Tajuk
Salim Majid ( Pemred Daulat Rakyat)
Gerbong kereta interpelasi telah berjalan pelan menuju stasiun tujuan yang ingin dicapai. Keretapun baru tiba di stasiun paripurna, suasana mulai memanas.
Hak Interpelasi ini terkait kebijakan Gubernur Sulbar soal hibah bansos yang belum juga terealisasi. Yang konon jumlahnya ratusan miliar.
Walhasil, sejumlah anggota Dewan menumpahkan kekecewaannya atas ketidakhadiran orang nomor satu di Sulbar itu.
Uneg – uneg pedas, sedang dan adem – adem saja mengalir deras diruang sidang. Kritik yang bernada keras sah – sah saja.
Sebagai komonikator, etika komunikasi menjadi sangat penting dalam ruang perdebatan apalagi dalam ruang sidang yang disaksikan para awak media.
Hati boleh panas, tapi pikiran tetap sejuk. Agar marwah DPRD tetap tejaga sebagai representasi ‘rumah rakyat’. Warna dan persepsi boleh berbeda. Tapi etika tetap terjaga.
Menyerang pejabat negara setingkat gubernur sejatinya dalam koridor etika. Sebab kritik yang beretika cermin kematangan seseorang dalam konteks nilai dan norma. Karena etika adalah moral.
Tak boleh mengobral power dan tak boleh ada yang terluka atau dilukai . Ruang Legeslative dan eksekutive adalah korelasi yang memiliki tanggungjawab moral yang sama.
Satu kemitraan sejatinnya berjalan beriringan menuju stasiun kepentingan rakyat. Disana rakyat menanti selaksa harapan atas perjuangan kedua institusi negara itu.
Tak segedar membunyikan sirene perdebatan. Tapi seorang masinis harus mampu mengambil keputusan, saat kapan kereta api bergerak menuju stasiun akhir.
Kendati diatas gerbong begitu banyak kepentingan berseliweran. Kelas eksekutive sejatinya tak boleh ada penumpang ekonomi. Apalagi ‘penumpang gelap’.
Komuniksi di ruang eksekutive dan legeslative tak boleh pula buntuh. Krang keterbukaan dan saling menghormati menjadi kunci lahirnya keputusan yang bijak.
Publik hanya bisa menonton dan menilai, seperti drama turki yang berseri. Entah seri apalagi berikutnya yang harus kita tunggu. Apakah itu happy ending atau ada kejutan – kejutan ? Wallaualam.