Oleh : Muskimin.M
Salah satu yang selalu hangat dan menarik di diskusikan oleh sebagian masysrakat kita di musim politik saat ini adalah tentang politik uang atau bahasa sederhananya jual beli suara pada setiap momen pemilu termasuk pilkada.Tidak dapat dipungkiri bahwa praktik politik uang menjadi masalah klasik pemilu kita beberapa dekade ini, semakin suram manakala, patologi demokrasi ini terjadi secara dua arah. Politik uang terjadi bukan hanya berasal dari kandidat kepada pemilih, tetapi pemilih juga sudah menjajakan suaranya untuk dijual kepada kandidat.
Modus politik uang semakin beragam. Ada yang memberikan uang secara langsung, ada yang dengan bakti sosial, ada yang membiayai infrastruktur, ada juga yang memberikan bantuan kepada organisasi/komunitas tertentu. Kalau kita merujuk data Bawaslu pada Pemilu 2019 telah terjadi 25 kali operasi tangkap tangan yang disebabkan oleh pelanggaran berwujud politik uang yang tersebar di 13 provinsi. Angka politik uang ini bertambah buruk pada tahun pemilu berikutnya. Pada Pilkada Serentak 2020, diketahui telah terjadi 262 kasus yang mengindikasikan terjadinya politik uang. Pada saat ini sendiri terdapat 177 daerah dengan lingkup kabupaten/kota di Indonesia yang memiliki predikat rentan politik uang berdasarkan indeks kerawanan Pemilu yang dikeluarkan oleh Bawaslu.
Dari gambaran permasalahan diatas, tentulah kita miris melihatnya, dan sudah pasti kita kecewa. Reformasi tahun1998 yang begitu susah diperjuangkan menjadi kehilangan arah, padahal tujuan sesungguhnya adalah kita ingin membangun peradaban baru yang keluar dari belenggu praktek KKN yang semakin menggurita kala itu, tetapi faktanya puluhan tahun kita di era reformasi ini, tetapi justru kondidinya semakin menggila, bahkan banyak kalangan menilai lebih parah dan merusak.
Demokratisasi kita saat ini sedang dalam proses membangun perwujudan demokrasi substansial. Ternyata, politik uang menggambarkan keadaan demokrasi kita justru sangat bermasalah.
Regulasi yang menjadi landasan hukum untuk mencegah serta melarang praktek tersebut sudah ada. Pada UU No.7 tahun 2017 tentang Pemilu dan UU No.10 tahun 2016 tentang Pilkada, Bawaslu wajib memiliki cara mencegah terjadinya praktek klasik tersebut dengan melakukan aksi patroli antipolitik uang, sebagaimana yang telah mereka lakukan pada Pemilu tahun 2019. Lantas mengapa praktik politik uang tetap terjadi ?
Sebagai Jalan Pintas
Keterbatasan ekonomi berperan memaksa pola pikir masyarakat untuk mendapatkan materi secara instan. Sebagian besar lingkup terjadinya politik uang menyasar pada lapisan sosial masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah, himpitan hidup dengan tuntutan “asal asap dapur tetap mengepul” menuntun mereka untuk bersikap pragmatis mengenai keuangan. Apapun yang dapat menghasilkan uang apalagi yang bisa didapatkan secara instan maka tidak ada alasan untuk menolaknya meskipun terdapat resiko. Kondisi tidak berdaya tersebut dapat dimanfaatkan oleh para kandidat yang mengikuti kontestasi politik untuk mendulang suara. Bagi kandidat mengeluarkan uang ratusan ribu untuk membeli suara setiap pemilih tidak masalah yang penting menang.
Dari konteks diatas, timbul pertanyaan, mengapa politik uang masih sering terjadi ?, faktor penyebanya kurangnya pemahaman masyarakat terkait dengan batasan praktik politik uang dan bahaya yang ditimbulkannya.”Kondisi tersebut diperparah dengan sistem hukum Indonesia yang seolah tidak mampu menjerat praktik politik uang. Untuk itu pendidikan pemilih penting dilakukan untuk mengcounter praktik politik uang di Indonesi” tutur MadaSukmajati, dosen Ilmu Politik Fisipol Universitas Gadjah Mada.
