Oleh : Salim Majid ( Pemred Daulat Rakyat )
Tangan lentik itu pelan menyentuh tali kecapi, hingga mengeluarkan suara merdu dari mulut kecapi. Masihkah suara indah kecapi mandar tedengar di kampung – kampung?
Seperti obat pelipur lara tatkalah malam mulai menyentuh jiwa yang gersang. Membekas dalam ruang – ruang rindu kala senja memeluk malam. Disetiap hajatan, pada setiap syair mengalir puji – pujian, cerita tentang kepahlawanan hingga religi penyejuk hati.
Dari mulut sang mastro mengalir mantra – mantra mandar. Menyelinap diantara bola mata teduh. Binar yang membelai rasa. Rasa yang terus mengendus dalam luka lara diujung malam. Tembang spontan menggempur setiap detak jantung berdegup kencang. Pujaan hati duduk manis dalam pandangan mata liar. Was-was jiwa yang terus bertahan menanti setitik harapan.
Sekeping cinta dari tangan perkasa lelaki mandar. Sang pejantan itu mulai mengerling hingga beradu padang lalu turun ke hati. Sekepok uang kertas mampir dihadapan sang pujaan hati.
Wanita mandar tak pandai bersolek, tapi Ia juga rajin mengaji dan menebar kasih sayang. Ia pun rajin kesungai mengambil air minum dan memikul beberapa tempat air minum yang orang mandar menyebutnya bila. Mereka menggali lubang – lubang kecil di pinggir sungai lalu memasukkan kedalam bila. Secara medis air sungai mandar sesungguhnya obat dan bersih. Lihatlah anak – anak usai bermain bola di pasir dan langsung meminumnya tanpa memasak lebih dulu.
Diujung malam suara keke dan kecapi terus bersahutan. Syair spontan dari mulut sang maestro terus menenggelamkan belati cinta yang terdalam. Menyempurnakan purnama yang membiaskan cahaya dimalam buta. Makin malam makin syahdu. Makin terang pula gincu merah merona itu.
Setiap menit darah muda itu mengalir. Ingin menggapai purnama yang mulai pucat pasi dan malu – malu. Tak perduli teriakan penonton yang histeris. Pertunjukan tradisi mulai memanas di panggung – panggung.
Bau tak sedap bercampur aduk dengan suara denting kecapi mandar. Petikan kecapi mandar mulai menebar senyum, hingga membelai pucuk – pucuk rindu. Melempar senyum kemenagan dari balik panggung. Sepotong cahaya menampar wajah mereka. Berdiri angkuh di bibir panggung terus merogok lembaran uang kertas dari balik saku jelana jeans yang lusuh.
Dulu suara kecapi itu masih sakral. Kental nuansa religi dan pujian. Kini suara kecapi itu nyaris tak terdengar lagi. Alat musik tradisi mandar seperti tak ada lagi tangan penerusnya. Hajatan di kampung – kampung menggeser ruang tradisi menjadi ruang modernisasi. Transformasi musik moderen telah dijejali alam pikir generasi milineal.
Kehilangan suara kecapi mandar seperti kehilalangan identitas budaya. Tercerabut dari akar budaya seperti kehilangan arah. Lantas, kemana kaki ini melangkah? Sebab akar budaya adalah pijakan nilai. Nilai yang tak bernilai ibarat hidup tak bertujuan.
Meski suara kecapi mandar sesekali masih terdengar dilorong – lorong kampung nun jauh. Jauh dari bising kota. Jauh dari kejenuhan kota. Tak boleh hilang, tak boleh redup. Namamu tetap terpatri meski hanya sekeping cinta.(*)