah klasik dan sering muncul disetiap momen pilkada langsung itu, padahal perangkat regulasi dan lembaga nya pun juga sudah ada.
Lalu, bagaimana dengan sistem tidak langsung atau melalui perwakilan ?, secara teori pilkada dengan sistem perwakilan adalah sebuah model di mana pemilihan kepala daerah tidak dilakukan secara langsung oleh rakyat, melainkan melalui perwakilan dari lembaga legislatif, seperti DPRD. Dalam sistem ini, anggota legislatif di daerah bertindak sebagai perwakilan rakyat yang biasanya dalam pilkada langsung memerlukan biaya yang sangat besar, baik dari sisi penyelenggaraan pemilu, kampanye, maupun logistik. Dengan menggunakan sistem perwakilan, biaya tersebut dapat ditekan karena tidak ada pemilu langsung yang melibatkan seluruh warga negara.
Dari konsep diatas, timbul pertanyaan besar di masyarakat, bagaimana pola dan mekanisme nya ?, jangan-jangan kita hanya memindahkan permasalahan di rakyat ke gedung parlemen ?. Meskipun kita memahami bahwa anggota legislatif yang memilih kepala daerah dalam sistem ini cenderung lebih memiliki pemahaman yang mendalam tentang situasi politik dan pemerintahan daerah, dapat mengurangi risiko politisasi pemilu langsung yang bisa memecah belah masyarakat dan meningkatkan polarisasi, namun jika pola dan mekanisme nya tidak dirubah, maka masalah yang ada di pilkada langsung hanya berpindah tempat, hanya memindahkan transaksi.
Idealnya Bagaimana
Jika pola dan sistem nya dirubah dipilkada tidak langsung, maka sistem ini dapat menjadi alternatif yang lebih efisien dan terfokus dalam memilih kepala daerah, tetapi juga mengandung sejumlah risiko yang dapat mengurangi akuntabilitas dan transparansi dalam pemerintahan. Meskipun sistem ini dapat mengurangi biaya dan menciptakan stabilitas politik, tetapi juga berpotensi mengurangi keterlibatan rakyat dalam proses demokrasi yang dapat memengaruhi legitimasi pemerintahan daerah.
Oleh karena itu penting untuk mencari keseimbangan antara efisiensi dan partisipasi rakyat dalam menentukan siapa yang akan memimpin daerah. Dalam konteks demokrasi yang lebih matang, pilkada langsung sering dianggap lebih baik karena lebih mewakili kehendak rakyat. Namun dalam kondisi tertentu, Pilkada melalui perwakilan bisa menjadi pilihan yang lebih praktis, tergantung pada situasi politik dan kebutuhan spesifik daerah tersebut.
Sistem Pilkada melalui perwakilan yang paling ideal adalah sistem yang mampu menggabungkan efisiensi dalam penyelenggaraan pemilu dengan partisipasi masyarakat yang tetap tinggi, serta menjaga akuntabilitas dan transparansi dalam pemilihan kepala daerah.
Dalam sistem ini anggota legislatif di daerah tetap memiliki peran penting sebagai perwakilan rakyat dalam memilih kepala daerah, tetapi prosesnya harus dirancang sedemikian rupa agar tidak mengabaikan suara rakyat dan tetap mencerminkan aspirasi mereka.
Kita ingin agar pilkada perwakilan bisa mencerminkan kehendak rakyat secara tepat, anggota legislatif yang memilih kepala daerah harus memiliki pengetahuan yang luas tentang calon-calon yang ada, serta mengutamakan kepentingan publik dalam memilih. Oleh karena nya anggota legislatif harus dipilih dari kelompok yang memiliki kualitas dan kompetensi tinggi dalam memahami dinamika pemerintahan dan kebutuhan masyarakat.
Meskipun Pilkada dilakukan oleh perwakilan legislatif, proses pemilihan kepala daerah harus dilakukan secara transparan. Masyarakat harus bisa memantau jalannya pemilihan dan mengetahui alasan di balik keputusan anggota legislatif dalam memilih calon kepala daerah, proses ini tentu dapat meningkatkan akuntabilitas, mengurangi potensi penyalahgunaan wewenang dan memberikan legitimasi yang lebih kuat terhadap pemimpin yang terpilih.
Ada banyak pemikiran agar sistem ini tetap mengakomodasi aspirasi rakyat, sebaiknya ada mekanisme yang memberi ruang kepada masyarakat berpartisipasi dalam menentukan calon-calon yang akan diusulkan ke legislatif. Misalnya melalui sistem pencalonan publik atau forum diskusi masyarakat untuk menyaring calon-calon kepala daerah sebelum diajukan kepada anggota legislatif untuk dipilih. Dengan cara ini, rakyat tetap memiliki pengaruh terhadap calon-calon yang dipilih meskipun tidak langsung memilih kepala daerah.
Kemudian supaya tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan atau intervensi politik dalam proses pemilihan, diperlukan lembaga pengawas yang kuat dan independen. Lembaga ini bertugas memastikan bahwa pemilihan kepala daerah oleh legislatif berlangsung secara adil dan tanpa adanya tekanan dari pihak manapun, baik dari partai politik maupun kelompok tertentu. Pengawasan ini akan memberikan rasa kepercayaan kepada publik bahwa keputusan yang diambil benar-benar berdasarkan pada pertimbangan terbaik untuk masyarakat.
Kita ingin dalam pola ini, calon kepala daerah tidak hanya datang dari kalangan partai politik, tetapi juga bisa datang dari calon independen yang memiliki kualitas kepemimpinan yang mumpuni. Legislatif harus memastikan bahwa calon-calon yang diajukan benar-benar memenuhi kriteria untuk memimpin daerah, seperti integritas, rekam jejak, dan visi yang jelas untuk kemajuan daerah. Pencalonan calon kepala daerah harus melalui seleksi yang terbuka dan adil.
Pilkada melalui perwakilan yang ideal harus mengedepankan pemilihan berdasarkan rekam jejak dan kualitas kinerja calon kepala daerah. Pemilih legislatif perlu menilai calon-calon yang ada bukan hanya berdasarkan popularitas, tetapi juga berdasarkan pengalaman, visi, dan program kerja yang jelas. Dengan pemikiran seperti itu kepala daerah yang terpilih memiliki kompetensi dan integritas untuk memimpin dengan baik.
Mungkin kita sepakat bahwa sistem Pilkada melalui perwakilan yang ideal adalah sistem yang tidak hanya efisien dalam penyelenggaraannya, tetapi juga memastikan partisipasi rakyat tetap terjaga melalui mekanisme transparansi, pengawasan, dan pencalonan yang adil. Dengan memperkuat kualitas legislatif, menjamin akuntabilitas, dan memastikan calon-calon yang dipilih berkualitas, sehingga output dari pilkada melalui sistem ini benar-benar berkualitas sesuai harapan masyarakat.(**)