Secara umum, setidaknya ada tiga faktor penyebab terjadinya politik uang(di kutip dari berbagai sumber), selain faktor ekonomi, antara lain:
Pertama ; Faktor politik, Politik uang terjadi karena calon atau kandidat hanya ingin menang tetapi tidak memiliki program, sedangkan partai politik sebatas membantu pencalonan saja.
Kedua ; faktor hukum, Lemahnya regulasi tentang politik uang. Hanya pemberi politik uang yang disanksi, padahal penerima juga bersalah.
Ketiga : Faktor budaya, Ada kebiasaan yang sudah membudaya di masyarakat kita( tidak semua) yakni tidak pantas jika menolak pemberian dan terbiasa membalas pemberian. Instrumen kultural ini dimanfaatkan oleh politisi atau pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk menjalankan politik uang tersebut.
Menghilangkan politik uang bukan hal mudah, butuh proses panjang. Menurut Mada Sukmajati, politik uang bisa dilawan dengan solusi jangka panjang dan jangka pendek. Solusi jangka panjang, yaitu strategi budaya atau memasukkan materi politik uang ke submateri antikorupsi dalam kurikulum sekolah.
Berdasarkan data LIPI pada Pemilu 2019, sebanyak 47,4 persen responden membenarkan adanya politik uang dan 46,7 persen responden menganggap hal wajar. Sementara hasil kajian KPK terkait politik uang, sebanyak 72 persen responden pemilih menerima politik uang dan 82 persen di antaranya perempuan dengan rentang usia di atas 35 tahun.
Penyebab mereka menerima politik uang karena ekonomi, tekanan pihak lain, permisif terhadap sanksi, dan tidak tahu mengenai politik uang.
Kaitan dengan hal diatas, salah satu strategi utama mencegah terjadinya korupsi, termasuk politik uang, adalah pemberian hukuman untuk memberi efek jera. Dua pasal yang bisa menjerat pelaku politik uang yaitu Pasal 515 dan Pasal 523 Ayat (3) Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Tetapi, apakah ini bisa dilakukan secara tegas oleh penegak hukum ?
Tentu, kita menyadari bahwa politik uang merusak demokrasi karena mengganggu prinsip dasar bahwa pemilihan harus berdasarkan pilihan bebas dan adil dari pemilih. Pemilihan dengan Politik uang membuat hasil pemilihan tidak mencerminkan kehendak sebenarnya dari rakyat, karena keputusan pemilih dipengaruhi oleh uang atau hadiah, bukan berdasarkan penilaian terhadap kandidat atau program kerja.
Kandidat yang terpilih melalui politik uang cenderung terlibat dalam korupsi untuk mengembalikan dana yang telah mereka keluarkan selama kampanye. Hal ini, tentu merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah dan institusi demokrasi. Kandidat yang memiliki sumber daya finansial yang besar dapat mendominasi kampanye, sementara kandidat yang lebih berkualitas tetapi kurang memiliki dana yang cukup mungkin tidak memiliki kesempatan yang adil untuk bersaing.
Pemimpin yang terpilih melalui politik uang lebih mungkin memprioritaskan kepentingan para donatur dan kroni mereka dibandingkan kepentingan publik, menghambat pembuatan kebijakan yang benar-benar bermanfaat bagi masyarakat luas. Ketika pemilih merasa bahwa hasil pemilihan dapat dibeli, mereka bisa menjadi apatis dan enggan berpartisipasi dalam proses politik, yang pada gilirannya melemahkan demokrasi.
Oleh karenanya, untuk melindungi dan memperkuat demokrasi, penting untuk menerapkan dan menegakkan undang-undang yang mencegah politik uang, meningkatkan transparansi dalam pendanaan kampanye, serta mengedukasi pemilih tentang pentingnya integritas dalam proses pemilihan, sehingga proses demokrasi dapat berjalan sebagaimana mestinya dan pemimpin yang dihasilkan dari proses itu benar-benar sesuai harapan kita.(**)