Oleh : Muslimin.M
Kejaksaan Agung menetapkan tujuh tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina, Subholding, dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) pada 2018-2023. Bagaimana modus dugaan korupsi yang merugikan negara hingga Rp193,7 triliun itu ?
Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar, menjelaskan para tersangka terdiri dari empat orang petinggi anak perusahaan PT Pertamina dan tiga lainnya dari pihak swasta.
“Perbuatan melawan hukum tersebut telah mengakibatkan adanya kerugian keuangan negara sekitar Rp193,7 triliun,” kata Abdul Qohar di Gedung Kejaksaan Agung Jakarta, Senin (24/02) malam.
Kerugian negara itu, kata Qohar, bersumber dari kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri, kerugian impor minyak mentah melalui broker, kerugian impor bahan bakar minyak (BBM) melalui broker dan kerugian dari pemberian kompensasi serta subsidi(BBC.new,27/2/25)
Peristiwa dugaan korupsi di Pertamina tersebut diatas betapa menyesakkan dada hampir semua warga negara, bukan hanya karena nilai dugaan korupsi nya tetapi efek mesin kendaraan yang ditimbulkan dari dugaan oplosan BBM tersebut, terutama konsumen yang setiap harinya mempergunakan minyak jenis pertamax(meskipun belum ada data real).
Maraknya kasus korupsi di kalangan pejabat beberapa tahun terakhir ini baik di pemerintahan maupun di swasta merupakan masalah yang sangat serius dan mengancam stabilitas sosial serta ekonomi negara. Korupsi pada penyalahgunaan kekuasaan yang dimiliki pejabat publik untuk kepentingan pribadi seperti suap, pemerasan, penggelapan dana negara. Di banyak negara, termasuk Indonesia, tindakan ini sudah menjadi permasalahan yang kerap terjadi dan terus berkembang seiring berjalannya waktu.
Banyak hal yang memicu maraknya korupsi, seperti lemahnya sistem pengawasan, kurangnya transparansi dalam pengelolaan anggaran, dan budaya politik yang permisif terhadap praktik tidak jujur. Pejabat publik yang seharusnya menjadi teladan bagi masyarakat, justru terlibat dalam tindakan yang merugikan kepentingan umum. Gaji yang dirasa tidak mencukupi (padahal sangat fantastis) serta kesempatan yang terbuka lebar untuk memperoleh keuntungan ilegal, membuat mereka tergoda untuk menyalahgunakan kekuasaan.
Secara teori, tindakan korupsi memiliki dampak yang sangat luas, baik secara ekonomi maupun sosial. Dari segi ekonomi, uang negara yang seharusnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat, justru diselewengkan. Kondisi ini tentu menghambat kemajuan negara dan memperburuk ketimpangan sosial. Disisi sosial, korupsi merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan lembaga negara, menciptakan ketidakadilan yang memperburuk hubungan antara rakyat dan pejabat.
Pemberantasan korupsi membutuhkan upaya yang kuat dan berkelanjutan, dengan memperkuat lembaga anti korupsi, melakukan reformasi dalam sistem pengawasan, dan mengedukasi masyarakat tentang bahaya dan dampak dari korupsi. Tanpa adanya langkah konkret dan komitmen bersama, maraknya korupsi akan terus menggerogoti integritas pemerintah dan merugikan rakyat.
Rapuhnya Integritas
Korupsi bukan sekadar masalah hukum, tetapi juga cerminan rapuhnya integritas dalam sistem pemerintahan. Ketika integritas seorang pejabat publik tergerus, keinginan untuk memanfaatkan kekuasaan demi keuntungan pribadi menjadi lebih besar, mengorbankan kepentingan rakyat dan masa depan bangsa. Korupsi yang seharusnya menjadi musuh bersama, justru semakin merajalela dan sulit diberantas karena lemahnya prinsip moral dan etika di kalangan pejabat publik yang seharusnya menjadi teladan bagi masyarakat.
Integritas dalam konteks ini, bukan hanya soal kejujuran dan ketulusan, tetapi juga soal komitmen terhadap tanggung jawab dan kewajiban moral yang diemban oleh seorang pemimpin publik. Ketika seseorang menduduki posisi kekuasaan, harusnya mampu menjaga kepercayaan rakyat atau pimpinan yang telah memberikan mandat kepadanya. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Pejabat publik yang seharusnya mengutamakan kepentingan rakyat, malah lebih memprioritaskan kepentingan pribadi dan kelompoknya, dan inilah yang menjadi akar dari maraknya praktik korupsi di berbagai level pemerintahan.
