Oleh: Muhammad Ridwan Alimuddin, pemerhati sejarah Mandar
Bukan hanya perjuangan fisik melawan penjajah dan mempertahankan kemerdekaan yang banyak terjadi di Majene, perjuangan pembentukan Provinsi Sulawesi Barat juga demikian, sebagaimana yang telah disinggung secara singkat sebelumnya di awal. Berikut dirangkum tentang ‘peran Majene dalam pembentukan Provinsi Sulawesi Barat’ dalam buku Sejarah Sulawesi Barat yang ditulis Idham Khalid Bodi dan Saprillah.
Ide awal pembentukan Provinsi Sulawesi Barat digagas jauh hari sebelumnya. Tokoh-tokohnya adalah para pejuang kemerdekaan, yang diantaranya pernah menjabat sebagai Bupati Majene, yaitu Abdul Malik Pattana Endeng. Ada juga Riri Amin Daud, Andi Depu (Pahlawan Nasional). Perjuangan membentuk provinsi tersendiri mulai digaungkan dua tahun setelah Indonesia merdeka. Pada 17 Agustus 1948 pernah diadakan pertemuan di Majene untuk membentuk organisasi yang akan memperjuangan Mandar menjadi provinsi sendiri.
Organisasi itu diberi nama Badan Pemufakatan Nasional, yang pusatnya ditempatkan di Majene, dipimpin orang Majene, Abdul Wahab Anas. BAPNAS mendeklarasikan formatur “Pembentukan Pemerintah Darurat Republik Indonesia Residensi Sulawesi Barat”, melalui suatu musyawarah daerah yang diadakan di Tinambung. Meski tak ada langkah konkrit yang signifikan, deklarasi itu menjadi penanda bahwa daerah ini memang sejak awal berniat jadi provinsi sendiri.
Beberapa tahun upaya pembentukan provinsi mengalami kevakuman dan seperti terlupakan. Itu disebabkan kondisi perpolitikan, baik lokal maupun nasional. Di tingkat lokal ada pemberontakan DI/TII oleh Kahar Muzakkar yang diikuti berkuasanya Andi Selle di Mandar.
Pada masa yang bersamaan, Pulau Sulawesi dibagi dua provinsi: Sulawesi Selatan Tenggara dan Sulawesi Utara Tengah. Bekas Afdeling Mandar masuk Provinsi Sulawesi Selatan Tenggara; di masa ini pula sistem kerajaan dihapus. Secara formal, tak ada lagi raja atau pihak yang memiliki kekuasaan di Nusantara. Persekutuan Pitu Baqbana Binanga dan Pitu Ulunna Salu atau Swatantra Mandar pun dikelompokkan menjadi tiga kabupaten: Polewali Mamasa, Majene dan Mamuju. Bupati pertama untuk Polewali Mamasa adalah Hasan Mangga, Majene Baharuddin Lopa, dan Mamuju Andi Paccoba.
Setahun kemudian, di tahun 1960, ide pembentukan Provinsi Sulawesi Barat kembali digaungkan. Masih dipelopori oleh para pejuang, seperti Andi Depu, Abdul Malik Pattana Endeng, Abdul Rahman Tamma, Riri Amin Daud, Baharuddin Lopa, Abdul Rauf (belakangan menjadi Bupati Majene ketiga), Kapten Amir, Basri Hasanuddin, dan lain-lain.
Mereka membentuk Dewan Perjuangan Pembentukan Provinsi Daerah Tingkat I Mandar. Mungkin dianggap belum layak, meski di tahun 1964 terjadi pemekaran Provinsi Sulawesi Selatan Tenggara menjadi dua provinsi, tak ada pembentukan Provinsi Mandar. Yang ada malah Provinsi Sulawesi Selatan dan provinsi Sulawesi Tenggara.
Bisa dikatakan ide pembentukan Provinsi Mandar atau Provinsi Sulawesi Barat “tutup buku”. Sebab sejak itu, khususnya setelah pemberontak PKI, Orde Baru lahir. Semua upaya bersifat primordial harus ditiadakan. Nanti di masa Reformasi atau lebih 30 tahun kemudian ide pembentuk Provinsi Sulawesi Barat bangkit dari mati suri.
