Oleh : Muslimin.M
Beberapa hari yang lalu kita dikagetkan dengan berita yang begitu heboh tentang pengungkapan uang palsu oleh polisi yang diduga dicetak di gedung perpustakaan salah satu kampus Islam terbesar di Indonesia dan diduga kepala perpustakaan nya menjadi salah satu pelakunya, dan tentu saja ini adalah kelakuan oknum yang tidak terkait dengan institusi, bahkan karena ulah oknum tersebut reputasi lembaga pendidikan itu menjadi tercemar. Tak pelak peristiwa memalukan ini menjadi viral dan menjadi tema perbincangan, menjadi headline dibeberapa media dan bahkan menjadi bahan olok-olokan di media sosial.
Lalu, apa kaitan dengan pilkada ?, tentu saja tulisan ini tidak akan mengurai peristiwa yang terjadi di kampus itu dan mengaitkannya dengan pilkada yang baru saja usai, saya hanya akan memotret secara terbatas tentang fenomena peredaran uang palsu disetiap momen Pilkada, dimana peredaran uang palsu ini menjadi indikator bahwa Pilkada langsung sarat dengan manipulasi dengan biaya yang sangat besar.
Kita tentu memahami bahwa pilkada merupakan momen penting dalam perjalanan demokrasi di negeri ini dimana warga negara berhak memilih pemimpin daerahnya. Namun, di balik semaraknya pesta demokrasi tersebut, tak jarang muncul berbagai persoalan yang merusak nilai-nilai keadilan dan transparansi. Salah satu masalah yang semakin memprihatinkan adalah peredaran uang palsu yang sering digunakan untuk mempengaruhi hasil pemilihan.
Uang palsu dalam konteks pilkada bukan hanya soal peredaran uang yang tidak sah, tetapi juga menciptakan ketidakadilan dalam proses demokrasi. Tak sedikit calon pemimpin yang menggunakan uang palsu untuk memobilisasi suara rakyat dengan cara yang tidak sah. Strategi licik ini memanfaatkan ketidaktahuan sebagian masyarakat yang menerima uang tersebut tanpa menyadari bahwa mereka telah terperangkap dalam permainan yang merusak integritas pemilu.
Ketika uang palsu beredar, maka suara rakyat menjadi terkontaminasi. Rakyat yang seharusnya memilih berdasarkan visi dan misi para calon pemimpinnya, malah terperdaya oleh iming-iming materi yang bukan hanya tidak sah, tetapi juga merusak esensi dari demokrasi itu sendiri. Penggunaan uang palsu menjadi cara untuk menyesatkan pemilih dan mengubah hasil pemilihan yang seharusnya mencerminkan kehendak rakyat secara jujur.
Fenomena ini juga membuka celah bagi praktik-praktik kecurangan yang lebih besar, seperti pemalsuan dokumen dan manipulasi data pemilih. Dengan mengedarkan uang palsu, para calon yang ingin meraih kekuasaan melalui cara-cara ilegal ini, menyulut ketidakpercayaan publik terhadap lembaga pemilu dan proses demokrasi secara keseluruhan.
Tetapi di balik berbagai tantangan ini, banyak pihak yang terus berjuang untuk memastikan Pilkada berjalan dengan adil dan transparan. Lembaga pengawas pemilu, aparat penegak hukum, serta masyarakat sipil yang peduli dengan integritas pemilu berperan penting dalam memberantas peredaran uang palsu dan berbagai bentuk kecurangan lainnya. Hanya dengan kolaborasi dan komitmen bersama, demokrasi di Indonesia bisa terus maju, bebas dari praktik-praktik yang merusak.
Taruhan Integritas
Pilkada seharusnya menjadi sebuah proses demokrasi yang murni dimana rakyat memiliki kebebasan untuk memilih pemimpinnya tanpa adanya tekanan atau pengaruh negatif. Praktik jual beli suara yang melibatkan uang palsu semakin merusak kualitas pemilihan, fenomena ini tidak hanya melanggar hukum tetapi juga mengancam integritas demokrasi itu sendiri.
