Oleh: Muslimin.M
Saya kadang heran dan sering bertanya kepada banyak kalangan, mengapa di negeri ini, gelar sarjana makin hari makin kehilangan bobotnya. Ijazah yang dulu dianggap tiket menuju kehidupan lebih baik, kini tak lebih dari lembar kertas yang terlipat rapi di map plastik, disimpan di laci menunggu keajaiban.
Dalam rilis Badan Pusat Statistik 2024 menunjukkan ironi yang makin tajam tingkat pengangguran tertinggi justru datang dari lulusan universitas ada sekitar 7% lebih. Fenomena ini bukan baru, tapi tak juga diperbaiki. Setiap tahun, perguruan tinggi negeri dan swasta terus memproduksi ribuan lulusan, sementara dunia kerja tidak pernah menyiapkan tempat duduk secukupnya.
Masalahnya kemudian bukan semata soal daya serap industri. Akar persoalannya ada pada kegagalan sistem pendidikan tinggi membaca zaman. Kampus terlalu sibuk mencetak lulusan dengan transkrip bagus, tapi buta terhadap kebutuhan pasar. Mahasiswa dijejali teori dan ujian tertulis, namun minim pengalaman praktis. Di dunia kerja, para sarjana ini gagap. Lemah dalam berpikir kritis, miskin keterampilan teknis, apalagi soft skills.
Pemerintah tak luput dari tanggung jawab. Retorika tentang bonus demografi dan generasi emas 2045 hanya jadi jargon jika fakta lapangannya justru memperlihatkan generasi yang terdidik namun tersingkir. Program semacam Kampus Merdeka pun kerap berhenti di selebrasi seremonial, tanpa evaluasi berarti.
Sementara itu, dunia industri juga enggan mengambil peran aktif dalam mencetak tenaga kerja masa depan. Mereka menuntut pekerja siap pakai, tapi enggan terlibat dalam proses pembentukan itu. Kerja sama industri, kampus tak pernah lebih dari sekadar MoU tanpa isi. Yang rugi tetap sama, para sarjana muda yang akhirnya harus menyesuaikan diri bukan pada dunia kerja, tapi pada ketidakpastian.
Dan yang lebih menyakitkan adalah lahirnya kasta baru dalam dunia kerja: kasta sarjana underemployed. Para lulusan S1 atau bahkan S2, tapi bekerja di sektor informal dengan penghasilan tak sepadan. Bukan karena mereka bodoh. Tapi karena sistem gagal menempatkan nya pada posisi yang pantas.
*Merubah strategi*
Saatnya memang negara mengakui, sistem pendidikan tinggi kita tidak relevan. Dan selama kampus terus memprioritaskan akreditasi ketimbang kompetensi, selama rektor sibuk mengejar ranking internasional tanpa memikirkan masa depan mahasiswanya, kita hanya akan mencetak generasi frustrasi. Sarjana-sarjana pengangguran yang lelah berkompetisi dalam lomba tanpa garis akhir.
Salah satu strategi untuk mengatasi masalah ini adalah merubah strategi dimana perlunya dibangun sinergi antara lembaga pendidikan, pemerintah, dan dunia industri. Kurikulum pendidikan harus disesuaikan dengan kebutuhan pasar kerja, dan program pelatihan keterampilan harus lebih ditingkatkan. Pemerintah perlu menciptakan iklim usaha yang kondusif agar lapangan pekerjaan dapat berkembang lebih luas.
Dalam perspektif saya bahwa pengangguran sarjana bukan hanya soal angka statistik, tapi soal harapan dan mimpi yang terkadang harus tertunda, bahkan kandas. Saya sering bertanya, mengapa banyak lulusan perguruan tinggi yang sudah menghabiskan waktu, tenaga, dan biaya tidak langsung mendapatkan pekerjaan yang layak ?,
Bukankah pendidikan tinggi seharusnya menjadi jalan keluar, bukan justru menjadi awal dari ketidakpastian ? Saya memahami bahwa masalah ini tidak sesederhana yang dibayangkan banyak orang, semua bermula dari sistem pendidikan yang masih berjarak dengan realita dunia kerja.
Banyak sekali sarjana yang lulus dengan nilai baik, tetapi ketika melamar pekerjaan, merasa kurang siap. Bukan karena mereka tidak pintar, tapi karena apa yang pelajari dikampus lebih banyak teori dan kurang praktik. Padahal, dunia kerja menuntut keterampilan yang bisa langsung diterapkan.
Dan ini menjadi persoalan utama, pendidikan belum cukup mengasah kemampuan yang relevan dengan kebutuhan zaman.
Dalam keyakinan saya bahwa mesti ada perubahan dari semua sistem ini, bisa dimulai dari langkah-langkah kecil, seperti mengubah mindset kita tentang pendidikan dan kerja, serta meningkatkan kerja sama antar berbagai pihak.
Dan saya optimis bahwa masalah pengangguran sarjana ini akan dapat diatasi dan kita akan menuju masa depan yang cerah, dan tentu saja pemerintah akan maksimal dalam memberi peluang dan kesempatan yang luas bagi rakyatnya untuk mengabdi di negeri nya sendiri dan tidak ingin rakyatnya menjadi pengangguran intelektual.(**)