Oleh : Muslimin.M
Tulisan ini berangkat dari rasa keprihatinan yang mendalam tentang semakin maraknya perilaku korupsi pada hampir semua lini kehidupan dan aktivitas saat ini, bahkan prilaku menyimpang ini justru dilakukan oleh okum oknum terdidik yang notabene memiliki pendidikan yang lebih dari cukup atau berpendidikan tinggi. Apakah ini ada kaitannya dengan sistem pendidikan yang selama ini menjadi pedoman dalam melangsungkan proses pendidikan formal ? atau jangan jangan memang ini muncul seiring dengan kondisi lingkungan yang mendorong manusia melakukan itu, semisal gaya hidup yang berlebihan, kebutuhan ekonomi yang tidak rasional atau karena memang tamak dan rakus ?, Pertanyaan ini seringkali muncul di masyarakat tetapi begitu rumit mencari akar masalahnya.
Dampak nyata dari korupsi sungguh sangat dahsyat bagi kehidupan kita bahkan bagi kelangsungan negara.Tidak sedikit kerugian materil keuangan negara yang diakibatkan oleh perilaku korupsi ini, negara menjadi tidak optimal dalam melakukan pembangunan, hak hak rakyat untuk menikmatinya menjadi hilang bahkan negara bisa terancam eksistensinya karena korupsi ini. Pemberitaan di media massa baik media cetak maupun elektronik/media sosial hampir tidak sepi memberitakan kepada publik berbagai macam bentuk tindak pidana korupsi yang terjadi saat ini, dan anehnya para koruptor ini seakan merasa tidak berdosa dan bersalah hal itu bisa kita saksikan senyuman para koruptor saat diborgol oleh petugas, bahkan tidak sedikit justru berselfi ria, sungguh perilaku yang benar benar aneh dan mengundang amarah, perilaku korupsi ini sungguh menyayat hati, kita kecewa terhadap kondisi ini dan bahkan mungkin sebagian masyarakat berpikir bahwa tata kelola pemerintahan dianggap gagal dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dari korupsi.
Bahkan bahayanya lagi ketika prilaku korupsi mengikat secara sistematis karena tidak memandang status dan jabatan seseorang, maka apapun dapat menjadi sasaran korupsi. Korupsi yang telah tersistematis mengindikasikan bahwa terdapat kelompok koruptif yang dapat memaksa seseorang untuk berbuat korupsi. Kelompok koruptif menciptakan suasana yang aman untuk melakukan korupsi bersama-sama, cenderung saling mendukung perilaku korupsi antar anggotanya. Bahkan, ketika ada individu baru yang bergabung ke dalam lingkungan kelompok koruptif cenderung terpengaruh menjadi seseorang yang koruptif. Oleh karena itu “perbuatan korupsi tidak saja ditentukan oleh perilaku dan sebab-sebab yang sifatnya individu atau perilaku pribadi yang koruptif, tetapi disebabkan pula oleh sistem yang koruptif, yang kondusif bagi setiap individu untuk melakukan tindakan korupsi” (Dwiputrianti, 2009).
Berdasarkan survei Transparancy Internasional_ tentang Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada tahun 2022 berada di skor 34 dan berada di peringkat ke-110. Indonesia hanya mampu menaikkan skor IPK sebanyak 2 poin dari skor 32 selama satu dekade terakhir sejak 2012. Penurunan tertajam terjadi pada indikator korupsi sistem politik, konflik kepentingan antara politisi dan pelaku suap, serta suap untuk izin ekspor-impor.(kompas.com. 31/1.23) Nilai Indeks menjadi indikator dengan penilaian jika nilai indeks mendekati 0 mengindikasikan korupsi suatu negera semakin tinggi sedangkan jika mendekati angka 100 menunjukkan semakin bersih dari korupsi. Banyaknya kasus korupsi di sektor politik dan penegakan hukum membuat indeks persepsi Indonesia masih rendah.
Data data diatas memberi penegasan kepada kita bahwa betapa prilaku korupsi ini semakin meresahkan dan membahayakan bukan hanya kepada warga negara secara keseluruhan tetapi juga kepada eksistensi negara dalam jangka panjangnya. Lalu, apa kaitannya dengan sistem pendidikan selama ini, dan bagaimana jalan keluar dari masalah ini ?.
