Oleh : Muslimin.M
Seorang remaja berinisial AA (17) di Kabupaten Pati, Jawa Tengah yang diarak warga karena mencuri pisang, menarik perhatian publik. Setelah tertangkap saat membawa empat tundun pisang dengan tongkat kayu, AA digiring ke kantor desa dalam kondisi bertelanjang dada dan hanya bisa menunduk di tengah kerumunan warga.
Dan kasus ini akhirnya diselesaikan secara kekeluargaan tanpa tuntutan hukum. Di balik kejadian tersebut, ada kisah pilu yang membuat banyak orang tergerak hatinya, salah satunya, mencuri pisang untuk menghidupi Keluarga. AA mencuri pisang seharga Rp250 ribu dari kebun warga di Desa Gunungsari, Kecamatan Tlogowungu. Ia terpaksa melakukannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari adiknya yang masih sekolah dan kakeknya yang sudah tua(suara Jawa Tengah.id,4/3/25).
Kasus pencuri pisang diatas, secara hukum tentu tidak dibenarkan, dan yang bersangkutan kemungkinan dia tahu itu salah dan akan menghadapi hukuman jika ketahuan.Tetapi, dalam keputusasaannya, bisa jadi dia merasa bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk memberi makan keluarganya yang kelaparan. Dengan hati yang berat, dia terpaksa melakukannya.
Dari kasus ini, sejenak kita berpikir dan bertanya dalam hati, bagaimana dengan kasus maling uang negara yang jumlahnya triliunan ? Adakah keadilan hukum atas perlakuan kedua kasus itu ?, hari-hari ini kita begitu miris melihat tindakan para maling negara, baik itu pejabat tinggi maupun petinggi di lembaga negara atau daerah, termasuk pejabat di perusahaan negara. Perbuatan rampok ini sudah bertahun-tahun mereka lakukan dengan cara menyalahgunakan jabatannya, para penyamun ini mengambil uang negara yang seharusnya digunakan untuk kepentingan rakyat, tetapi malah digunakan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Uang yang seharusnya digunakan untuk memperbaiki fasilitas umum, pendidikan, dan kesehatan, malah masuk ke kantongnya.
Dari kasus pencuri pisang, banyak kalangan menilai bahwa kasus pencuri pisang itu, digambarkan sebagai kasus yang terdesak oleh kondisi ekonomi, mereka terpaksa mengambil pisang atau hasil bumi lainnya dengan alasan kelaparan dan kebutuhan mendesak untuk bertahan hidup. Masyarakat, terutama di desa-desa, melihat pencurian seperti ini dengan lebih banyak rasa empati. Si pelaku dianggap sebagai korban dari ketimpangan sosial dan ketidakadilan ekonomi yang mengakar dalam struktur masyarakat.
Beda halnya dengan maling uang negara, korupsi yang melibatkan pejabat tinggi, merupakan perbuatan yang dianggap disengaja bahkan direncanakan. Perbuatan ini memiliki dampak jauh lebih besar, seluruh masyarakat dan negara korbannya. Uang negara yang dicuri berasal dari pajak yang dibayar oleh rakyat, sehingga pelaku korupsi pada dasarnya mengambil hak rakyat untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Memang, kedua kasus tersebut seharusnya tidak boleh dipandang sebelah mata, meskipun pencurian pisang tidak menimbulkan kerugian yang signifikan dibandingkan dengan maling uang negara, keduanya tetap merupakan bentuk pelanggaran yang merugikan masyarakat, baik dalam skala besar maupun kecil.
Perbandingan antara pencuri pisang dan maling uang negara menunjukkan bahwa keadilan hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu.Tidak ada pembenaran untuk tindakan kriminal, baik itu dilakukan oleh yang kelaparan ataupun oleh pejabat tinggi yang menyalahgunakan kekuasaan. Hukum harus berlaku adil untuk semua lapisan masyarakat, tanpa memandang status sosial atau kekayaan seseorang. Hanya dengan penegakan hukum yang tegas dan adil, kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan bisa terjaga, dan keadilan sosial dapat tercapai.
Persfektif keadilan
Dari konteks peristiwa kasus diatas, jika ditarik kedalam perspektif keadilan hukum terhadap kasus pencurian karena kemiskinan dan korupsi oleh pejabat dapat dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda, meskipun keduanya kategori perbuatan ilegal. Beberapa teori keadilan yang sering dikemukakan oleh ahli hukum :
Pertama, Perspektif Keadilan Retributif, pencurian oleh orang miskin, dari sudut pandang keadilan retributif, pemberian hukuman yang setimpal dengan kejahatan yang dilakukan, orang yang mencuri tetap harus dihukum sesuai dengan tindakannya. Namun, ahli hukum dapat mempertimbangkan faktor-faktor seperti niat, keadaan ekonomi, dan tekanan sosial. Karenanya, meskipun pencurian tetap merupakan perbuatan yang salah, beberapa ahli hukum berpendapat bahwa faktor mitigasi seperti kondisi kemiskinan atau keterdesakan bisa mempengaruhi hukuman, seperti pengurangan hukuman atau pembinaan.
