Oleh : Muslimin.M
Kita selalu bermimpi bahwa setiap hal di dunia ini dapat direpresentasikan, diwakilkan secara utuh. Padahal senyatanya manusia selalu hidup di dalam apa yang ada. Apa yang ada ini berjalan dengan ditopang oleh kepentingan-kepentingan, harapan-harapan, cita-cita hingga dendam-dendam masa lalu. Amat naif jika kita menafsirkan orang akan mampu merepresentasikan yang dimaknai sebagai “perwakilan” utuh oleh seorang yang memiliki harapan, cita, kepentingan dan dendam yang berbeda.
Oleh sebabnya, konsensus hadir untuk menjaga agar upaya mewakili tersebut tidak chaos. Tentunya, setiap hal yang berlindung di balik ketiak perwakilan harus menjaga dirinya dalam keadaan seimbang, stabil, dan damai serta tentram. Seimbang, bukan berarti tak ada yang menggoyahkan, stabil bukan berarti pasti tak akan fluktuatif, damai dan tentram tidak sama maknanya dengan tidak adanya peperangan. Akan tetapi, efek besar dan berlebih dari hal-hal tersebut diredam sedemikian rupanya. Dan konsensus hadir, meruntuhkan sekaligus menjaga demokrasi dan demos kita.
Demokrasi Indonesia saat ini boleh dikatakan belum berjalan dalam tataran substantif. Masih terjebak dalam ranah prosedural semata. Artinya, demokrasi yang berjalan saat ini belum sampai kepada upaya mewakili tadi, hal ini karena adanya ketidakseimbangan dalam topangan politik tanah air.
Demokrasi dari Masa ke Masa
Demokrasi di Indonesia memiliki sejarah yang panjang dan penuh dinamika sejak kemerdekaan pada tahun 1945.
Era Orde Lama (1945-1966)
Awal Kemerdekaan. Setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Indonesia awalnya mengadopsi sistem demokrasi parlementer. Soekarno menjadi presiden pertama, dan kabinet diangkat oleh parlemen.
Demokrasi Terpimpin. Pada tahun 1959, Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang membubarkan konstituante dan mengembalikan UUD 1945. Ini menandai awal Demokrasi Terpimpin, di mana kekuasaan eksekutif sangat dominan dan peran parlemen serta partai politik dibatasi.
Era Orde Baru (1966-1998)
Kepemimpinan Soeharto, Setelah runtuhnya Orde Lama, Soeharto naik ke kekuasaan dan memulai era Orde Baru. Pemerintahannya ditandai dengan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi yang pesat, tetapi juga otoritarianisme dan pelanggaran hak asasi manusia.
Era Reformasi (1998-sekarang), Reformasi 1998. Krisis ekonomi Asia dan ketidakpuasan publik terhadap pemerintahan Soeharto memicu gerakan Reformasi yang akhirnya membuat Soeharto mundur pada Mei 1998. Era ini menandai transisi menuju demokrasi yang lebih terbuka.
Amendemen UUD 1945. Konstitusi diamandemen untuk membatasi masa jabatan presiden, memperkuat peran DPR, dan mengadakan pemilu langsung.
Sistem desentralisasi juga diterapkan untuk memberikan otonomi lebih besar kepada daerah.
Pemilu Langsung, Pemilihan presiden dan kepala daerah secara langsung dimulai pada 2004, meningkatkan partisipasi politik rakyat dan legitimasi pemimpin terpilih.
Dari fakta sejarah diatas, dapatlah dimengerti bahwa betapa perjuangan menuju negara demokrasi begitu dinamis, penuh tantangan dan hambatan yang luar biasa berat bagi bangsa ini. Lalu, mengapa di era reformasi ini justru seolah kita berada dalam kemunduran demokrasi ?, bukankah semangat memperjuangkan reformasi dengan menumbangkan rezim orde baru adalah semangat ingin memperjuangkan demokrasi yang bebas dari KKN ? Sejenak, mungkin kita merenungi sembari mencoba mencari jawaban pembenaran atas pertanyaan yang menyesakkan dada itu.
Tantangan Demokrasi Saat Ini Begitu Kompleks dan Rumit.
Pertama : Korupsi ; tetap menjadi masalah besar yang mengancam integritas demokrasi. Banyak pejabat tinggi terlibat dalam skandal korupsi, meskipun upaya pemberantasan korupsi terus dilakukan, saat ini kita berada di tahun politik pilkada, sudah menjadi rahasia umum pergerakan elit politik dan partainya, baik di daerah maupun di pusat begitu membuat banyak kalangan khawatir dan sekaligus cemas, apakah ada transaksi atau barter Poltik disana ? Teringat kata-kata seorang teman tentang fenomena ini, “dalam dunia politik tidak ada makan siang gratis”. akankah seperti ini wajah demokrasi kita ?…
Kedua : Politik Uang; praktek culas ini masih merajalela, terutama dalam proses pemilu, yang merusak kualitas demokrasi dan menciptakan ketidakadilan. Politik uang mengurangi kualitas kepemimpinan, mengurangi kepercayaan publik dan menghambat partisipasi masyarakat.
Tetapi, di sisi yang lain kita tentu memberi apresiasi sebab di era reformasi ini kebebasan pers meningkat pesat, media dan masyarakat sipil berperan aktif dalam mengawasi pemerintah. Di bidang politik, Partisipasi politik masyarakat meningkat dengan adanya pemilu dan pilkada langsung dan desentralisasi, memperkuat demokrasi lokal.
Tentu, kita terus berjuang untuk memperkuat demokrasi, meskipun banyak tantangan yang dihadapi, upaya untuk mewujudkan pemerintahan yang transparan, akuntabel, dan adil terus dilakukan. Keberhasilan dalam mengatasi tantangan-tantangan ini akan sangat menentukan masa depan demokrasi di Indonesia.
Kita ingin bahwa “Wajah Demokrasi Kita” adalah sebuah gambaran yang merujuk pada keadaan atau situasi demokrasi di negara kita yang mencerminkan bagaimana prinsip-prinsip demokrasi diterapkan dalam praktik, termasuk dalam hal kebebasan berpendapat, pemilihan umum yang adil, dan partisipasi warga dalam proses politik, meskipun isu-isu korupsi, politik uang, politik transaksional, polarisasi dan penyebaran informasi hoax di media begitu massif dan meresahkan bagi kita secara umum.(**)