Oleh : Muslimin.M
Di sebuah kota besar dimana birokrasinya telah rusak sebagai akibat korupsi yang merajalela dan telah menjadi rahasia umum. Kota ini terkenal dengan gedung-gedung pencakar langit dan kemajuan teknologinya, tetapi di balik gemerlapnya, terdapat jaringan korupsi yang merajalela.
Rina, seorang pegawai negeri yang jujur dan berdedikasi. Rina bekerja di Dinas Kesehatan Kota itu, dan tugasnya adalah memastikan program kesehatan berjalan lancar. Namun, ia sering kali menghadapi berbagai hambatan yang tak masuk akal.
Suatu hari, Rina menemukan bukti bahwa dana yang seharusnya digunakan untuk membeli obat-obatan dan peralatan medis telah diselewengkan oleh pejabat tinggi di kantornya. Uang tersebut dialihkan untuk proyek-proyek fiktif dan masuk ke kantong pribadi para pejabat tersebut.
Rina merasa perlu mengungkapkan kebenaran ini, tetapi ia tahu risikonya sangat besar. Para pejabat korup ini memiliki koneksi kuat hingga ke tingkat pemerintahan pusat. Mereka tidak segan-segan menggunakan kekuasaan mereka untuk mengancam siapa saja yang mencoba mengungkapkan kejahatan mereka.
Dengan tekad yang kuat, Rina mulai mengumpulkan bukti-bukti dan bekerja sama dengan beberapa jurnalis investigasi yang berani. Perlahan tapi pasti, mereka berhasil mengungkap skandal ini ke publik. Meski menghadapi banyak ancaman dan intimidasi, kebenaran akhirnya terkuak.
Skandal ini memicu gelombang protes di Kota tersebut. Masyarakat yang selama ini merasa diabaikan oleh pemerintah akhirnya bangkit dan menuntut perubahan. Kasus korupsi ini menjadi titik balik, memaksa pemerintah untuk membersihkan birokrasi dan memperbaiki sistem yang selama ini rusak.
Cerita ini menunjukkan bahwa meskipun korupsi dan birokrasi yang rusak bisa menghancurkan banyak aspek kehidupan masyarakat, selalu ada harapan bagi perubahan. Dengan keberanian dan dedikasi, bahkan individu biasa seperti Rina bisa membuat perbedaan besar.
Sepak terjang Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK) dalam beberapa tahun terakhir, yang melakukan operasi tangkap tangan terhadap pejabat baik di pusat maupun di daerah termasuk sejumlah kepala daerah, mengingatkan kembali akan masalah yang dihadapi aparatur sipil negara (ASN) kita. Setelah turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan pada 1998, ada kemajuan dalam reformasi sistem politik dan kebebasan masyarakat sipil di Indonesia. Sayangnya, hal itu tidak diimbangi dengan perkembangan reformasi birokrasi yang progresif, dan justru tren kasus korupsi cenderung naik.
Sistem politik yang lebih demokratis pasca-era Soeharto ternyata juga membawa implikasi negatif bagi birokrasi. Studi yang dilakukan para akademik mengenai partai politik dalam sistem pemilihan umum langsung anggota DPR dan kepala daerah di era demokrasi mengidentifikasi tingginya biaya politik (Mietzner, 2013; Anung 2013).
Akibatnya, politikus yang berpeluang besar terpilih di legislatif menjadi kepala daerah (bupati, wali kota, atau gubernur) adalah yang memiliki modal kapital sendiri, tokoh populer yang didukung pemodal, atau bagian dari dinasti politik yang sangat berkuasa di daerah setempat. Bila terpilih, ketiga jenis politikus ini akan mempunyai motivasi yang sama: mengembalikan modal politik.
Dalam konteks kepala daerah, mereka akan memanfaatkan posisi untuk mengumpulkan dana sebesar-besarnya lewat jual-beli jabatan dengan birokrat yang bersedia membayar dengan harga tinggi. Kemudian, kepala daerah bekerja sama dengan birokrat tersebut untuk mengeksploitasi anggaran pendapatan dan belanja daerah, yang biasanya memberikan fasilitas proyek kepada pemodal untuk mengembalikan utang modalnya. Inilah yang dinamakan sebagai politisasi birokrasi (Dwiyanto, 2015).
Keberadaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang sekarang sudah di ubah menjadi undang-undang nomor 20 tahun 2023 sebenarnya ditujukan untuk mengatasi masalah politisasi birokrasi tersebut. Tetapi faktanya juga jauh dari ekspektasi publik, proses seleksi pejabat tinggi aparat sipil Negara dibuat lebih terbuka dan akuntabel dengan mewajibkan adanya tiga kandidat untuk satu posisi. Kemudian, Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dibentuk untuk meminimalkan politisasi birokrasi dengan kewenangan mengawasi, dan bahkan bisa membatalkan proses rekrutmen serta seleksi pejabat yang terindikasi korupsi, kolusi, dan nepotisme, tapi ternyata pejabat dari hasil seleksi itu juga tidak signifikan dalam mengurangi perilaku korupsi, bahkan nyaris tidak berpengaruh.
