Search
Close this search box.

SUBSIDI BURUNG BESI; KONEKTIVITAS ATAU BEBAN ANGGARAN ?

Oleh : Muslimin.M

Dua hari terakhir ini saya menikmati salah satu diskusi di grup WA yang membahas salah satu tema yang cukup menarik yaitu tentang subsidi. Silang pendapat sesama penghuni group tidak terhindarkan, pro-kontra menjadi dinamika yang mengasikkan. Dan tentu saja ini menjadi salah satu poin penting sebagai perhatian serius bagi warga untuk peduli pada daerahnya.

Sebagai salah satu warga negara yang tinggal di negeri ini, saya sering lupa bahwa tidak semua orang di Indonesia punya akses mudah ke transportasi, khususnya transportasi udara. Memang kita tidak pungkiri bahwa subsidi dalam dunia penerbangan begitu dibutuhkan, subsidi penerbangan adalah bentuk nyata kehadiran negara. Negara tidak hanya hadir di kota-kota besar dengan jalan tol dan kereta cepat, tapi juga di bandara kecil yang mungkin hanya didarati satu atau dua pesawat dalam seminggu. Tanpa subsidi, saya yakin harga tiket ke daerah-daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) akan sangat mahal, dan membuat masyarakat disana makin terisolasi.

Tapi saya juga paham bahwa subsidi bukan tanpa masalah. Ada kekhawatiran soal pemborosan anggaran. Apakah pesawat-pesawat itu benar-benar membawa penumpang yang membutuhkan ? apakah subsidi jatuh ketangan yang tepat ? kadang saya juga berpikir, jangan-jangan program ini hanya jadi proyek rutin yang terus bergulir tanpa evaluasi.

Tapi, kalau kita melihat dari sisi keadilan sosial, subsidi ini tetap perlu. Tidak semua kebijakan harus untung secara finansial. Beberapa kebijakan, seperti subsidi penerbangan, memang dibuat untuk memberi keadilan akses. Bayangkan jika ada warga di perbatasan yang harus membayar jutaan rupiah hanya untuk pergi ke rumah sakit atau mengurus dokumen ke ibu kota provinsi. Apa itu adil ?.

Saya percaya bahwa yang paling penting sebetulnya adalah memperbaiki cara subsidi ini dijalankan. Pemerintah perlu jumlah penumpang dan siapa yang menerima manfaat. Maskapai penerima subsidi juga harus diberi target layanan, bukan hanya menerima dana lalu jalan seadanya.

Jurus tambal sulam konektivitas

Di negara kepulauan seperti Indonesia, langit adalah jalan raya yang tak terlihat. Rute udara menjadi urat nadi penghubung antara pusat dan pinggiran, antara kota besar dan dusun terpencil. Maka wajar jika pemerintah menggelontorkan subsidi untuk memastikan pesawat bisa tetap mendarat di landasan yang jarang disentuh pasar. Tapi sampai kapan subsidi itu harus terus diberikan ? dan yang lebih penting, siapa sebenarnya yang paling diuntungkan ?.

Seperti banyak kebijakan tambal sulam lain, subsidi penerbangan tak jarang jadi jebakan anggaran. Tak sedikit rute yang kosong kursi, pesawat yang mangkrak, atau rute yang hanya menguntungkan sekelompok orang, seperti pengusaha besar yang rutin bolak-balik ke kota, para pejabat negara atau pejabat daerah yang justru menggunakan fasilitas negara.

Masalah lain adalah transparansi dan pengawasan. Siapa yang menentukan rute mana yang layak disubsidi ? apa ukurannya ? berapa jumlah penumpang yang dilayani setiap bulan ? jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini kerap tenggelam dalam laporan teknis yang tak bisa diakses publik. Celah inilah yang kerap dimanfaatkan untuk permainan rente dan kontrak gelap antara operator dan pengelola anggaran.

Subsidi bukanlah dosa anggaran.Tapi ketika dijadikan kebiasaan tanpa disertai target transisi, maka bisa berubah menjadi beban jangka panjang. Ketimbang hanya mengandalkan skema subsidi yang tidak efisien, pemerintah seharusnya berinvestasi pada infrastruktur dasar, dan mendorong integrasi moda transportasi.

Transportasi udara bukan satu-satunya cara menjangkau nusantara, apalagi jika itu hanya menjangkau segelintir orang. Subsidi penerbangan masih dibutuhkan, itu tak bisa disangkal.Tapi harus dievaluasi dengan kaca mata kebijakan, bukan belas kasihan. Negara harus hadir, tapi tidak selamanya harus membayar.

Beberapa kalangan menilai bahwa pemerintah perlu meninjau ulang strategi subsidi penerbangan dengan pendekatan yang lebih holistik. Subsidi seharusnya bersifat sementara dan diarahkan pada pembangunan sistem transportasi yang lebih berkelanjutan. Salah satu pendekatan yang layak dipertimbangkan adalah kemitraan dengan maskapai swasta berbasis insentif performa dimana subsidi diberikan jika maskapai memenuhi target layanan tertentu.

Subsidi penerbangan memang penting dalam konteks pemerataan pembangunan dan keadilan sosial. Tapi agar tidak menjadi beban permanen, perlu strategi yang cerdas, transparan, dan berorientasi pada hasil. Konektivitas Indonesia bukan hanya soal membangun jembatan udara, tapi juga soal membangun ekosistem transportasi yang menyatu, efisien, dan inklusif bagi seluruh rakyat, sehingga rasa keadilan dinikmati oleh masyarakat yang lebih luas. Dan yang paling penting bahwa subsidi tidak membebani anggaran daerah, apalagi menghilangkan hak masyarakat.(**)

……

Pegadaian

DPRD Kota Makassar.

355 SulSel

Infografis PilGub Sulbar

debat publik pilgub 2024

Ucapan selamat Walikota makassar

Pengumuman pendaftaran pilgub sulsel

Pilgub Sulsel 2024

https://dprd.makassar.go.id/
https://dprd.makassar.go.id/