Oleh : Muslimin.M
Dalam beberapa tahun terakhir terutama pekan-pekan terakhir ini kita disuguhkan pemberitaan di berbagai media massa yang begitu hangat dan menyita perhatian serius bagi semua kalangan terutama orang tua mahasiswa yaitu tentang kenaikan uang kuliah tunggal( UKT) di beberapa PTN yang cukup tinggi, unjuk rasa para mahasiswa pun tak terelakkan sebagai bentuk protes, tentu ini mengkhawatirkan bagi sebagian mahasiswa sebab dampak kenaikan UKT ini dapat mengganggu keberadaan mereka sebagai mahasiswa di Perguruan Tinggi, bisa saja perkuliahannya menjadi terhenti bahkan yang lebih ekstrim bisa saja mahasiswa mengalami depresi dan mengakhiri hidupnya, semoga di jauhkan dari itu.
Tragedi uang kuliah adalah istilah yang menggambarkan kesulitan finansial yang dihadapi oleh banyak mahasiswa dalam membayar biaya kuliah mereka. Hal ini terjadi karena meningkatnya biaya pendidikan, kurangnya bantuan keuangan atau masalah keuangan secara pribadi, sementara disisi yang lain mahasiswa harus berjuang keras untuk tetap melanjutkan pendidikannya, bahkan tidak sedikit yang melakoni pekerjaan sampingan sambil kuliah. Suatu pilihan yang sulit bagi mereka, mahasiswa melakukan peran ganda demi melanjutkan kuliah. Padahal sejatinya mereka harusnya fokus saja belajar dalam mempersiapkan diri sebagai pewaris bangsa kedepan, tetapi apa hendak dikata uang UKT mahal sementara hak untuk mengenyam pendidikan yang murah, menjadi persoalan pelik bagi mereka, padahal sejatinya pendidikan murah itu adalah kewajiban negara untuk memfasilitasinya.
“Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, pendidikan untuk semua”, kalimat ini adalah amanat di dalam konstitusi kita UUD 1945 pasal 31 ayat 1, pasal ini menegaskan bahwa pendidikan merupakan hak bagi setiap warga negara Indonesia. Artinya bahwa negara berkewajiban kepada rakyatnya untuk menyediakan pendidikan yang murah tetapi berkualitas sebab hal itu menjadi hak bagi seluruh rakyat. Tetapi apakah dengan mahalnya UKT dapat menjadi sesuatu yang ” menghalangi” hak rakyat ?. Ketika mahalnya biaya UKT menjadi norma, hal ini tentu secara langsung dapat memengaruhi aksesibilitas Pendidikan Tinggi bagi masyarakat dari latar belakang ekonomi menengah ke bawah, dan bisa saja orang tua mahasiswa terjebak dalam perangkap utang, terpaksa memilih antara melanjutkan pendidikan anaknya atau membebani mereka sendiri dengan beban finansial yang berat.
UKT adalah sistem atau model biaya Pendidikan di perguruan Tinggi terutama di PTN dimana seorang mahasiswa membayar biaya kuliah setiap semester atau tahunnya dengan nominal tertentu sesuai kelas tertentu. Menjadi permasalahan kemudian jikalau UKT itu terkait dengan komersialisasi pendidikan dimana penetapannya tidak lagi memperhatikan kemampuan finansial mahasiswa, tetapi lebih didorong oleh keuntungan institusi pendidikan, hal ini bisa mengakibatkan akses mereka menjadi terbatas terutama yang kurang mampu secara finansial, tetapi sebaliknya jika UKT disusun dengan baik dan disesuaikan kemampuan ekonomi mahasiswa, maka bisa membantu memfasilitasi akses pendidikan yang lebih adil.
Komersialisasi pendidikan !
Kenaikan UKT yang cukup tinggi bisa dianggap sebagai komersialisasi pendidikan, hal ini bisa memicu kesenjangan sosial. Masyarakat yang berpendapatan rendah cenderung menjadi korban utama dari situasi ini, sementara mereka yang dari latar belakang ekonomi mapan memiliki lebih banyak kesempatan untuk mengakses pendidikan Tinggi. Ketika pendidikan dianggap sebagai ” industrialisasi”, maka fokusnya bisa bergeser dari penyediaan pendidikan berkualitas ke orentasi benefit, dan hal ini akan berdampak pada penurunan mutu pendidikan secara keseluruhan, sehingga mahalnya UKT merupakan masalah serius yang memerlukan perhatian serius pula baik pemerintah, lembaga pendidikan maupun masyarakat secara umum.
Mengapa UKT menjadi tinggi ?, Banyak faktor yang melatarinya :
Pertama : Biaya operasional Perguruan Tinggi yang tinggi, termasuk gaji, pemeliharaan gedung, dan kegiatan akademik lainnya.
Kedua : Investasi dalam fasilitas dan teknologi pendidikan yang canggih, penyediaan dan perbaikan sarana pendukung tentu harus menyesuaikan kondisi zaman, tidak boleh kuno jika ingin maju.
Ketiga : Biaya riset dan pengembangan, ini juga salah satu yang sangat penting sebab parameter kualitas Perguruan Tinggi itu terletak pada seberapa baik hasil-hasil risetnya yang berguna bagi masyarakat.