Korupsi dan birokrasi
Indonesian Corruption Watch(ICW) melaporkan hasil pantauan tren korupsi pada 2023. Peneliti ICW Diky Ananda mengatakan ada lonjakan kasus korupsi pada tahun 2023 dengan total 791 kasus dan 1695 tersangka korupsi, ” pada tahun 2023, terjadi lonjakan jumlah kasus dan tersangka yang cukup masif,”( detikcom,19/5/24).
Itu artinya kasus-kasus korupsi di kalangan birokrasi kita, bukannya menurun malah justru massif, lalu, apa yang salah dengan ini ? Diky mengatakan faktor penyebab lonjakan kasus ini adalah belum ampuhnya strategi penindakan melalui pemidanaan yang menjerakan, pun juga upaya pencegahannya belum optimal.
Korupsi dan rusaknya birokrasi adalah dua masalah besar yang sering kali saling berkaitan dan berdampak signifikan pada pemerintahan dan masyarakat. Beberapa poin penting terkait kedua isu ini:
Pertama : Korupsi mengurangi efektivitas pemerintah, menghambat pertumbuhan ekonomi, dan memperburuk ketimpangan sosial. Dana publik yang seharusnya digunakan untuk layanan penting seperti kesehatan dan pendidikan malah disalahgunakan.
Kedua : Kurangnya transparansi dan akuntabilitas, lemahnya penegakan hukum, dan budaya atau norma sosial yang permisif terhadap korupsi.
Reformasi hukum dan institusi, peningkatan transparansi dan akuntabilitas, pendidikan dan kampanye anti-korupsi,
serta penegakan hukum yang tegas.
Rusaknya birokrasi merujuk pada inefisiensi, ketidakefektifan, dan disfungsi dalam struktur dan proses administrasi publik. Hal ini sering kali disebabkan oleh korupsi, namun juga bisa diakibatkan oleh faktor lain seperti kurangnya kompetensi atau kepemimpinan yang buruk.
Dampak negatif birokrasi yang rusak menghambat penyampaian layanan publik, mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, dan menurunkan kualitas kebijakan dan program pemerintah.Struktur organisasi yang kaku, kurangnya inovasi, beban kerja yang tidak merata, prosedur yang berbelit-belit, dan kepemimpinan yang tidak efektif.
Kita tentu menyadari bahwa hubungan antara korupsi dan rusaknya birokrasi adalah hal yang begitu merugikan masyarakat secara umum. Korupsi sering kali menyebabkan rusaknya birokrasi karena menyuburkan praktek-praktek nepotisme, kolusi, dan penyelewengan wewenang. Pun sebaliknya, birokrasi yang rusak bisa mempermudah terjadinya korupsi karena lemahnya sistem pengawasan dan kontrol internal. Mengatasi korupsi dan memperbaiki birokrasi memerlukan upaya bersama dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta. Upaya ini harus didukung oleh komitmen politik yang kuat dan kerangka hukum yang efektif.
Di Satu sisi kita juga memahami bahwa ketidakberdayaan birokrasi karena ada faktor-faktor lain, selain karena korupsi, pun juga karena kurangnya Sumber Daya seperti terbatasnya anggaran, sumber daya manusia, dan fasilitas dapat menghambat operasional birokrasi. Birokrasi yang Rumit dan Tidak Efisien, Prosedur yang berbelit-belit dan tidak efisien dapat memperlambat pelayanan dan pengambilan keputusan. Kurangnya Transparansi dan Akuntabilitas, Tanpa sistem yang transparan dan akuntabel, sulit untuk mengawasi kinerja birokrasi. Semua ini adalah problematika di birokrasi kita saat ini, dan celakanya kasus-kasus korupsi ikut serta dalam memperparah problematika itu.
Tentu kita sepakat bahwa dalam mengatasi korupsi dan memperkuat birokrasi memerlukan upaya yang terintegrasi, termasuk reformasi institusional, peningkatan transparansi dan akuntabilitas, pemberian pelatihan yang memadai, serta penegakan hukum yang tegas terhadap tindakan korupsi. Kita ingin agar kasus korupsi dan ketidakberdayaan birokrasi yang sering kali saling terkait dan memperburuk masalah administrasi pemerintahan dapat dicegah secara serius karena dampaknya akan ke masyarakat secara umum.
Sistem yang baik ternyata tidak menggaransi tidak terjadinya praktek penyimpangan seperti korupsi, karena subtansi persoalannya bukan di sistem semata, tetapi ada di mentalitas dan integritas para birokrat. Saya teringat ungkapan salah satu mantan petinggi KPK waktu itu, beliau mengatakan bahwa seorang pejabat publik/ pejabat negara cukup memiliki dua syarat mutlak jika ingin sukses, yaitu memiliki integritas yang tinggi dan memiliki kompetensi yang memadai.(**)