Uang palsu yang beredar dalam konteks pilkada sering digunakan untuk mempengaruhi pemilih yang rentan. Dengan menawarkan uang palsu sebagai imbalan, oknum-oknum tertentu berusaha membeli suara rakyat demi memenangkan calon tertentu. Mereka yang terlibat dalam praktik ini tidak hanya melanggar etika, tetapi juga merusak prinsip dasar pemilu yang mengedepankan kebebasan dan kejujuran.
Proses jual beli suara dengan uang palsu berlangsung secara diam-diam, sering di luar pengawasan petugas pemilu. Para pemilih yang menerima uang palsu tersebut biasanya tidak menyadari bahwa mereka terperangkap dalam permainan yang bisa merugikannya dan masyarakat secara keseluruhan. Mereka menerima uang tersebut dengan harapan bisa memenuhi kebutuhannya tanpa mengetahui bahwa suaranya telah diperjualbelikan dengan cara yang tidak sah.
Dampak dari praktik ini sangatlah besar, hasil Pilkada yang tercipta dari manipulasi semacam ini tidak akan mencerminkan kehendak rakyat yang sebenarnya. Pemimpin yang terpilih melalui cara kotor ini tidak akan memiliki legitimasi yang kuat karena suara rakyat telah dirusak oleh praktik kecurangan dan kepercayaan publik terhadap proses demokrasi akan semakin menurun. Masyarakat bisa merasa apatis terhadap pemilu, berpikir bahwa suara mereka bisa dibeli dengan mudah sehingga enggan untuk berpartisipasi dengan sungguh-sungguh.
Hal lainnya bahwa uang palsu yang digunakan dalam transaksi jual beli suara dapat memperburuk kondisi ekonomi masyarakat. Pemilih yang menerima uang palsu, pada akhirnya akan merasa dirugikan ketika uang tersebut tidak dapat dipakai untuk transaksi yang sah, dan berpotensi menambah ketidakstabilan sosial, masyarakat merasa kecewa dengan keadaan yang tidak adil dan penuh manipulasi.
Untuk mengatasi masalah ini, upaya bersama antara aparat penegak hukum, penyelenggara pemilu dan masyarakat sangatlah penting. Penindakan tegas terhadap para pelaku jual beli suara dan peredaran uang palsu harus dilakukan dengan cepat dan transparan, edukasi kepada masyarakat mengenai bahaya uang palsu dan pentingnya memilih dengan hati nurani perlu terus digalakkan. Uang palsu merusak prinsip dasar demokrasi yang mengutamakan pilihan rakyat secara bebas dan jujur. Penggunaan uang palsu bisa menjadikan hasil pilkada tidak mencerminkan pilihan rakyat yang sebenarnya yang pada akhirnya merusak legitimasi pemerintah daerah yang terpilih.
Hal penting yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah bagaimana masyarakat diberikan pemahaman tentang cara membedakan uang palsu dengan uang asli, baik melalui media, kampanye pendidikan atau pelatihan-pelatihan khusus di daerah-daerah rawan. Kemudian dibarengi dengan penegakan hukum terhadap pelaku peredaran uang palsu secara tegas. Pihak yang terlibat dalam distribusi uang palsu, baik itu produsen, distributor, atau pengguna harus dikenakan sanksi hukum yang berat agar memberi efek jera.
Tentu kita sepakat bahwa peredaran uang palsu dalam pilkada bisa menggoyahkan sistem demokrasi jika dibiarkan terus berkembang. Kolaborasi antara masyarakat, aparat penegak hukum menjadi penting agar peredaran uang palsu yang bukan hanya pada momen pilkada tetapi juga pada pasca pilkada dapat dicegah dan dihukum berat para pelakunya dan kejadian yang lagi viral tersebut tidak terulang dimasa yang akan datang.(**)