Keempat : Keterbatasan dana publik untuk pendidikan tinggi, tingkat inflasi yang tinggi dalam beberapa tahun terakhir dan Keterbatasan subsidi pemerintah bagi perguruan tinggi.
Dari kondisi diatas menjadi jelaslah kepada kita, bahwa kenaikan UKT karena ada faktor-faktor yang memicunya selain karena ada ruang regulasi dan status Perguruan Tinggi itu sendiri. Tetapi satu hal yang harus di fahami juga oleh pengelola Perguruan Tinggi bahwa kenaikan UKT itu harus jauh dari orentasi komersialisasi sebab pendidikan itu bukan perusahaan, tetapi sebuah institusi yang memiliki komitmen dalam investasi pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas untuk penyiapan generasi yang akan datang.
Mahalnya biaya UKT di Perguruan Tinggi menjadi ironi ketika kita kaitkan dengan konteks kampus merdeka, padahal sejatinya konsep kampus merdeka dapat membawa pendidikan menuju arah yang lebih inklusif dan berkualitas, bukan justru menimbulkan kesenjangan akses dan memperkuat ketidaksetaraan sosial. Hal ini bisa dimaknai bertentangan dengan UU No.20 tahun 2003 pasal 4 ayat 1 tentang sistem pendidikan nasional, ” pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa”. Pendidikan adalah hak bagi setiap warga negara yang seharusnya dapat diakses oleh semua individu tanpa pandang bulu, murah dan berkualitas sesuai amanat konstitusi.
Semestinya
Mengutip pemikiran Karl Mannheim dalam Paulo Freire( 2001) bahwa dalam masyarakat dimana perubahan-perubahan utama dijalankan melalui musyawarah, dan dimana penilaian kembali harus didasarkan atas persetujuan dan pandangan intelektual, maka diperlukan sistem pendidikan yang sama sekali baru yakni sistem yang memusatkan segala daya untuk mengembangkan kekuatan intelektual dan menghasilkan kerangka berpikir yang dapat memikul beban skeptisme dan tidak panik manakala banyak kebiasaan-kebiasaan berpikir mulai lenyap. Dari pemikiran Mannheim ini dapat kita menggaris bawahi bahwa sejatinya setiap perumusan kebijakan itu seharusnya melibatkan berbagai pemangku kepentingan termasuk publik yang selalu menjadi obyek dari kebijakan itu.
Lalu, bagaiman dengan kebijakan UKT ?, apakah publik dilibatkan dalam prosesnya..?. Menteri pendidikan, kebudayaan dan ristek mengeluarkan aturan baru terkait pembiayaan di Perguruan Tinggi terutama di PTN melalui permendikburistek No.2 tahun 2024 tenang SBOPT, yang pada poin intinya bahwa kenaikan biaya-biaya termasuk biaya UKT ditetapkan oleh pimpinan PTN atas persetujuan menteri pendidikan, akan tetapi mahasiswa dan orang tua mahasiswa dapat mengajukan permohonan peninjauan lagi tarif UKT tersebut pada pemimpin PTN jika ada perubahan kemampuan ekonomi. Kaitan dengan itu banyak kalangan menilai tak terkecuali anggota parlemen, ” menurut saya permendikburistek no.2 tahun 2024 ini rentan diinterpretasikan sesuai kemauan mereka gitu, nah satu poin yang berkaitan dalam satu pasal bahwa biaya UKT ditetapkan ditetapkan usai mahasiswa diterima, saya rasa ini rentan terjadi komersialisasi pendidikan”, kata Hugo Andreas paraire anggota DPR RI ( Media DPR RI.24).
Dari konteks diatas dapatlah kita memberi alasan bahwa regulasi yang diterbitkan oleh Mendikbudristek menjadi dasar hukum bagi pimpinan Perguruan Tinggi dalam mengeluarkan kebijakan pembiayaan operasional PTN, itu artinya keputusan kenaikan UKT menjadi domain pimpinan Perguruan Tinggi Negeri atas persetujuan mendikburistek, akan tetapi ada ruang bagi mahasiswa dan orang tua mahasiswa untuk meninjau ulang jika ada perubahan penurunan pendapatan.Tetapi yang menarik kita cermati kaitan dengan kenaikan UKT adalah anggaran pendidikan 20% dalam APBN, apakah anggaran itu tidak sebaiknya di evaluasi kembali agar masyarakat dapat terbantu jika anggaran itu ada penyesuaian terutama dalam mengurangi kenaikan UKT menjadi lebih rendah.
Harapan kita terhadap permasalahan biaya pendidikan ini adalah ada solusi yang tepat dengan tidak saling memberatkan, perlu reformasi kebijakan pendidikan yang bertujuan untuk menekan kenaikan biaya UKT seperti pengaturan kembali subsidi pendidikan, peningkatan pengawasan terhadap penentuan UKT, pengembangan program beasiswa yang lebih luas dan berbasis kebutuhan. Transparansi biaya pendidikan juga cukup baik dalam membantu mahasiswa dan keluarganya dalam membuat perencanaan keuangan yang lebih baik. UKT yang murah, layanan pendidikan yang unggul menjadi cita-cita bersama demi hadirnya pendidikan yang berkualitas dan adil bagi semuanya.(**)