Oleh : Muslimin.M
Dalam dua hari terakhir ini, saya merasakan atmosfer kehangatan diskusi pada salah satu grup WA yang penghuninya dari berbagai latar belakang profesi dan pendidikan, mulai dari beberapa kepala kepala daerah, pejabat pusat dan daerah, beberapa anggota legislatif pusat dan daerah, politisi, birokrat, akademisi, guru besar, tokoh masyarakat hingga para wartawan dari beberapa media. Tema yang dibahas adalah masalah aset pemerintah daerah khusus nya kendaraan dinas yang katanya banyak raib entah kemana.
Dalam tulisan ini, tentu saya tidak membahas hasil perbincangan diatas, saya hanya akan memotret fenomena feodal ini dalam sistem birokrasi kita sebab realistisnya hampir semua daerah begitu juga. Dan dalam tulisan ini juga saya tidak menjustifikasi pada daerah tertentu, hanya memberi Perspektif dari sudut pandang akademik.
Bagaimana melihat fenomena ini kaitannya dengan mentalitas birokrat ?
Dalam diskursus reformasi birokrasi di negeri ini, perhatian publik dan akademikus cenderung lebih banyak melihat pada aspek struktural dan administratif, seperti digitalisasi layanan, penyederhanaan prosedur, dan perbaikan sistem pengawasan.
Padahal,
ada satu aspek fundamental yang sering luput dari perhatian yaitu budaya birokrasi itu sendiri, kaitannya dengan mentalitas, dimana model feodalistik masih begitu kental. Budaya feodal dalam birokrasi tidak hanya menjadi penghambat efisiensi pelayanan, tetapi juga menciptakan relasi kuasa yang timpang antara aparatur dan masyarakat yang dilayaninya.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa budaya feodal dalam birokrasi tidak lahir dalam ruang hampa. Ia merupakan warisan panjang dari sistem administrasi kolonial yang menempatkan birokrasi sebagai alat kekuasaan, bukan sebagai entitas pelayan publik.
Dalam konteks itu,
jabatan publik bukan dilihat sebagai bentuk pengabdian kepada rakyat, tetapi sebagai simbol status sosial dan kekuasaan. Pola relasi atasan-bawahan dibentuk dalam kerangka hirarkis yang kaku, dimana loyalitas personal lebih diutamakan daripada kompetensi dan integritas.
Dan celakanya, warisan ini dari ratusan tahun yang lalu, sejak jaman kolonial hingga kini masih bertahan. Mengapa demikian ?, transisi dari sistem kolonial ke sistem demokratis tidak disertai dengan transformasi nilai dan budaya birokrasi, akibatnya birokrasi yang secara institusional demokratis, tetapi secara kultural masih sangat paternalistik.
Seperti apa budaya feodal ini ?
Tidak sulit bagi kita untuk menemukan budaya feodal dalam birokrasi kita saat ini, bahkan tercermin dalam berbagai praktik sehari-hari :
*Pertama* kultus terhadap jabatan.
Banyak pejabat publik masih memandang jabatan sebagai hak istimewa, bukan sebagai amanah.
lihatlah,
bagaimana kecenderungan mempertontonkan simbol-simbol kekuasaan seperti fasilitas mewah, jarak sosial dengan bawahan dan masyarakat, serta resistensi terhadap kritik.
Kedua, dominasi senioritas atas meritokrasi. Dalam sistem yang feodalistik, promosi jabatan sering tidak didasarkan pada kinerja dan kapasitas, melainkan pada kedekatan personal dengan atasan atau bahasa kerennya politisi jabatan, model begini tentu saja ada kecenderungan melanggengkan budaya kerja yang pasif dan menghambat munculnya inovasi.
Ketiga, relasi pelayanan yang timpang. Masyarakat diposisikan bukan sebagai subjek yang harus dilayani secara profesional, melainkan sebagai pihak yang *memohon* kepada birokrasi.
Lalu, apa kaitannya dengan penguasaan aset negara ?