Publik akan berpandangan bahwa penyebab utama maraknya korupsi karena rapuhnya integritas di kalangan pejabat publik itu sendiri, bukan semata mata karena tekanan ekonomi sebab faktanya banyak pejabat yang bergaji tinggi menjadi pelakunya, tetapi sikap tamak, rakus, godaan untuk memperoleh keuntungan cepat, bisa juga karena budaya politik yang permisif terhadap tindakan koruptif menciptakan lingkungan yang korup. Pejabat yang merasa terjebak dalam situasi yang sulit tergoda untuk mencari jalan pintas yakni dengan menyalahgunakan wewenang untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan kelompoknya. Dan kondisi ini semakin diperburuk dengan minimnya pengawasan dan akuntabilitas yang memberi rasa aman kepadanya dan beranggapan bahwa tindakan koruptif nya tidak akan terdeteksi dan dihukum.
Korupsi bukan hanya soal tindakan ilegal semata. Ia juga menyentuh dimensi moral. Ketika pejabat publik kehilangan integritasnya, tidak hanya merusak sistem pemerintahan, tetapi juga merusak tatanan sosial. Korupsi merampas hak rakyat atas pelayanan publik yang layak, menghambat pembangunan yang seharusnya bisa dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Infrastruktur yang terbengkalai, pendidikan yang kurang memadai, dan pelayanan kesehatan yang buruk adalah contoh nyata betapa dampak korupsi merugikan banyak orang.
Lemahnya integritas berakar pada sistem yang tidak memberikan contoh baik dan keteladanan dari pemimpin. Tanpa adanya sanksi yang berat dan pengawasan yang ketat, pejabat publik merasa kebal dari hukum. Rasa impunitas ini memunculkan sikapdan stigma bahwa “semua orang juga melakukannya”, sehingga korupsi tidak lagi dianggap sebagai suatu kesalahan, melainkan sebuah kebiasaan yang dianggap biasa dalam politik dan birokrasi.
Untuk itu, pemberantasan korupsi harus dimulai dari upaya membangun kembali integritas di kalangan pejabat publik. Pendidikan karakter dan etika, penguatan lembaga pengawas yang independen, serta sistem akuntabilitas yang transparan dan adil merupakan langkah penting dalam memperbaiki sistem yang rusak. Integritas harus ditanamkan sejak dini, baik di lingkungan keluarga, pendidikan, maupun dalam lingkungan kerja, sehingga ketika seseorang menempati posisi publik, bisa mempertahankan nilai-nilai moral dan etika yang tinggi.
Penting bagi kita untuk menyadari bahwa korupsi bukan hanya masalah personal, tetapi masalah kolektif yang memerlukan perubahan sistemik. Hanya dengan membangun dan menjaga integritas di semua lini pemerintahan, kita bisa berharap untuk menciptakan sebuah bangsa yang bebas dari korupsi dan mewujudkan negara yang benar-benar berpihak kepada rakyat. Tanpa integritas, kemajuan dan keadilan hanya akan menjadi wacana belaka.
Kita tentu sepakat bahwa korupsi merupakan salah satu masalah paling krusial yang dihadapi negara saat ini, sebab tidak hanya merugikan perekonomian, tetapi juga menghancurkan integritas lembaga-lembaga negara dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Integritas begitu sangat penting saat ini dan menjadi salah satu kualitas yang paling berpengaruh dalam kepemimpinan dan pelayanan publik. Seorang pejabat publik dengan integritas yang kuat akan mampu mempertahankan prinsip moral dan etika dalam pengambilan keputusan. Korupsi dimulai dari rapuhnya integritas seseorang, ketika seorang pejabat kehilangan kemampuannya untuk menilai tindakan berdasarkan nilai moral, maka akan lebih mudah tergoda untuk menyalahgunakan kekuasaan yang dimilikinya.
Singkatnya, pemberantasan korupsi tidak hanya membutuhkan pendekatan hukum yang tegas, tetapi juga upaya untuk membangun kembali integritas dikalangan pejabat publik. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah melalui pendidikan dan pelatihan yang mengedepankan pentingnya etika, moralitas, dan tanggung jawab dalam kepemimpinan. Pejabat publik harus dilatih untuk menempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadinya.
Reformasi dalam sistem pengawasan dan akuntabilitas sangat diperlukan. Proses pengambilan keputusan yang lebih transparan dan melibatkan partisipasi publik akan mengurangi ruang untuk penyalahgunaan kekuasaan. Pembentukan lembaga yang kuat untuk mengawasi tindakan pejabat sangat penting agar setiap penyimpangan bisa terdeteksi sejak dini
Akhirnya, kita merasa miris bahwa korupsi yang marak dikalangan pejabat publik saat ini menggambarkan rapuhnya integritas dalam sistem pemerintahan kita saat ini. Ketika integritas seseorang hancur, tidak hanya pejabat tersebut yang rugi, tetapi seluruh masyarakat merasakan dampaknya. karena itu, membangun kembali integritas, baik melalui pendidikan, pengawasan yang ketat, maupun pembenahan sistem adalah langkah penting dalam mencegah korupsi dan memastikan bahwa pemerintahan dapat berfungsi dengan baik untuk kepentingan rakyat secara umum.(**)