Oleh : Muslimin.M
Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal kembali menghantui Indonesia. Dua pabrik memutuskan menghentikan produksinya alias tutup, menyebabkan ribuan orang buruh terancam kehilangan sumber pendapatan.
Kedua perusahaan itu adalah PT Sanken Indonesia yang berlokasi di Cikarang, Jawa Barat dan PT Danbi International di Garut, Jawa Barat.
PT Sanken Indonesia bakal total menghentikan operasionalnya bulan Juni 2025 nanti, menyebabkan 459 orang pekerja jadi korban PHK.
Sementara, PT Danbi International yang memproduksi bulu mata palsu, menghentikan produksinya per kemarin, Rabu (19/2/2025). Disebutkan, ada 2.100-an orang karyawan bekerja di PT Danbi International.
Artinya, lebih dari 2.000 orang buruh terancam tidak memiliki sumber pendapatan untuk menjalani momen Ramadan dan Lebaran tahun ini. Jika beruntung, korban PHK ini bisa saja memang banting setir cari sumber pendapatan lain. Seperti menjadi supir ojek online (ojol).
“Paling mereka jadi supir ojol, seperti korban-korban PHK lainnya. Daftar kerja di tempat lain terkendala faktor usia, juga keahliannya beda,” kata Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Ristadi kepada CNBC Indonesia, Kamis (20/2/2025).
Dia mencontohkan pekerja PT Danbi International. “Kan jarang pabrik bulu mata (sehingga pekerjanya sulit cari kerja lain karena beda keahlian),” imbuhnya.
“Kami nggak akan putus asa mengawal hak-hak pekerja yang jadi korban PHK. Seperti karyawan Sritex, kami siaga kawal hak-hak mereka. Kami juga sedang kawal hak pesangon pekerja PT Natatex di Sumedang yang sudah 10 tahun berjalan dan kini sedang proses kami lelang untuk memenuhi hak pekerja,” ungkap Ristadi.
Terpisah, Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (ASPIRASI) Mirah Sumirat menambahkan hal senada. Dia pun berharap, penutupan pabrik yang berujung pada PHK karyawan tidak mengabaikan hak-hak pekerja, seperti pesangon.
Mirah juga berharap penutupan pabrik dan PHK bisa diminimalisir, dengan mencari jalan atau strategi lain agar bisa bertahan tanpa PHK atau tutup pabrik.
“Perusahaan agar meminimalisir PHK, cari strategi atau cara lain agar menghindari PHK. Jangan ini dijadikan modus perusahaan dengan alasan merugikan, lalu tutup perusahaan. Tapi kemudian perusahaan berdiri dengan nama baru dan karyawan baru yang statusnya pekerja harian atau outsourcing,” tukas Mirah (CNBC Indonesia,28/2/25).
Dan yang terbaru Sritex Group melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal terhadap 10.665 karyawannya per Rabu kemarin (26/2). Jumlah karyawan dipangkas meningkat seiring perusahaan yang akan tutup total per 1 Maret 2025.
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat pada Januari 2025, PHK menyasar 1.065 karyawan anak usaha Sritex Group, PT Bitratex Semarang.
Kemudian pada Februari 2025, jumlah karyawan kena PHK mencapai 9.604 orang. Rinciannya PT Sritex Sukoharjo sebanyak 8.504 orang. PT Primayuda Boyolali sebanyak 956 orang, PT Sinar Panja Jaya Semarang sebanyak 40 orang, dan PT Bitratex Semarang sebanyak 104 orang(CNN Indonesia 28/2/25).
Berita PHK diatas tentu tidak menggembirakan bagi kita, apalagi keluarga korban terlebih korban itu sendiri. Jujur saja, bahwa yang paling menyedihkan justru masalah ini muncul disaat menjelang bulan suci ramadhan yang kemungkinan besar korban PHK tersebut adalah umat Islam yang sebentar lagi akan menjalani ibadah puasa dimana membutuhkan persiapan ekonomi yang cukup. Tapi, apa mau dikata itulah fakta yang ada di depan mata kita dan pemerintah pun juga pasti mengetahui nya.
Dari peristiwa diatas, muncul pertanyaan apa sebetulnya yang terjadi sehingga ada ribuan karyawan yang di PHK ?.
Asumsi banyak kalangan bahwa dampak resesi global yang melanda dunia saat ini termasuk negara kita boleh jadi menjadi pemicu utama, banyak perusahaan terpaksa mengurangi tenaga kerja demi mempertahankan kelangsungan bisnis. Tetapi, fenomena PHK ini bukan hanya sekadar masalah ekonomi, tetapi juga masalah sosial yang memengaruhi kehidupan ribuan bahkan jutaan pekerja di Indonesia, dan inilah yang akan menjadi masalah baru jika pemerintah tidak serius mencarikan solusinya.
PHK massal bukanlah hal baru, namun intensitasnya meningkat tajam dalam beberapa tahun terakhir. Data terbaru diatas menunjukkan bahwa jumlah PHK meningkat drastis dengan sektor manufaktur dan retail yang paling terdampak. Alasan utama di balik PHK ini terkait dengan efisiensi biaya operasional dan bahkan karena bangkrut.
