Oleh : Muslimin.M
Dua hari yang lalu, saya di WA seorang kawan, kebetulan beliau salah seorang aktivis yang cukup konsen memperjuangkan pemekaran daerah, beliau bercerita kepada saya bahwa sudah lebih sepuluh tahun berjuang bersama teman-temannya untuk memekarkan sebuah daerah menjadi daerah otonom baru,
Saya lalu bertanya ke dia, mengapa begitu lama dan apa masalahnya ?, beliau hanya menjawab singkat “kran otonomi belum di buka pusat”. Sejenak saya berpikir dan bertanya dalam hati dan menjawabnya sendiri..’kran tidak dibuka pasti pusat ada alasan rasional dan pasti ada kepentingan nasional yang lebih penting’.
Dari cerita kawan saya diatas, dan kemudian kita kaitkan dengan kondisi keuangan negara beberapa tahun terakhir ini, apalagi tahun 2025 ini, sepertinya memang alasan rasional dari pusat itu bisa diterima dan dimaklumi banyak kalangan. Dan memang harus realistis melihat kondisi ini.
Apa sebetulnya otonomi daerah ini ?
Otonomi daerah yang difahami banyak kalangan selama ini adalah kebijakan strategis negara yang membawa harapan besar untuk mempercepat pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat secara adil dan merata.
Dari konteks itu, tentu tujuannya sangat baik bagi rakyat dan beberapa daerah otonom yang berhasil sudah menikmati hasilnya, bahkan tidak sedikit berkembang begitu pesat.
Hanya saja, tidak semua daerah otonom berhasil sesuai cita-cita, realitas yang ada justru banyak yang jauh dari harapan. Setelah lebih dari dua dekade diberlakukan, ada banyak daerah yang justru tertatih-tatih dalam mengelola daerahnya, meskipun ada juga yang memberikan perubahan signifikan.
Padahal,
otonomi daerah itu seharusnya bisa menciptakan pemerintahan yang lebih responsif dan efesien, mampu menyusun kebijakan yang lebih sesuai kebutuhan masyarakatnya.
Dari kondisi itu, sudah saatnya kita dituntut untuk menilai sejauh mana otonomi daerah ini benar-benar memberikan manfaat bagi masyarakat secara umum, apakah benar masyarakat yang menikmati ?, atau jangan-jangan justru elitnya yang bahagia ?
Fakta saat ini, justru banyak daerah yang terjebak dalam perdebatan soal pembagian kekuasaan dan kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah. Ketimpangan antara daerah kaya dan daerah miskin semakin terasa dan melebar. Daerah yang kaya bisa mengelola sumber daya alamnya dengan baik, sementara daerah miskin tetap tergantung pada transferan dari pemerintah pusat.
Dan yang tak kalah memprihatinkan adalah otonomi daerah yang tadinya digadang-gadang akan memberikan kebebasan bagi daerah untuk berkreasi dalam membangun wilayahnya, justru terkesan dimanfaatkan untuk kepentingan politik sempit dan pragmatis.
Banyak calon kepala daerah atau bahkan sudah menjadi kepala daerah lebih sibuk dengan agenda politik jangka pendeknya, sibuk dengan kegiatan seremonial yang tidak ada ujung manfaatnya bagi rakyat, ketimbang memikirkan pembangunan berkelanjutan, memikirkan nasib rakyatnya.
Seperti mimpi buruk
Otonomi daerah pertama kali diterapkan pada tahun 2001, begitu menggembirakan sebab hampir semua masyarakat pada waktu itu menaruh harapan besar akan terciptanya kesejahteraan dan keadilan ekonomi bagi mereka.
Saya sering mendengar cerita dari banyak kalangan bahwa diawal penerapan otonomi daerah, banyak yang percaya dan optimis bahwa setiap daerah akan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk mengelola sumber daya alamnya, merancang kebijakan yang lebih relevan dengan kondisi daerahnya, dan tentu saja mempercepat pembangunan di wilayahnya.
Harapan itu bukan tanpa alasan, sebab setiap daerah memiliki potensi dan tantangan yang berbeda-beda, dan dengan adanya otonomi daerah ini, menjadi kesempatan bagi pemerintah daerah mengatur segala sesuatunya dengan lebih baik dan sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.
Tetapi sayang,
Fakta berbicara lain, ternyata otonomi daerah tidak selalu berjalan mulus, salah satu masalah serius yang muncul adalah adanya ketimpangan antara daerah kaya dan miskin. Daerah dengan sumber daya alam yang melimpah seperti minyak, gas, dan tambang mineral dapat dengan mudah membiayai pembangunan mereka sendiri, sementara daerah yang kurang memiliki potensi alam dan bergantung pada alokasi dana dari pemerintah pusat, daerah ini menjadi tertatih-tatih dan kewalahan sebab dananya minim.
Jujur,.
meski menghadapi banyak tantangan, otonomi daerah tetap saja memberikan peluang besar. Beberapa daerah yang mampu mengelola potensinya dengan baik, mampu mengembangkan sektor pariwisata, pertanian, industri kreatif, dan sumber ekonomi lainnya dapat merasakan dampak positif dari kebijakan ini, mampu membuat kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya, menciptakan lapangan pekerjaan dan tentu saja dapat meningkatkan kesejahteraannya.
Sejatinya,
otonomi daerah merupakan fase perjalanan panjang yang tidak bisa hanya diukur dengan angka-angka, apalagi narasi hasil jangka pendek.
Tetapi,
ini tentang bagaimana kita bisa menciptakan sistem pemerintahan yang lebih dekat dengan masyarakat, lebih transparan, dan lebih mampu mengatasi tantangan-tantangan di masyarakat. Mungkin kita belum sepenuhnya sampai pada titik itu, tetapi setidaknya kita harus terus berusaha dan optimis untuk menggapainya.
Tantangan terbesar kita saat ini adalah bagaimana mengatasi ketimpangan antar daerah, memperbaiki sistem pemerintahan yang ada, dan memastikan bahwa otonomi daerah tidak hanya menjadi jargon, tetapi bisa benar-benar memberikan hasil yang nyata bagi rakyat, bukan kelompok elit.
Karenanya,
sebetulnya yang dibutuhkan saat ini bukan hanya pemberian kewenangan yang lebih besar, tetapi juga pendampingan yang lebih intensif dari pemerintah pusat untuk memastikan daerah benar-benar siap untuk menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai daerah otonom.
Tanpa itu, otonomi daerah hanya akan menjadi kebijakan yang kehilangan arah, hanya sebuah mimpi buruk yang mengecewakan dan menyakitkan bagi rakyat.
“Otonomi daerah adalah suatu bentuk desentralisasi kekuasaan dari pemerintah pusat ke daerah, agar daerah dapat lebih mandiri dan mampu mengelola sumber daya secara efektif demi kesejahteraan masyarakatnya”.
Ryaas Rasyid.(**)