Jika tujuan hidup segedar makan dan minum. Lalu menuruti keinginan nafsu. Maka apa bedanya binatang? Kelebihan binatang yang patuh dan tunduk pada tuannya. Bahkan tak pernah menduakan Tuhan. Ia begitu ikhlas menerima takdirnya.
Sejatinya ruang dan waktu yang terbatas yang tak pernah aku tahu, apakah aku akan tetap terkungkung atau bertempat pada ruang dan waktu itu, tanpa mau bergeser sedikitpun?. Ketika orang – orang sudah mulai berlari kencang meninggalkan buaian dunia yang fana. Kita masih sajak asyik dengan kenikmatan – kenikmatan dunia yang terus membuai angan – angan.
Iblis terus bertepuk tangan berjingkrak dengan penuh kemenangan. Itulah keinginan sang iblis tuk bisa menggoda manusia untuk menemani kelak bersama ke jalan neraka.
Disini orang – orang ramai memburu pahala dengan sekuat tenaga. Seakan tak perduli lagi dunia. Mereka paham bahwa hidup di dunia yang fana hanyalah sebentar. Mereka juga bertransaksi jual-beli di siang hari. Tapi mereka tak pernah lalai menunaikan kewajibannya sebagai hamba Allah. Hati mereka tunduk menyatu dalam lingkaran zikir di masjid – masjid.
Mereka tak sekedar menjalankan ibadah, tapi memahami secarah hekiki tentang tujuan hidup di dunia. Memperdalam ilmu – ilmu agama lebih dalam. Tak sekedar anggota tubuh tunduk dan sujud. Batin mereka berikrar sungguh-sungguh. Lisan bersua tak sekedar berbunyi dengan lafal Ilahi. Mereka hanyut dalam cinta yang benar – benar cinta kepada Sang Pencipta alam semesta.
Syair zikir dan shalawat menyatu dalam larutnya malam menggema memecah kesunyian malam. Tak ada penceramah diatas mimbar- mimbar masjid, kecuali membaca yasin sehabis sholat fardhu. Begitulah lisan – lisan mereka tak pernah kering menyebut nama-Nya.
Duhai, sang pecinta hamba sahaja larut dalam kenikmatan bersama-Nya. Kampung – kampung Sang Guru Tarekat ini diajarkan kepada anak – anak muda sejak dini. Begitu pasi bacaan Alquran sang imam muda memimpin shalat berjamaah. Aku terperangah dan malu dalam hati betapa bodohnya aku. Betapa sulitnya aku memahami anak – anak dikampungku nun jauh yang hanya menghabiskan waktu bermain game atau cerita – cerita sia-sia atau saling bergosip. Tidak seperti disini di rumah ibadah guru sekumpul.
Tak boleh ada orang yang bisa mengobrol didalam masjid maupun diluar. Bahkan mengambil gambar atau berfoto didalam masjid pun dilarang. Selesai sholat dan berdoa jika tak ingin berzikir atau bersholawat atau yasinan. Monggo keluar dan tak boleh singga didepan masjid segedar bercerita atau mengobrol. Sungguh ketat aturan di Arraodah Sekumpul ini.
Ya, Allah aku mencoba berjalan pelan, meski harus merangkak tuk mengenal-Mu, lalu aku menerima setiap ketetapan-Mu. Inilah hamba-Mu yang hina. Yang lemah tiada daya dan upaya dalam penghambaanku.
Aku terus mengikuti kemana ruhaniku dituntun. Jalan – jalan kulalui terus terpendar cahaya dari hati – hati hamba pilihan. Percikan cahaya menembus kedalam kalbu.
Belajar tidak meminta atau mengemis, tapi belajarlah memberi agar tangan ini terbiasa memberi meski dalam keadaan longgar dan sempit. Allah Maha Pemurah.
Mencoba membuang semua kebencian, kedengkian, iri, ego dan riya’ dalam hati. Pelan tapi pasti hati ini tunduk. Pun lambat laun terbersit cahaya kasih sayang kepada sesama mahluk Allah. Pun yang terkecil mahluk Allah adalah semut yang tak sudi kaki ini menginjaknya.
Memulai membersihkan dari dalam diri. Tak gampang, tapi bukan berarti tak bisa. Sebab membersihkan hati sendiri jauh lebih utama daripada menyuruh membersihkan hati orang.
Maksiat – maksiat batin inilah yang akan menjadi pertarungan ku. Semoga aku mampu melewati jalan – jalan terjal dan berliku ini. Aku selalu berlindung kepadamu Ya Allah dari godaan setan yang terkutuk. Amin YRA.(Salim Majid)