*Sistem pendidikan yang berkualitas*
Ketika sistem pendidikan tidak berkualitas dan tidak diurus dengan baik, dampaknya bisa menciptakan kondisi yang mendukung lahirnya korupsi. Misalnya kurangnya transparansi dalam pengelolaan dana pendidikan yang berakibat munculnya peluang penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi, ketidaksetaraan dalam akses pendidikan, keadilan yang terabaikan, semua ini bisa mendorong orang lain untuk mencari jalan pintas dengan cara yang tidak jujur. Oleh karena itu penting bagi kita untuk selalu memperbaiki sistem pendidikan agar lebih baik, inklusif, transparan sehingga manfaat jangka panjangnya bisa dirasakan oleh masyarakat secara luas.
Pendidikan berkualitas dapat memiliki dampak yang signifikan dalam mengurangi prilaku korupsi. Pendidikan yang baik dapat mengajarkan nilai nilai moral, integritas dan tanggung jawab sosial kepada individu sejak dini. Individu yang dididik yang didik dengan baik akan cenderung lebih memahami konsekuensi negatif dari tindakan korupsi dan memiliki kecendrungan yang lebih rendah untuk terlibat dalam praktik korupsi. Selain itu pendidikan yang berkualitas dapat membuka peluang ekonomi dan sosial yang lebih adil, mengurangi kesenjangan dan memberikan akses yang setara kepada semua individu yang pada akhirnya dapat memperkuat pilar pilar integritas dalam masyarakat.
Salah satu model pendidikan yang cukup baik dalam sistem pendidikan kita saat ini adalah pendidikan karakter, model pendidikan ini diyakini sebagai salah satu solusi dalam penanganan masalah moral dan etika karena dapat memberikan perhatian khusus pada pembentukan nilai nilai moral, etika dan sikap positif pada individu sejak dini dengan fokus pada pengembangan karakter yang baik. Pendidikan karakter dapat membantu individu dalam membuat keputusan yang etis, bertindak dengan integritas dan menghormati nilai nilai universal seperti kejujuran, keadilan dan empati. Kesemua ini menjadi pondasi dasar dalam mengurangi masalah moral dalam masyarakat dengan lahirnya individu individu yang yang berkarakter positif bagi masyarakat dan lingkungannya. Pendidikan karakter muncul sebagai respon terhadap perubahan sosial dan nilai nilai yang terus berubah dalam masyarakat. Hal ini juga didasari akan kebutuhan pembangunan individu yang tidak hanya cerdas secara akademis tetapi juga memiliki moral dan etika yang kuat untuk menghadapi tantangan kehidupan.
Melalui pendekatan – pendekatan ini tentu ada harapan bagi generasi yang akan datang untuk memiliki karakter individu yaitu karakter anti korupsi, karakter anti suap karena sebetulnya korupsi dan suap tidak melulu masalah politik tetapi menyangkut juga karakter individu warga negara. Ada empat alasan mendasar mengapa sekolah pada masa sekarang perlu lebih bersungguh sungguh menjadikan dirinya sebagai tempat terbaik bagi pendidikan karakter: Pertama, banyak keluarga tradisional maupun non tradisional yang tidak melaksanakan pendidikan karakter; Kedua, sekolah tidak hanya bertujuan untuk membentuk anak yang cerdas, tetapi juga anak yang baik. Ketiga, kecerdasan seorang anak hanya bermakna manakala dilandasi dengan kebaikan. Keempat, membentuk anak didik agar berkarakter tangguh bukan sekadar tugas tambahan bagi guru, melainkan tanggung jawab yang melekat pada perannya sebagai seorang pendidik.
Terlepas dari stakeholder lain yang berperan dalam pendidikan karakter. Sekolah merupakan tempat yang sangat strategis untuk memperbaiki degradasi moral peserta didik atau generasi penerus saat ini. Sekolah secara nyata telah terdapat di semua wilayah Indonesia, keuntungan ini yang dapat dimanfaatkan untuk menciptakan karakter individu yang baik.
Menurut Hoy dan Kottnap (dalam Purnama, 2014) terdapat sejumlah nilai budaya yang dapat ditransformasikan sekolah kepada jati diri setiap peserta didik agar mereka dapat berperan secara aktif dalam era global yang bercirikan persaingan yang sangat ketat (high competitiveness), yakni: a) Nilai produktif; b) Nilai berorientasi pada keunggulan (par excellence); dan c) Kejujuran. Peran sekolah yang bertujuan membentuk karakter peserta didik ini harus sejalan dengan perkembangan yang akan terjadi pada masa depan. Persaingan yang sangat ketat merupakan fakta yang harus dihadapi oleh peserta didik di masa depan mereka. Persaingan tersebut juga memuat nilai kejujuran, jelas nilai kejujuran tersebut dirasa penting dalam membentuk karakter peserta didik, selain itu nilai kejujuran juga merupakan salah satu nilai-nilai antikorupsi. Sekolah sebagai unsur penting dalam pelaksanaan pendidikan, harus memberikan kontribusi nyata dalam upaya pemberantasan korupsi.