Dibentuklah Komite Perjuangan Provinsi Sulawesi Barat (KAPP Sulbar) oleh Forum Sipamandar di Makassar yang dimotori oleh Rahmat Hasanuddin, putra Pambusuang tapi besar di Majene (karena bapaknya jadi guru di sana, Hasanuddin) pada 1998. Pembentukan KAPP Sulbar diikuti pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) di tiap kabupaten, yang mana pembicaraan tentang pembentukan Pokja ini dilaksanakan di Majene.
Hal menarik lainnya, selain pembentukannya di Majene, dukungan politik resmi pertama yang mendukung upaya pembentukan Provinsi Sulawesi Barat diberikan oleh DPRD Kabupaten Majene yang waktu itu dipimpin Muhammad Darwis bersama Tadjuddin Noor sebagai Bupati Majene. Dukungan itu belakangan baru diikuti oleh kabupaten lain. Kemasifan dukungan pemerintah dan rakyat Kabupaten Majene terlihat ketika dilaksanakan Kongres Nasional I Rakyat Mandar Januari 2001 di Majene.
Sejarah yang merentang panjang di atas adalah narasi kuat Majene sebagai “kota yang tua”, yang memiliki peran aman penting di jazirah Mandar. Sebagai Kota memiliki modal sosial atau narasi yang memiliki akar mendalam, tidak dibuat-buat; tidak dicocok-lagi; tidak dicarai tahun-tahun agar kelihatan tua. Ada beberapa kota di Sulawesi Barat: Polewali, Wonomulyo, Mamasa, Mamuju, Tobadak, dan Pasangkayu. Tapi itu semua “kota kemarin sore”, beda dengan Kota Majene yang “pencanangannya” sebagai kota (dengan segala sifat defenisinya sebagai kota) yang telah dimulai lebih seratus tahun silam.
Narasi tersebut di atas harus menjiwai segenap apa yang akan dilakukan di dan untuk Majene, sekarang dan untuk masa mendatang. Khusus dalam kegiatan pariwisata, narasi adalah modal utama. Narasi Majene sebagai Kota Tua amat kuat dan terbukti, hanya saja dia terkubur laksana nasib situs-situs kota tua di Majene yang lebih banyak tak terawat, untuk tidak menyebut banyak yang telah hancur.
Tempat dan atau even wisata di Kota Majene hanya mengandalkan keindahan alam atau keunikan budaya. Sebutlah Pantai Barane dan Pantai Dato; hanya mengandalkan sebagai tempat kumpul-kumpul di malam hari seperti Taman Kota depan Gedung Assamalewuang; hanya menjadi tempat pelaksanaan lomba perahu Sandeq Race dan perayaan lahirnya Nabi Muhammad SAW (Salabose). Ya, mungkin itu ‘kuat’ bagi orang Mandar atau orang lokal. Tapi bagaimana dengan pihak luar atau calon wisatawan dari luar Sulawesi Barat?
Narasi “Majene Kota Tua” idealnya menjiwai tempat dan even wisata di atas. Misalnya lomba perahu Sandeq Race, sebelum dan selama acara ada materi atau promosi khusus tentang Kota Tua. Sebab bagaimana pun, Majene menjadi Kota Tua tak bisa dilepaskan dari tradisi kebaharian.
Bukankah Majene menjadi ibukota disebabkan karena Majene memiliki laut dan pantai yang aman untuk melabuhkan perahu niaga? Salabose juga demikian. Di sana ada situs S. Abdul Mannan, yang diyakini sebagai salah satu pionir penyiar Islam di Mandar khususnya di Kerajaan Banggae. Sebagaimana yang dikemukakan di tulisan sebelumnya, ada hubungan kuat antara sejarah Bangga dengan Majene sebagai Kota Tua.
Hal yang sama juga harusnya menjiwai tempat-tempat di Majene yang menjadi stakeholder pariwisata, seperti hotel, penginapan dan cafe. Misalnya di tempat-tempat itu memajang setidaknya satu dua foto Majene tempo dulu dengan deskripsi mudah dipahami. Bukan hanya pariwisata, dalam pendidikan pun demikian.
Nyaris tak ada upaya menanam ke memori anak didik di Majene tentang peran penting yang telah atau pernah terjadi di Majene. Kebanggaan akan sejarah itu bisa menjadi modal bagi generasi sekarang bahwa ternyata sejak dulu Majene punya andil signifikan melahirkan putra-putra terbaik Mandar atau Sulawesi Barat [.]