Lalu, apakah PHK selalu menjadi solusi terbaik untuk perusahaan ? PHK bukanlah pilihan yang ideal, karena meskipun perusahaan bisa mengurangi biaya tenaga kerja, tetap juga berisiko kehilangan talenta yang berharga, belum lagi dampak sosialnya sangat besar. Mereka yang terkena PHK, selain harus berjuang mencari pekerjaan baru, juga menghadapi tekanan psikologis yang berat akibat kehilangan mata pencaharian. Bahkan, PHK dapat memperburuk ketimpangan sosial karena banyak pekerja yang terdampak adalah mereka yang berada di lapisan bawah.
*Kesenjangan sosial meningkat*
Menghadapi badai PHK ini, pemerintah dan perusahaan seharusnya tidak hanya berfokus pada pemulihan ekonomi jangka pendek. Kebijakan jangka panjang yang berfokus pada peningkatan keterampilan tenaga kerja (upskilling dan reskilling) harus menjadi prioritas. Peningkatan kualitas SDM akan mempersiapkan tenaga kerja untuk menghadapi tantangan ekonomi global dan meminimalkan dampak dari perubahan teknologi yang cepat, ini penting untuk menciptakan lapangan kerja baru yang sesuai dengan kebutuhan industri yang terus berkembang.
Di lain pihak, perusahaan juga perlu menyadari bahwa pekerja bukan hanya aset yang dapat diubah dengan mudah, tetapi juga bagian integral dari keberlanjutan bisnis. Sehingga sebelum mengambil keputusan untuk melakukan PHK, perusahaan perlu mengevaluasi berbagai opsi, seperti pengurangan jam kerja, pemindahan karyawan ke posisi lain yang lebih sesuai dengan kebutuhan perusahaan, atau bahkan program pelatihan internal yang dapat membantu karyawan beradaptasi dengan perubahan.
Tetapi disisi lain, pemerintah juga harus memperkuat program jaminan sosial bagi para pekerja yang terkena PHK. Bantuan sosial yang memadai dan akses kepada pelatihan kerja dapat membantu mereka kembali beradaptasi dalam dunia kerja yang semakin dinamis. Program bantuan harus difokuskan pada mereka yang membutuhkan, agar tidak ada pihak yang tertinggal dalam proses pemulihan ekonomi.
Kita juga memahami bahwa PHK massal telah menjadi isu yang semakin meresahkan di banyak negara, termasuk Indonesia. Fenomena ini tidak hanya mengancam kestabilan ekonomi, tetapi juga memperburuk kesenjangan sosial yang sudah ada dalam masyarakat. Ketika perusahaan besar mengurangi jumlah karyawan sebagai bagian dari efisiensi dan restrukturisasi, dampaknya dirasakan jauh lebih luas daripada sekadar angka pengangguran yang meningkat. Ada potensi ketidakadilan sosial yang semakin mencolok, dan inilah yang perlu kita waspadai.
Kesenjangan sosial yang semakin dalam ini menyebabkan munculnya rasa ketidakadilan dan ketidakpuasan yang besar. Masyarakat menjadi semakin terpolarisasi antara mereka yang masih berada di posisi stabil dan mereka yang terpinggirkan karena kehilangan pekerjaan dan sumber penghidupan. Kondisi ini cukup berbahaya sebab bisa menciptakan ketegangan sosial yang serius yang pada gilirannya mempengaruhi kohesi sosial dalam jangka panjang.
Dan yang tak kalah mengkhawatirkan adalah dampak psikologis, kehilangan pekerjaan yang dapat mengarah pada perasaan cemas, tidak berdaya, dan terisolasi, pekerjaan bukan hanya sekadar sumber pendapatan, tetapi juga identitas dan rasa memiliki dalam masyarakat. Ketika pekerjaan itu hilang, rasa nilai diri pun bisa luntur yang dapat memicu gangguan mental seperti stres, kecemasan dan depresi.
Dampak psikologis ini tidak hanya dirasakan oleh pribadi yang di PHK, tetapi juga oleh keluarganya. Ketegangan yang timbul akibat masalah finansial dapat menyebabkan perpecahan dalam rumah tangga, meningkatkan angka perceraian dan memperburuk kondisi sosial secara keseluruhan.
Lalu, dimana posisi pemerintah dalam situasi seperti ini ? Kehadiran pemerintah harus memastikan adanya perlindungan sosial yang memadai bagi mereka yang kehilangan pekerjaan. Jaminan sosial dan sistem pengangguran yang efektif dapat mengurangi dampak buruk dari PHK massal dan membantu mereka untuk kembali berdiri. Dan tentu saja masyarakat juga perlu lebih peduli terhadap mereka yang terpinggirkan akibat masalah PHK ini, dengan membangun solidaritas dan rasa kebersamaan dalam menghadapi tantangan sosial.
Singkatnya, PHK massal bukan sekadar masalah ekonomi, tetapi juga isu sosial yang harus menjadi perhatian utama. Kesenjangan sosial yang semakin lebar akibat PHK massal dapat memperburuk ketidakstabilan sosial, memperburuk kesehatan mental, dan merusak kualitas hidup banyak orang. Perlu langkah nyata dan kebijakan yang inklusif agar dampak dari PHK massal ini bisa diminimalisir dan tidak memperburuk kesenjangan sosial yang sudah ada.
Harapan kita, tidak ada lagi gelombang PHK apalagi di bulan Ramadhan ini, kita kecewa dan sedih, seharusnya momen bulan penuh berkah ini tidak ada kesedihan karena menjadi korban PHK, dan seharusnya menjadi bulan kegembiraan dalam menjalani puasa dengan khusyuk untuk mendapatkan keberkahan dan pahala yang berlipat-lipat.(**)