Oleh : Muslimin.M
Teringat perbincangan seorang kawan tentang masih begitu kentalnya politik identitas, isu-isu primordial dengan narasi narasi yang ujungnya menjebak dan menyandra para pemilih. Memang, tidak dipungkiri bahwa etnisitas sering dianggap sebagai elemen penting untuk memobilisasi pemilih dalam upaya memenangkan jagoannya dalam setiap momen pemilu.
Di tingkat lokal, ruang bagi masyarakat untuk memilih kepala daerahnya secara langsung kerap memicu mobilisasi etnis. Sementara di tingkat nasional, identitas etnis juga digunakan sebagai simbol yang menunjukkan representasi dan dukungan seseorang berdasarkan asal daerah.
Katakanlah pada Pemilu 2009, banyak pemilih cenderung mengidentifikasi pasangan calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres) Jusuf Kalla-Wiranto berdasarkan representasi Jawa dan luar Jawa. Jusuf Kalla berasal dari Makassar, Sulawesi, sementara Wiranto dari Yogyakarta. Fenomena seperti ini kerap kali terjadi di banyak pilkada.
Fakta yang tak terbantahkan bahwa sejumlah elit dan partai politik masih menempatkan etnis sebagai variabel penting dalam mobilisasi politik, pengorganisasian jaringan politik, merumuskan kompromi, koalisi, dan dukungan politik. Para elit politik kerap menggunakan kesamaan etnis untuk mempermudah proses koalisi dan penggalangan dukungan.
Klintelisme dan broker politik
Lalu, seperti apa itu Klientelisme ? Dari berbagai referensi kita bisa mendefinisikan bahwa klintelisme adalah sebuah sistem hubungan sosial dan politik yang bersifat patron-klien, di mana seorang patron (pelindung atau tokoh yang memiliki kekuasaan) memberikan imbalan atau perlindungan kepada klien (orang yang lebih lemah atau kurang berkuasa) sebagai gantinya, klien memberikan dukungan politik atau sosial kepada patron.
Dalam hubungan ini, imbalan yang diberikan bisa berupa uang, barang, pekerjaan, atau akses ke layanan publik, sementara klien memberikan dukungan suara atau loyalitas politik. Klientelisme sering terjadi di negara dengan institusi politik yang lemah atau di mana praktik demokrasi belum sepenuhnya matang. Fenomena ini umumnya dianggap merusak proses demokrasi karena fokus lebih kepada kepentingan pribadi daripada kepentingan publik yang lebih luas.
Selama ini kita memahami bahwa negara ini mengamini demokrasi dan lokalisme, itu artinya klientelisme akan menjadi ancaman besar. Selain membalikkan dan mengikis tradisi demokrasi, dan dalam konteks lokal, klientelistik dapat menghambat daya saing, keterwakilan, dan pembangunan lokal di tingkat akar rumput. Hal ini akan berdampak buruk terhadap tata kelola pemerintahan daerah.
Padahal, Pemerintahan yang demokratis merupakan salah satu landasan demokrasi modern. Hal ini tentunya tidak terlepas dari tren ganda demokratisasi dan desentralisasi yang mengarahkan terhadap perubahan besar organisasi dan proses politik negara, terutama negara-negara berkembang. Banyak sekali kajian yang menganalisis mengenai berbagai perubahan ini, tetapi sangat sedikit yang membahas mengenai dinamika Pilkada dan aktivitas partai politik tingkat lokal. Banyak aspek di tingkat lokal cenderung terabaikan karena sebagian besar akademisi terlalu berfokus terhadap Pemilu skala nasional.
Mestinya era desentralisasi demokratis saat ini, Pemilu berupa pilkada di tingkat daerah menjadi komponen penting, dimana demokrasi lokal akan mempengaruhi kehidupan politik suatu pemerintahan daerah dan pusat.
Dalam pandangan Smith (1985) bahwa desentralisasi memungkinkan penduduk lokal untuk mempunyai suara dan dapat memengaruhi banyak proses pengambilan keputusan. Demokratisasi menjadi diperkuat karena aparat publik menjadi lebih akuntabel, dan pelayanan publik menjadi lebih baik karena pemerintah lokal menjadi lebih efisien dalam mengatasi kebutuhan-kebutuhan masyarakatnya daripada pemerintah pusat. Akan tetapi, keberlangsungan tata kelola pemerintahan daerah yang demikian hanya akan menjadi impian semu apabila proses demokrasi elektoral di tingkat lokal tidak mampu menegakkan integritasnya sendiri.
Dilain pihak dalam pandangan Sarker & Khalid (2018) bahwa tatanan sosial atau penyelesaian politik di negara berkembang seringkali dicirikan oleh klientelisme. Ungkapan klientelisme berakar dari kondisi sosio ekonomi sistem agraria yang mempunyai implikasi besar terhadap dinamika politik di negara-negara berkembang. Penyelesaian politik semacam ini juga merangkum perilaku berbagai institusi, termasuk aktivitas politik partai, pemilu, pemerintah daerah, dan pemberian layanan publik.
Itu artinya bahwa secara sederhana, dalam konteks elektoral, klientelisme dimaknai sebagai proses di mana partai politik menggunakan akses istimewa ke sumber daya negara untuk memperkuat dukungan mereka dalam masyarakat. Aktor politik menggunakan klientelisme elektoral sebagai strategi untuk menegakkan keberpihakan mereka dan untuk memastikan bahwa pemilih akan tetap loyal, disampaikan secara terorganisasi kepada para pendukung setia yang tertanam dalam jaringan individu dan dikembangkan oleh partai politik.
Salah satu cara cerdiknya adalah dengan pemberian Insentif sehingga mendorong praktik klientelisme elektoral, secara khusus membungkam suara politik masyarakat miskin. Kelompok rakyat ini sangat rentan terhadap tawaran manfaat nyata sebagai imbalan atas suara mereka. Ketika insentif semacam ini terus berlanjut, praktik-praktik klientelisme elektoral menjadi semakin terlembaga. Efek dari semua itu adalah partisipasi demokratis menjadi semakin lemah, Partai-partai politik tidak lagi mampu menjalankan fungsinya, hanya berfungsi sebagai lembaga klintelisme.
Para pemimpin partai politik akan dihadapkan pada para broker. Mereka berusaha membangun klien sampai pada titik di mana mereka mampu bersaing dengan para kandidat yang ada, dan menggantikan struktur hirarki kekuasaan partai dan elektoral sebelumnya. Mereka menjebak warga negara, terutama warga miskin, dalam hubungan politik yang membungkam suara dan preferensi kebijakan mereka, bahkan mendorong terjadinya kekerasan elektoral, dan jika ini dibiarkan, bukan tidak mungkin kualitas pilkada akan semakin menurun dan ujung nya adalah lahirnya kepala daerah yang tidak berkualitas pula.(**)