Beda dengan Korupsi oleh Pejabat, keadilan retributif menuntut hukuman yang berat karena dampaknya yang luas terhadap masyarakat. Koruptor pejabat dianggap telah menyalahgunakan kepercayaan dan kekuasaan mereka untuk keuntungan pribadi yang berpotensi merugikan banyak orang. Dalam konteks ini, hukuman yang berat, bahkan hukuman penjara yang lama, dianggap perlu untuk memberikan efek jera dan menjaga integritas sistem pemerintahan.
Kedua, Perspektif Keadilan Restoratif, Pencurian oleh orang miskin, lebih ditekankan pada pemulihan hubungan antara pelaku dan korban. Dalam kasus pencurian yang dilakukan oleh orang miskin, pendekatan yang lebih humanis, seperti restitusi (pengembalian barang yang dicuri atau kompensasi) dan rehabilitasi, dengan harapan agar pelaku dapat kembali ke masyarakat dengan cara yang lebih produktif tanpa penindasan lebih lanjut.
Kalau Korupsi oleh Pejabat, Dalam perspektif ini, penekanan pada pemulihan kerugian yang timbul akibat korupsi, serta mendorong pelaku untuk bertanggung jawab atas tindakannya dan memberikan ganti rugi kepada masyarakat, dalam kasus korupsi tetap harus diimbangi dengan hukuman yang cukup keras karena dampak sosial dan ekonomi dari tindakan mereka jauh lebih besar.
Ketiga, Perspektif Keadilan Distributif, pencurian oleh orang miskin, keadilan distributif berfokus pada distribusi yang adil dari sumber daya dan hak. Dalam konteks orang miskin yang mencuri karena kelaparan atau kebutuhan dasar lainnya, ahli hukum menyoroti ketidakadilan dalam distribusi kekayaan dan sumber daya. Beberapa ahli berpendapat bahwa kebijakan sosial yang lebih adil yang memberikan akses lebih baik terhadap pendidikan, pekerjaan, dan perawatan kesehatan, dapat mengurangi tekanan yang mendorong orang miskin untuk mencuri.
Jika Korupsi oleh Pejabat, Korupsi mengurangi keadilan distributif karena pejabat yang korup menyalahgunakan sumber daya negara untuk keuntungan pribadi mereka, meninggalkan sebagian besar masyarakat dengan lebih sedikit akses terhadap layanan publik yang seharusnya mereka nikmati. Dari perspektif ini, tindakan korupsi harus diadili dengan tegas untuk mengembalikan sumber daya kepada masyarakat dan memastikan distribusi yang lebih adil.
Keempat, Perspektif Keadilan Sosial, Pencurian oleh rang miskin:, Ahli hukum yang menganut teori keadilan sosial mengaitkan pencurian oleh orang miskin dengan kesenjangan sosial yang ada, bahwa jika negara tidak memberikan peluang yang cukup bagi warganya untuk memenuhi kebutuhan dasar, maka tindakan kriminal dapat dipandang sebagai hasil dari ketidakadilan struktural. Karena itu reformasi sosial dan kebijakan yang mengurangi ketimpangan sosial sebagai solusi jangka panjang, selain penegakan hukum.
Kalau Korupsi oleh Pejabat, adalah salah satu contoh ketidakadilan sosial yang sangat merusak. Dari sudut pandang keadilan sosial, korupsi memperburuk ketimpangan sosial dan menciptakan ketidaksetaraan yang lebih besar. Para ahli hukum berpendapat bahwa untuk mencapai keadilan sosial, sistem hukum harus menindak keras korupsi, dan memperkuat transparansi serta akuntabilitas dalam pemerintahan.
Dari perspektif keadilan hukum diatas, kita dapat memberi penegasan bahwa pencurian yang dilakukan oleh orang miskin maupun korupsi oleh pejabat tetap merupakan tindakan yang melanggar hukum, tetapi pendekatannya bisa sangat berbeda. Pencurian oleh orang miskin dipandang sebagai akibat dari ketidakadilan sosial dan ekonomi, sementara korupsi oleh pejabat dianggap sebagai pengkhianatan terhadap kepercayaan publik dan penyalahgunaan kekuasaan. Karena itu, dalam konteks keadilan, perlakuan terhadap kedua jenis kejahatan ini cenderung bervariasi tergantung pada prinsip keadilan yang digunakan, baik itu retributif, restoratif, distributif, ataupun sosial.
Akhirnya, kita berharap bahwa kasus pencurian yang dilakukan seseorang karena faktor ekonomi dan kondisi sosial yang memaksa, pemerintah seharusnya fokus pada perbaikan akar masalah nya yaitu meminimalisir ketimpangan sosial yang ada dan memperbaiki ekonomi masyarakat. Kasus maling uang negara yang dilakukan oleh para pejabat dan petinggi lembaga, pemerintah seharusnya juga menjatuhkan hukuman yang sangat berat kepada mereka agar efek jera kepada pelaku dan oknum yang berniat melakukan kejahatan itu dapat dicegah, sebab dengan begitu maka para koruptor dan penghianat bangsa ini bisa dihentikan perbuatannya.(**)