Banyak kalangan menilai bahwa budaya feodal dalam birokrasi bukan hanya berdampak pada pola hubungan kerja yang hierarkis dan tidak sehat, tetapi juga melahirkan praktik-praktik penyimpangan kekuasaan yang merugikan negara atau daerah, salah satunya penguasaan aset pemerintah oleh seseorang atau kelompok tertentu.
Kondisi ini menunjukkan bagaimana kekuasaan dalam birokrasi sering digunakan untuk kepentingan pribadi, bukan untuk pelayanan masyarakat.
Aset negara seperti tanah, bangunan, kendaraan dinas, bahkan rumah dinas dikuasai oleh mantan pejabat yang sudah tidak lagi menjabat, tanpa dasar hukum yang jelas, mereka tetap menempati, memakai bahkan menyewakan aset tersebut seolah-olah itu milik pribadi. Praktik ini bisa berlangsung lama karena adanya relasi feodal yang mengakar, bawahannya enggan menegur atau menindak karena merasa tidak enak, takut, atau menghormati yang pernah berjasa.
Seperti diungkapkan oleh KPK dalam kajian pengelolaan aset pemerintah daerah (2021), banyak aset yang dikuasai oleh pihak yang tidak berhak karena lemahnya pengawasan internal dan adanya relasi patronase dalam birokrasi. Aset yang semestinya digunakan untuk kepentingan masyarakat justru berubah menjadi sumber rente pribadi.
Saya menilai bahwa penguasaan aset negara oleh seseorang atau kelompok tertentu dalam birokrasi jelas merugikan negara, dan secara tidak langsung menghina rakyat. Akibatnya aset-aset yang semestinya dikelola untuk pelayanan menjadi tidak produktif, bahkan tidak memberi faedah kepada masyarakat.
Saya kadang berpikir dan bertanya, bagaimana mengatasi budaya feodal ini ? apakah penegakan hukum harus diperkuat ?
Dalam pemikiran saya bahwa sebetulnya yang lebih mendasar adalah perlunya perubahan budaya birokrasi, mindset birokrat kita harus dirubah, para ASN harus diberi ruang dan keberanian untuk menegakkan aturan, tanpa rasa takut kepada “bekas atasan” atau figur birokrat senior. Sistem birokrasi harus memutus siklus loyalitas feodal dan menggantinya dengan prinsip-prinsip profesionalisme, integritas, dan transparansi.
Mentri Sri Mulyani pernah mengatakan begini “Kalau birokrasi masih melihat kekuasaan sebagai alat untuk menguasai, bukan untuk melayani, maka reformasi hanya menjadi slogan.” Budaya feodal harus diurai dari akar hingga ke struktur agar birokrasi benar-benar menjadi alat negara, bukan alat elit
Tidak mudah memang merubah ini apalagi menghilangkannya, budaya yang sudah ratusan tahun itu begitu mengakar kuat, padahal sederet regulasi sudah mencoba mengamputasinya. Mengatasi budaya feodal dalam birokrasi membutuhkan pendekatan yang lebih dari sekadar reformasi teknokratis. Dibutuhkan reformasi kultural yang mencakup perubahan nilai, etos kerja, dan persepsi terhadap jabatan publik.
Tentu kita sepakat bahwa budaya feodal dalam birokrasi merupakan hambatan serius bagi terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik. Selama jabatan publik masih dipandang sebagai simbol kekuasaan, bukan sarana pengabdian, maka upaya reformasi birokrasi hanya akan bersifat kosmetik, hanya janji politik yang akan selalu muncul menjelang pemilu atau pilkada.
Langkah strategis nya adalah membangun komitmen kolektif, baik dari negara maupun masyarakat untuk mengubah budaya birokrasi menuju model yang lebih egaliter, profesional, dan berorientasi pada pelayanan. Memang ini berat, dan bahkan sangat berat, tapi setidaknya kita harus melangkah dan memulai membangun komitmen bersama, sebab kekuatannya ada di komitmen itu.
Kira-kira sanggupkah kita merubah ini ?(**)