Oleh : Muslimin.M
Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) hendak kembali menghidupkan jurusan di SMA. Hal ini berkaitan dengan Tes Kemampuan Akademik (TKA) yang akan dimulai pada November 2025.
“Jurusan akan kita hidupkan lagi, IPA, IPS, Bahasa. Di TKA (Tes Kemampuan Akademik) ada tes wajib Bahasa Indonesia dan Matematika,” jelas Mendikdasmen Abdul Mu’ti dalam Halal Bihalal Bersama Forum Wartawan Pendidikan (Fortadikbud) di Perpustakaan Kemendikdasmen, Jl Jenderal Sudirman, Jakarta, Jumat (11/4/2025).
( dikutip dari detikNews.com,16/4/25).
Rencana mendikdasmen sebagaimana dalam berita diatas, memantik pro kontra di masyarakat sebab kebijakan penghapusan jurusan oleh menteri sebelumnya masih seumur jagung, dan belum bisa dinilai efektifitasnya, tiba-tiba menteri sekarang ingin menghidupkan lagi.
Apa sebetulnya yang terjadi dalam sistem pendidikan kita ?
Beberapa hari ini kita disuguhi begitu ramai perbincangan masyarakat baik di media sosial maupun di dunia nyata tentang rencana menteri Abdul Mu’ti ingin menghidupkan kembali jurusan di SMA setelah setahun di kubur oleh menteri sebelumnya.
Bahkan anekdot yang berkembang di masyarakat, “ganti menteri ganti kebijakan” menjadi lucu-lucuan dalam setiap perbincangan. Banyak kalangan menilai bahwa setiap pergantian menteri dalam kabinet sering membawa angin perubahan, entah itu sudah dianalisis dengan baik atau tidak, yang penting kelihatan ada perubahan dulu.
Fenomena “ganti menteri, ganti kebijakan” telah menjadi semacam tradisi tak tertulis dalam sistem birokrasi kita. Alih-alih memperkuat program yang sudah berjalan, menteri baru kadang datang dengan konsep, istilah, dan visi yang sepenuhnya baru.
Hal ini tentu menciptakan kebingungan baru, terutama ditingkat pelaksana seperti guru, kepala sekolah, dan siswa.
Lihatlah,
beberapa contoh bagaimana proses pergantian kurikulum, dari kurikulum KTSP ke Kurikulum 2013, kemudian ke Kurikulum Merdeka seperti saat ini. Belum selesai satu kurikulum secara penuh dan merata diterapkan, sistem kembali berganti. Dan resikonya guru dan warga sekolah harus terus menyesuaikan sistem baru tersebut, mulai dari bagaimana metode mengajar, bagaimana metode memberi penilaian sampai bagaimana guru masuk ke dalam sistem secara elektronik.
Akibatnya, banyak guru yang kewalahan bahkan stres dan siswa pun menghadapi banyak perubahan cara belajar nya karena pendekatan pembelajaran yang berubah-ubah, termasuk orang tua pun juga kesulitan memahami sistem pendidikan anak-anak nya.
Padahal,
pendidikan seharusnya memerlukan kesinambungan dan konsistensi. Efektivitas suatu kebijakan pendidikan baru bisa terlihat setelah bertahun-tahun implementasi.
Terus terang, saya khawatir jika sebuah kebijakan diputus secara terburu-buru hanya karena pergantian kepemimpinan, maka dampaknya hanya akan bersifat kosmetik ketimbang substansial dan ini tidak sehat bagi kelangsungan pendidikan.
Dalam Perspektif saya bahwa fenomena ini menunjukkan betapa lemahnya sistem kelembagaan pendidikan kita, rencana induk pendidikan menjadi kurang fokus bahkan cenderung ditarik ke area kepentingan politik jangka pendek,
Padahal,
idealnya sebuah kebijakan seharusnya berbasis data penelitian yang akurat dan berorientasi kebutuhan jangka panjang, jangan justru sering menjadi arena eksperimen politik jangka pendek.
Jujur saja,
Yang dibutuhkan bukan sekadar menteri dengan visi cemerlang, tapi sistem yang kuat, partisipatif, dan berkelanjutan. Pendidikan bukan tentang siapa yang menjabat, tapi tentang siapa yang belajar.
Karenanya,
konsistensi kebijakan adalah kunci agar anak-anak kita tidak lagi menjadi korban dari ketidakpastian, tidak menjadi kelinci percobaan dari sebuah sistem.
Dan harus di fahami bahwa dalam pendidikan, konsistensi adalah kunci. Reformasi pendidikan tidak bisa hanya dibangun dalam hitungan bulan atau satu periode jabatan. Ia membutuhkan arah yang jelas, perencanaan jangka panjang, dan pelaksanaan yang terukur. Terlalu seringnya perubahan justru menciptakan kebingungan dan kelelahan di akar rumput, guru, kepala sekolah dan siswa menjadi korbannya.
Idealnya memang pemerintah harus menempatkan pendidikan di atas kepentingan politik jangka pendek. Diperlukan sebuah grand design pendidikan nasional yang kokoh dan disepakati lintas partai serta lintas periode pemerintahan. Grand design inilah yang harus menjadi panduan utama, siapa pun yang menjabat sebagai menteri.
Kita tidak membutuhkan banyak program baru setiap ganti menteri. Yang lebih penting adalah keberlanjutan, konsistensi, dan komitmen terhadap pelaksanaan kebijakan yang sudah disusun secara matang. Pendidikan tidak bisa terus menjadi eksperimen.
Karena pada akhirnya, keberhasilan pendidikan bukan diukur dari banyaknya kebijakan yang diluncurkan, melainkan dari kualitas generasi yang dihasilkan dan itulah cita-cita pendiri bangsa ini.(**)