Oleh : Muslimin.M
Beberapa waktu yang lalu, saya menulis opini dengan judul ‘demokrasi semu’, poin penting dalam tulisan itu adalah semakin tidak terkendalinya sepak terjang oligarki dalam sistem demokrasi kita saat ini, kaitan dengan itu saya mengulas kembali dengan memberi perspektif lain dengan melihat kondisi pilkada saat ini yang sudah memasuki tahapan pendaftaran calon. Alasan rasionalnya adalah munculnya fenomena borong partai dan issu munculnya kotak kosong, meskipun pada akhirnya gerakan itu sedikit melemah ketika MK mengeluarkan putusan No.60 dan 70.
Kaitan dengan itu, jika kita merujuk pada konstitusi UUD 1945, dijelaskan di sana bahwa Indonesia adalah negara demokrasi, bahkan demokrasi di Indonesia sendiri menempati posisi penting dalam pembagian kekuasaan. Praktik demokrasi saat ini lebih didominasi oleh para pemilik modal( oligarki ), uang dijadikan sebagai pusatnya, akibatnya Politik uang semakin tumbuh dan berkembang dengan pesat dan sulit dikendalikan apalagi mau dihilangkan.
Meningkatnya pragmatisme dalam setiap momen pemilu atau pilkada, bisa kita asumsikan bahwa ada rasionalitas ekonomi yang menguat, sebab hanya orang yang memiliki kemampuan finansial lah yang bisa melakukan itu. Kekhawatiran kita dalam Pilkada saat ini adalah semakin maraknya politik uang dalam ‘pseudo democracy,’ cukup beralasan sebab faktanya hampir setiap perhelatan demokrasi elektoral yang melibatkan massa selalu ditemukan praktik politik uang.
Tidak dipungkiri bahwa mahalnya biaya politik dalam Pilkada dan tingginya ketimpangan pendapatan yang terjadi membuat demokrasi hanya dinikmati oleh segelintir elite kelas menengah atas. Demokrasi kita belum menjangkau kelas-kelas bawah utamanya yang tinggal di kawasan pedesaan. Sirkulasi kekuasaan hanya berputar dalam tataran elite. Kondisi ini yang kemudian berpotensi melahirkan oligarki-oligarki elite di dalam pemerintahan.
Ketimpangan ekonomi yang terjadi menjadi problem utama yang harus teratasi, jika kemudian hal ini diabaikan, maka Pemerintah sedang menghadirkan pseudo democracy di tengah tengah masyarakat. Pilkada yang seharusnya dapat menjadi kendaraan untuk membawa aspirasi dan kedaulatan masyarakat dalam dunia politik, justru menjadi ilusi dan tidak berdampak apa-apa bagi perubahan kehidupan masyarakat.
Kekuatan rakyat
Dalam beberapa kasus, Pilkada hanya menjadi ajang bagi kelompok elit atau oligarki untuk mempertahankan kekuasaan. Mereka mendukung calon tertentu dengan kekuatan finansial atau jaringan kekuasaan, sehingga rakyat tidak benar-benar memiliki pilihan yang bebas.
‘Pseudo democracy’ dalam Pilkada menciptakan situasi di mana proses pemilihan tidak benar-benar berfungsi untuk memilih pemimpin yang terbaik berdasarkan kehendak rakyat, melainkan menjadi ajang untuk mempertahankan status quo atau kepentingan kelompok tertentu. Hal ini dapat merugikan masyarakat luas karena pemimpin yang terpilih tidak mampu memenuhi aspirasi publik.
Padahal, demokrasi menyimpan banyak harapan bagi masyarakat yang menginginkan perubahan tata kelola pemerintahan. Perpindahan kekuasaan ditangan rakyat merupakan prinsip dasar dari demokrasi menjadi substansi penting untuk menjalankan kehidupan bernegara. Berbagai perubahan besar terjadi pada pemerintahan yang demokratis dimana sebelumnya sistem otoriter menguasai hampir di semua negara.
Rakyat memiliki kekuatan besar untuk mengatur, menjalankan dan mengawasi pelaksanaan kebijakan pemerintah di segala lini. Demokrasi mengubah cara pandang masyarakat mengenai pengelolaan manajemen pemerintahan yang tadinya bersifat perintah menjadi musyawarah.
Abrahan Lincoln (1863) ( government of the people, by the people, and for the people). lalu C.F. Strong, demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan di mana mayoritas anggota dewan dari masyarakat ikut serta dalam politik atas dasar sistem perwakilan yang menjamin pemerintah yang pada akhirnya mempertanggungjawabkan tindakan-tindakannya pada mayoritas tersebut.
Poin penting dari pendapat diatas adalah bahwa demokrasi sesungguhnya memiliki kekuatan dan kedaulatan dari rakyat yang digunakan untuk mengatur dan mengelola kehidupan rakyat sendiri. Pengaturan tersebut dilimpahkan kepada perwakilan-perwakilan yang dipilih melalui mekanisme pemilihan umum untuk legislatif, pun juga untuk eksekutif yaitu kepala daerah melalui pilkada langsung. Artinya bahwa demokrasi mengakui keberadaan setiap individu untuk ikut terlibat dalam proses pemerintahan mulai dari awal hingga akhir. Keterlibatan rakyat dalam kehidupan politik dan pemerintahan mencakup pengambilan keputusan hingga evaluasi kebijakan.
Kekuatan rakyat dalam menghalau ‘pseudo democracy’ sangat penting dan berperan sentral dalam menjaga integritas dan keaslian demokrasi. Rakyat harus aktif terlibat dalam setiap momen pemilu atau pilkada, baik sebagai pemilih maupun sebagai calon yang mewakili kepentingan publik. Partisipasi yang tinggi dapat mengurangi manipulasi dan memastikan bahwa suara rakyat benar-benar tercermin dalam hasil pemilihan.
Pun juga, organisasi non pemerintah dan kelompok masyarakat sipil atau civil society dapat berfungsi sebagai pengawas yang kuat terhadap penyimpangan dalam demokrasi, dapat mengorganisir kampanye kesadaran dan advokasi untuk melawan tindakan yang merusak demokrasi. Ketika ada indikasi bahwa demokrasi sedang diselewengkan, rakyat dapat menggunakan hak mereka untuk melakukan protes damai. Gerakan sosial yang kuat akan mampu menekan pemerintah untuk kembali ke jalur demokrasi yang sebenarnya.
Melalui upaya-upaya diatas, kita ingin memastikan bahwa rakyat dapat menjaga dan melindungi demokrasi dari ancaman yang berusaha mengubahnya menjadi ‘psedou democracy’, kita ingin kepala daerah yang terpilih adalah kepala daerah yang akan mampu menjalankan amanah dan tanggung jawab nya, ikhlas bekerja untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan pribadi, golongan apalagi oligarki.(**)