Oleh : Muslimin.M
Seorang mahasiswa bertemu dengan temannya di kantin kampus sambil memegang secangkir kopi dan secarik roti, temannya bertanya, ” mengapa engkau hanya minum kopi dan makan roti,” dia menjawab dengan lelucon,” karena itulah satu-satunya hal yang bisa saya bayar setelah membayar uang kuliah yang mahal ini, ” , keduanya pun saling memandang dengan tawa lepas. Cerita lucu ini meskipun hanya anekdot, tetapi setidaknya memberi pesan moral kepada kita bahwa biaya kuliah yang mahal bisa merenggut hak dasar mahasiswa, setidaknya membatasi hak menikmati makanan yang di inginkan. Berangkat dari cerita ini dan mengaitkannya dengan kondisi saat ini yang masih hangat tentang kenaikan UKT di beberapa PTN, maka dalam tulisan ini saya akan mengurai sisi lain tentang pernyataan seorang pejabat di kementerian yang mengurusi pendidikan, ia menyoroti maraknya aksi protes tentang mahalnya uang UKT, lalu menyebut bahwa kuliah di perguruan tinggi hanya bersifat *tersier*.
Beberapa waktu yang lalu publik menjadi ramai atas pernyataan salah seorang pejabat di kementerian yang mengurusi pendidikan, menanggapi mahalnya UKT di beberapa PTN, ia menyebut bahwa kebutuhan kuliah di Perguruan Tinggi hanya bersifat tersier, pernyataan ini tentu saja memicu reaksi yang sangat keras di masyarakat, pandangan tersebut cenderung intuitif dan tidak berbasis fakta sosial yang menggambarkan kondisi nyata di masyarakat. Jika pemerintah memposisikan Pendidikan Tinggi sebagai kebutuhan tersier, maka kita bisa berasumsi bahwa kuliah bukan kewajiban, hanya “pilihan”, bukan kebutuhan primer yang menjadi kebutuhan prioritas dalam layanan ke masyarakat.
UU No.12 tahun 2012 tentang Badan Hukum Perguruan Tinggi, bisa jadi menjadi pintu masuknya bagi Perguruan Tinggi bekerja sesuai mekanisme pasar sebagai dampak dari status Perguruan Tinggi tersebut dan kurangnya subsidi dari negara, implikasi dari semua ini adalah membengkaknya biaya operasional yang mesti ditanggung oleh mahasiswa. Itu artinya Perubahan status Perguruan Tinggi menjadi PTN BH boleh jadi menjadi pintu berubahnya skema pembiayaan operasional yaitu subsidi negara yang berkurang dan bahkan seolah seperti menjadi kampus swasta, dan dari sinilah menjadi pintu masuknya beban biaya operasional sebagian ditanggung oleh mahasiswa dan ujungnya biaya UKT pada level tertentu menjadi mahal.
Biaya kuliah yang tinggi dapat memiliki dampak yang luas. Salah satunya adalah membatasi akses bagi individu yang memiliki latar belakang ekonomi rendah. Bisa mengurangi keragaman dalam lingkungan akademik dan menghambat mobilitas sosial. Kesenjangan akses terhadap pendidikan tinggi menjadi masalah utama saat ini. Banyak siswa berbakat terpaksa mengubur mimpinya melanjutkan pendidikan karena kendala ekonomi, dan itu artinya seolah membuang aset bangsa yang boleh jadi seorang individu yang berbakat menjadi ilmuan ahli pada bidang tertentu.
Pendidikan Tinggi bersifat tersier ?
Istilah pendidikan tersier secara teknis merujuk pada pendidikan setelah tingkat menengah. Namun, penggunaannya dalam konteks ini tidak tepat. Ketika sebagian masyarakat bergumul dengan mahalnya biaya Pendidikan Tinggi, lalu ada yang menyebut bahwa pendidikan Tinggi sebagai ” *tersier*” hanya menambah kebingungan dan frustasi. Pandangan ini tampak mengabaikan kenyataan bahwa bagi keluarga di negeri ini pendidikan tinggi adalah kunci untuk masa depan yang lebih baik. Pernyataan sang pejabat tersebut nampaknya tidak dilandasi oleh data konkret. Realitas menunjukkan bahwa biaya pendidikan tinggi negeri yang melambung telah menjadi hambatan besar bagi mahasiswa dan keluarganya.
Akses ke pendidikan tinggi adalah hak yang seharusnya bisa dinikmati oleh semua lapisan masyarakat, bukan hanya mereka yang mampu membayar biaya mahal. Pendidikan tinggi membuka pintu bagi individu untuk mendapatkan pekerjaan layak, meningkatkan taraf hidup dan berkontribusi pada pembangunan negara. Namun, tingginya biaya saat ini bisa mengubur impian mereka. Fakta sosial menunjukkan bahwa masyarakat sangat menghargai pendidikan tinggi bukan sekedar prestise tetapi merupakan investasi penting untuk masa depan, sebab mereka meyakini bahwa dengan pendidikan tinggi dapat memperbaiki kualitas hidup dan keluar dari jerat kemiskinan.
Transparansi dan akuntabilitas dalam pembuatan kebijakan pendidikan sangat penting. Masyarakat perlu mengetahui dasar dari setiap pernyataan dan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, hal ini tentu penting untuk menjaga kepercayaan publik dan memastikan bahwa kebijakan yang diambil benar-benar untuk kepentingan mereka. Dari pernyataan sang pejabat itu seakan mencitrakan apakah pendidikan adalah hak privilege kelompok masyarakat tertentu ?, Satu sisi bahwa pendidikan tinggi dapat dianggap sebagai hak yang harus diakses oleh semua kalangan tanpa terkecuali, disisi yang lain dengan biaya yang tinggi sering kali perguruan tinggi seolah hanya bisa diakses oleh kalangan yang memilki ekonomi yang mapan.
Tantangan besar di bidang pendidikan tinggi saat ini adalah tentang bagaimana membuatnya lebih inklusif dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. Pemerintah mesti memastikan komitmen nyata untuk memastikan bahwa pendidikan tinggi tidak lagi menjadi beban berat bagi masyarakat. Program beasiswa, subsidi biaya pendidikan dan kebijakan pembiayaan yang adil harus menjadi prioritas utama dengan berbasis data dan sensitif terhadap kebutuhan masyarakat. Dengan begitu maka kita meyakini bahwa pendidikan tinggi tidak lagi menjadi istimewa bagi sebagian kecil populasi di negeri ini, tetapi menjadi hak dasar yang bisa dinikmati oleh semua kalangan.
Pada akhirnya kita berpikiran baik pada negara bahwa jika nanti ada kebijakan tentang peninjauan kembali biaya UKT ini menjadi lebih murah, maka kita meyakini bahwa aksesibilitas bagi masyarakat yang ekonomi rendah akan terbuka lebar, itu artinya perguruan tinggi sebagai instrumen penting dalam memproduksi generasi terdidik akan semakin diminati oleh masyarakat. Dan ujung dari semua proses itu adalah tersedianya sumber daya manusia Indonesia yang kompetitif yang akan menjadi generasi penerus yang mampu bersaing secara global. Dan “tragedi” uang kuliah cukuplah menjadi cerita indah di masa depan.(**)