*Gagalnya Sistem Pendidikan ?*
Salah satu landasan terpopuler untuk menunjukkan betapa lemahnya pendidikan kita saat ini adalah hasil PISA (Programme for International Student Assessment) yang memang dipakai dunia Internasional untuk mengevaluasi sistem pendidikan. Pengukuran PISA bertujuan untuk mengevaluasi sistem pendidikan dengan mengukur kinerja siswa di pendidikan menengah, terutama pada tiga bidang utama, yakni matematika, sains, dan literasi. Hasilnya Ternyata siswa Indonesia memiliki kemampuan di bawah rata-rata dalam seluruh aspek penilaian, baik itu kemampuan membaca maupun kemampuan sains dan matematika. Bahkan yang lebih memprihatinkan lagi justru dari tahun ke tahun Indonesia mengalami penurunan nilai.
Thomas J. Stanley melakukan penelitian dengan cara memetakan 100 faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kesuksesan seseorang berdasarkan survey terhadap 733 miliarder Amerika Serikat. Hasilnya, 10 besar faktor paling menentukan terhadap kesuksesan seseorang ternyata adalah kejujuran, disiplin keras, mudah bergaul, dukungan pendamping/pasangan, kerja keras, kecintaan terhadap apa yang dikerjakan, kepemimpinan, kepribadian yang kompetitif, hidup teratur, dan kemampuan menjual ide. Artinya hasil riset ini menunjukkan bahwa nilai-nilai yang tinggi saat bersekolah tidaklah masuk dalam peringkat 10 besar. Lalu, berada di posisi manakah nilai-nilai sekolah ? Ternyata, penilaian tinggi di sekolah hanya berada pada faktor ke-30, sementara faktor IQ berada pada urutan ke-21, dan faktor bersekolah di universitas atau sekolah favorit menempati peringkat ke-23.
Jika hasil penelitian diatas kita kaitkan dengan tujuan
pendidikan nasional berdasarkan _UU No. 20 tahun 2003 pasal 3_ memperlihatkan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, dan masih banyak lagi, maka ternyata salah satu poin mendasarnya adalah tentang akhlak ( kejujuran), dan fakta saat ini apakah semakin tinggi gelar seseorang, semakin beriman dan bertakwa? Siapakah para pelaku korupsi? Mereka yang mengenyam pendidikan tinggi atau orang tidak berpendidikan ? Jika kita perhatikan dengan seksama faktor terbesar penentu kesuksesan yang diteliti oleh Stanley dan tujuan pendidikan nasional, semuanya bermuara kepada keutamaan sikap, karakter, soft skills, atau dalam istilah islam disebut Akhlak.
Oleh karenanya pola pendidikan kita saat ini mesti berorientasi pada aspek afektif ( Akhlak). Jauh sebelum Stanley meneliti faktor kesuksesan. Rasulullah telah menetapkan perbaikan akhlak sebagai misi utama yang akan menyelamatkan manusia di dunia dan di akhirat. Jika kita cermati lebih dalam lagi, sesungguhnya akhlak adalah potensi dasar yang dimiliki setiap manusia atau disebut pula “fitrah”.Beberapa nilai Akhlaq yang telah disebutkan seperti jujur, taat dan sebagainya merupakan sifat yang dimiliki manusia pada awal penciptaan.
Beragam fakta telah memberi gambaran kepada kita bahwa pola pendidikan yang mengutamakan kognitif dan minim aspek afektif telah mulai memberikan dampak yang kurang baik yaitu kurangnya nilai kejujuran, akhlak yang rendah sehingga banyak peserta didik berprilaku menyimpang seperti kriminalitas, kenakalan remaja, merokok, dan sebagainya. Jika mereka berpendidikan rendah akan menjadi pelaku kriminal, ketika mereka memegang jabatan dan berpendidikan tinggi malah menyalahgunakan amanah.
Dari konteks di atas tentu memberi gambaran kepada kita bahwa kondisi pendidikan kita saat ini bisa jadi akan membuka kesadaran kita bahwa betapa pola dan sistem pendidikan ini mesti diperbaiki kearah yang lebih baik, bukan hanya semata fokus pada aspek akademiknya tetapi juga berorientasi pada aspek afektif yang lebih serius. penanaman akhlak menjadi sangat penting demi lahirnya generasi yang berkarakter, jujur, beretika dan bermoral.(**)