Oleh : Muslimin.M
” Kekuasaan cenderung merusak,dan kekuasaan absolut cenderung merusak secara absolut”, bahwa setiap orang yang memiliki kekuasaan dapat berubah prilakunya, terkadang menjadi otoriter atau tidak adil
(Lord Acton).
Kalau saja kita mau jujur, sejatinya negeri ini adalah sebuah negara yang kaya akan sumber daya alam, budaya, dan sejarah, tetapi sayang, kadang dianggap sebagai negeri yang penuh paradoks, tanahnya subur dan alamnya melimpah, rakyatnya justru terjebak dalam masalah kemiskinan, ketimpangan sosial, dan ketidakadilan.
Di satu sisi, tampak berkembang pesat dengan modernisasi di berbagai sektor, namun disisi lain, kesenjangan sosial dan ketidakmerataan pembangunan masih menjadi masalah yang tak kunjung selesai.
Realistis saat ini, kemajuan teknologi yang pesat, tetapi di banyak daerah masih banyak orang yang kesulitan mendapatkan akses yang memadai. Masyarakat kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, dan kota besar lainnya seolah hidup dalam dunia yang berbeda dengan mereka yang tinggal di daerah pelosok, meskipun pemerintah telah mencanangkan berbagai program untuk meratakan pembangunan, tapi kenyataannya infrastruktur dan layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan transportasi masih belum merata.
Pertanyaannya, bagaimana kita bisa melihat paradoks ini ?
Dalam konteks ekonomi, kita menjadi salah satu ekonomi terbesar di dunia, tetapi tingkat kemiskinan masih tinggi, angka pengangguran dan kemiskinan tetap menjadi tantangan besar. Banyak orang yang bekerja di sektor informal dengan pendapatan yang tidak menentu, sementara sebagian kecil masyarakat justru menikmati kemakmuran yang luar biasa. Fakta inilah yang menjadi ironi, ketika sebagian orang menikmati kemewahan dan sebagian lainnya masih berjuang untuk sekadar bertahan hidup.
Disisi politik, kita juga mengalami paradoks yang serupa. Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, negeri ini telah berhasil menyelenggarakan pemilu yang relatif bebas meskipun kadang tidak adil. Demokrasi yang berjalan saat ini terjebak pada politik identitas dan polarisasi yang tajam, padahal demokrasi itu seharusnya berfungsi untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat, tetapi justru menjadi ajang untuk kepentingan kelompok tertentu yang mengabaikan kepentingan mayoritas.
Kalau kita tengok kebelakang, sebenarnya paradoks ini bukanlah hal yang baru dalam sejarah bangsa ini. Sejak kemerdekaan, negeri ini selalu dihiasi oleh ketimpangan antara yang kaya dan yang miskin, antara yang berkembang dan yang tertinggal. Padahal kemajuan zaman seharusnya bisa menjadi kesempatan untuk memperbaiki semua ketidaksetaraan itu.
Dari konteks diatas, ada pemikiran bahwa untuk keluar dari jebakan paradoks ini, dibutuhkan keberanian untuk melakukan reformasi nyata dalam berbagai sektor. Pembangunan yang inklusif yang menjangkau seluruh lapisan masyarakat harus menjadi prioritas utama. Pemerintah perlu memperkuat sektor pendidikan dan kesehatan, serta memperbaiki distribusi sumber daya untuk memastikan bahwa semua warga negara dari sabang sampai Merauke, memiliki kesempatan yang sama untuk maju. Kita harus berani mengevaluasi kembali kebijakan yang selama ini tidak memberikan dampak positif yang signifikan terhadap kehidupan rakyat banyak.
Negeri ini memang penuh paradoks, namun paradoks bukanlah nasib yang tak bisa diubah. Dengan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta, kita masih memiliki peluang untuk meruntuhkan tembok ketimpangan dan ketidakadilan. Negeri ini, dengan segala potensinya, berhak menjadi tempat yang lebih baik untuk semua.
Seperti Sarang koruptor ?!
Negeri ini dahulu dikenal dengan kedamaian, kesahajaannya, kini telah berubah seolah menjadi sarang koruptor. Meskipun semua berjalan dalam kontradiksi, ada satu hal yang tak pernah berubah, orang-orang yang berkuasa selalu menemukan cara untuk menguntungkan diri mereka sendiri, seperti korupsi tak tampak seperti korupsi biasa.
Ia bersembunyi dalam kebijakan yang tampak bijaksana, dalam langkah-langkah yang terlihat sah, tetapi sejatinya merugikan rakyat.
Para pejabat tinggi yang memiliki kekuatan untuk membuat keputusan yang menguntungkan banyak orang, namun justru sering mengambil jalan yang memanfaatkan ketidaktahuan dan kebingungan rakyat, memperkenalkan undang-undang yang terdengar adil, tetapi di baliknya tersembunyi celah yang mengalirkan dana negara ke kantong pribadi atau kelompok nya.
Para koruptor di Negeri Paradoks, walau tampak seperti warga yang hidup secara normal, tetapi sebenarnya selalu memiliki jalan pintas untuk memperkaya diri. Mereka bisa menjual tanah negara yang seharusnya digunakan untuk kepentingan bersama dengan harga yang sangat murah, lalu menjualnya kembali dengan harga tinggi kepada para investor. Mereka bisa membuat proyek besar yang diiklankan sebagai solusi bagi kemajuan negeri, namun sebenarnya hanya untuk menimbun kekayaan pribadi.
Dan yang paling aneh adalah bahwa banyak orang yang menganggap perilaku ini sebagai hal yang wajar. Ada anggapan bahwa korupsi sudah menjadi bagian dari sistem yang tak terpisahkan. “Semua orang melakukannya,” kata mereka, ” jadi mengapa kita harus berbeda ?” kebenaran tampaknya sering dibingungkan dengan kebohongan.
Tetapi, kita tetap yakin dan kuat bahwa dibalik itu semua, ada sekelompok kecil rakyat yang mulai sadar akan keadaan ini. Mereka berusaha melawan, meskipun usaha ini terasa seperti melawan arus, mencoba membuka mata warga lainnya tentang ketidakadilan yang terjadi, tetapi sistem yang ada seakan menghalanginya setiap kali mencoba membuat perubahan, dianggap aneh, tidak realistis atau bahkan dituduh sebagai pengkhianat.
Meskipun segala hal bisa tampak seolah-olah berjalan dengan cara yang teratur, kenyataannya semuanya terbalik. Koruptor yang harusnya dihukum justru seperti tidak tersentuh, sementara yang berjuang untuk keadilan kadang dipandang sebagai ancaman bagi ketertiban yang ada. Negeri ini penuh dengan ketidakadilan yang tersembunyi dalam paradoks kehidupan sehari-hari.
Akhirnya, kita seperti sebuah labirin yang tak ada ujungnya, dimana setiap orang mencari kebenaran, namun tak pernah bisa benar-benar menemukannya. Oh negeriku, negeri yang penuh paradoks, kapan engkau terbebas dari semua kepura-puraan ini, kapan engkau tersentuh hatimu menyaksikan tangisan dan penderitaan rakyatmu yang ada disudut kota dan kampung, kapan engkau tersenyum manis, meskipun itu engkau paksakan melihat kebahagiaan rakyatmu, jika memang ia bahagia,..hanya harap dan doa, semoga negeriku ini segera terbebas dari kemunafikan dan kepalsuan, dan segera sejahtera dalam ekonominya, adil dalam kehidupan sosialnya sebagaimana cita-cita pendiri Republik ini.(**)