Oleh : Muslimin.M
Dua hari yang lalu saya melihat sebuah video disalah satu aplikasi media sosial yaitu tiktok, dimana dalam video pendek itu ada seseorang yang memberi penjelasan yang isinya kurang lebih sama dengan judul tulisan ini. Bagi saya ini menarik dan perlu diurai lebih dalam tentang fenomena tersebut dan tentunya menjadi referensi penting bagi saya bahwa apa yang disampaikan itu memang benar adanya dan menggambarkan fakta yang ada saat ini, karena itu saya terinspirasi untuk membuat sebuah tulisan untuk mengurai secara terbatas tentang fenomena tersebut.
Tidak dipungkiri bahwa kondisi pendidikan kita saat ini memang berada dalam situasi yang kurang begitu menggembirakan, ada banyak fakta yang membenarkan kondisi itu salah satunya tentang banyaknya para siswa yang secara akademis begitu meyakinkan tetapi tidak menggambarkan kondisi nilai akademis itu sendiri dengan kompetensinya. Sebagai contoh seseorang yang memiliki nilai A dalam teori matematika tetapi kesulitan menyelesaikan masalah praktis atau aplikasi matematika dalam konteks kehidupan sehari-hari atau pekerjaan, meskipun dia mampu menghafal atau menguasai konsep secara teoritis, keterampilan untuk berpikir kritis, menyelesaikan masalah dan beradaptasi dalam situasi yang tidak terstruktur masih lemah.
Fenomena ini sering terjadi karena bisa jadi proses pembelajaran yang terlalu fokus pada penghafalan atau ujian berbasis teori, tanpa memberikan cukup ruang untuk pengembangan keterampilan praktis dan penerapan pengetahuan secara langsung.
Nilai akademik sering diukur dari kemampuan seseorang dalam mengingat, menghafal dan mengerjakan soal-soal ujian dengan benar, bukan kemampuan untuk menerapkan pengetahuan tersebut dalam situasi nyata. “Pentingnya penguasaan keterampilan kritis dan pemecahan masalah yang tidak selalu tercermin dalam nilai ujian”. ( Rober j. Marzano).
Sistem pendidikan yang sangat mengandalkan ujian tertulis atau tes formatif dan sering mengabaikan keterampilan praktis dan kemampuan “soft skills” (seperti komunikasi, kepemimpinan, dan kerjasama tim) akan menjadi masalah bagi output dari sistem pendidikan itu sendiri, dimana aspek kognitif nya begitu dominan dari pada aspek afektif dan psikomotorik. Profesor Howard Gardner yang dikenal dengan teori kecerdasan majemuk, berpendapat bahwa “kecerdasan dan kompetensi siswa dapat lebih luas dari sekadar nilai akademik yang diperoleh dalam ujian tradisional”.
Arahnya
Secara teoritis banyak kalangan memahami bahwa betapa pentingnya pendidikan yang holistik, di mana siswa tidak hanya dinilai berdasarkan nilai akademiknya tetapi juga pada pengembangan keterampilan interpersonal, kreativitas dan kemampuan praktis lainnya, sistem pendidikan harus mempersiapkan siswa untuk berbagai aspek kehidupan, bukan hanya untuk menghadapi ujian.
Disisi yang lain ada tuntutan tentang perlunya pengembangan kompetensi praktis, seperti keterampilan teknis, pemecahan masalah dan pemikiran kritis, sambil tetap memberikan perhatian pada pencapaian akademik. Misalnya, pendidikan vokasi atau pendidikan berbasis proyek dapat membantu menghubungkan pengetahuan dengan keterampilan praktis yang berguna dalam dunia profesional.
Secara umum kita tentu sependapat bahwa meskipun nilai akademik tinggi merupakan pencapaian yang patut dihargai, kompetensi praktis dan kemampuan untuk mengaplikasikan pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari adalah indikator yang lebih penting untuk kesuksesan jangka panjang. Nilai akademik dan kompetensi harus berjalan seiring untuk mempersiapkan seseorang kompeten dan siap menghadapi tantangan dunia yang terus berkembang.
Nilai akademik tinggi tetapi minim kompetensi menggambarkan ketidaksesuaian antara pencapaian akademik dan kemampuan praktis yang sebenarnya. Hal ini bisa kita lihat dari dua perspektif :
Pertama: Terlalu fokus pada Ujian dan Teori. Dalam sistem pendidikan tradisional, nilai akademik lebih menilai kemampuan seseorang dalam menghafal informasi dan menyelesaikan soal ujian daripada mengembangkan keterampilan praktis atau kemampuan problem solving yang sesungguhnya, sehingga hasilnya siswa atau mahasiswa yang mendapatkan nilai tinggi hanya terbiasa dengan ujian berbasis teori tanpa dilatih untuk menerapkan pengetahuan tersebut dalam situasi dunia nyata.
Kedua : Kurangnya Soft Skills dan Pengalaman Praktis. Kompetensi tidak hanya ditentukan oleh pengetahuan teoretis, tetapi juga oleh soft skills (seperti komunikasi, kreativitas, dan kemampuan bekerja dalam tim) serta pengalaman praktis. Seseorang dengan nilai akademik tinggi kurang terlatih dalam keterampilan ini karena proses belajar yang terlalu terfokus pada pencapaian akademik sering mengabaikan pengembangan keterampilan interpersonal atau pengalaman lapangan yang dapat meningkatkan kompetensi.
Dari perspektif diatas, tentu ada yang tidak setuju tetapi ada juga sebagian kalangan berpendapat bahwa nilai akademik tinggi tetap menunjukkan dasar pengetahuan yang kuat yang dapat berguna untuk pengembangan kompetensi di masa depan, terutama jika diberikan kesempatan untuk belajar secara lebih praktis atau mengalami pembelajaran berbasis proyek.
Namun, perlu juga kita fahami bahwa tanpa kemampuan untuk mengaplikasikan pengetahuan tersebut dalam konteks praktis atau menyelesaikan masalah dunia nyata, nilai akademik tinggi bisa menjadi kurang berarti. Pekerja atau profesional yang memiliki pengetahuan teoretis tanpa kompetensi praktis akan kesulitan beradaptasi dengan tuntutan pekerjaan yang lebih dinamis dan memerlukan keterampilan teknis serta pemecahan masalah.
Secara umum kita bisa memaknai bahwa kesenjangan antara nilai akademik dan kompetensi praktis ini menunjukkan betapa pentingnya pendidikan yang holistik yang tidak hanya mengejar nilai tinggi, tetapi juga menekankan pengembangan keterampilan yang relevan dan aplikatif. Artinya bahwa aspek kognitif, aspek afektif dan aspek psikomotorik tidak hanya berbasis teoritis semata tetapi juga harus terpraktek secara bersamaan dalam proses kegiatan belajar mengajar, sehingga output dari proses pendidikan itu menjadi lebih baik dan ada kesesuaian antara nilai akademis dan kompetensi yang dimilikinya.(**)