Oleh : Muslimin.M
Tahun 80 sampai 90an tidak asing bagi kita yang masa kecilnya seusia SD atau SMP seperti saya waktu itu, tahun itu begitu asik menonton film tentang kisah Mahabarata yang selalu tayang di TVRI, meskipun waktu itu kita belum faham tentang si Sengkuni tersebut.
Dalam cerita Mahabharata, Sengkuni adalah tokoh yang dikenal karena kelicikan dan tipu muslihatnya. Sebagai penasihat kerajaan Kurawa, ia memainkan peran kunci dalam menciptakan perpecahan dan konflik yang mengarah pada tragedi besar.
Adakah Sengkuni dalam politik saat ini ?.
Beberapa waktu yang lalu, saya berdiskusi dengan seorang kawan yang baru saja meraih gelar doktor ilmu politik di luar negeri, dia begitu kaget dan miris melihat kondisi politik tanah air yang dihiasi dengan manipulatif, spekulatif, kebohongan dan puncaknya semakin maraknya kasus korupsi yang terungkap, dan ironisnya disaat bersamaan justru terjadi PHK ribuan karyawan diberbagai perusahaan.
Kawan saya ini, bertanya dan dijawab sendiri pertanyaannya, mengapa ini bisa terjadi, karena Sengkuni dan begundal politik terlalu lama bercokol dalam dinamika politik saat ini, dan sangat susah dikendalikan, lalu saya terdiam dan sejenak bertanya dalam hati, jangan-jangan memang benar ucapan kawan ini, jika melihat kondisi saat ini yang begitu mengkhawatirkan bahkan meresahkan hampir semua warga negara..
bagaimana sosok Sengkuni dalam politik saat ini ?
Dalam pandangan ahli politik, bahwa karakter Sengkuni tak hanya muncul dalam kisah-kisah epik masa lalu, tetapi juga bisa ditemukan dalam politik modern saat ini. Sengkuni menjadi simbol dari mereka yang menggunakan kecerdikan dengan cara licik, penuh manipulasi, dan pengkhianatan untuk mencapai tujuan pribadi atau kelompoknya. Karakter ini tak sekadar cerita fiksi, melainkan sebuah refleksi dari dinamika kekuasaan yang dipenuhi dengan intrik dan manipulasi.
Dalam politik modern saat ini, sengkuni menjadi metafora bagi mereka yang berusaha meraih kekuasaan dan keuntungan melalui cara yang tidak etis, mengorbankan orang lain demi kepentingan pribadi.
Dia adalah perwujudan dari manipulasi yang berfungsi mengacaukan keadaan dan memecah belah, memanfaatkan kelemahan orang lain, menyebarkan isu negatif, dan menebar ketegangan antar kelompok demi mempertahankan posisinya.
Sengkuni dalam politik bukan hanya beroperasi dalam bentuk manusia yang tampil sebagai penasihat, sebagai tokoh yang tampaknya berwibawa, tetapi dibalik layar, memberikan arahan yang merusak kepada para pemimpin. Dia tahu bagaimana mengontrol alur informasi, mendalangi keputusan besar, dan menjebak pihak lain ke dalam jebakan kebijakan yang tidak menguntungkan.
Sama seperti Sengkuni yang memanipulasi permainan dadu dalam Mahabharata, para politisi yang mirip dengan karakter ini memanipulasi situasi untuk memperlemah lawan dan memperkuat posisi mereka sendiri.
Yang menjadi keresahan kita, bahwa kehadiran sosok Sengkuni dalam politik tidak hanya merusak tatanan sosial, tetapi juga mengancam integritas sistem pemerintahan.
Ketika kebijakan dan keputusan politik dibentuk oleh manipulasi, ketidakadilan dan pengkhianatan, maka kepercayaan masyarakat terhadap sistem pemerintahan akan semakin terkikis.
Rakyat pun semakin merasa tereliminasi karena politik tidak lagi dipandang sebagai alat untuk mewujudkan kebaikan bersama, melainkan sebagai ajang pertarungan kepentingan pribadi yang tidak berkesudahan. Apakah Sengkuni tidak punya perasaan ?
Wajah Sengkuni dalam kekuasaan
Thomas Hobbes dalam bukunya Leviathan (1651), manusia pada dasarnya cenderung bertindak untuk kepentingan diri sendiri, terutama dalam konteks kekuasaan, dia menggambarkan kondisi manusia dalam keadaan alami sebagai “solitary, poor, nasty, brutish, and short”, dan untuk itu, seseorang akan menggunakan segala cara untuk mempertahankan kekuasaan.
Max Weber, dalam teori politiknya mengenai legitimasi kekuasaan, bahwa kekuasaan didasarkan pada tiga bentuk legitimasi: *tradisional, karismatik, dan rasional legal*. Dan Weber juga mengakui bahwa dalam banyak kasus, kekuasaan dapat dipertahankan dengan cara-cara yang tidak sepenuhnya sah, manipulasi dan eksploitasi, seperti ketidakjujuran, adu domba untuk menguasai orang lain.
Kondisi ini menunjukkan bahwa dalam politik, keberhasilan politik tidak selalu ditentukan oleh moralitas, tetapi oleh kemampuan untuk memanipulasi kekuasaan dengan cara efektif, meskipun merugikan banyak pihak.
Michael Walzer seorang filsuf politik kontemporer, dalam karya-karyanya seperti Just and Unjust Wars, menekankan pentingnya etika dalam politik dan peran moralitas dalam keputusan-keputusan politik.
Dalam pandangannya, politik beroperasi diluar etika politik yang sehat, karena keduanya bertindak untuk keuntungan pribadi dan tidak mengindahkan prinsip keadilan. Bagi Walzer, praktik politik yang didominasi oleh manipulasi dan ketidakjujuran hanya akan menghasilkan pemerintahan yang tidak adil.
Dari berbagai perspektif ahli diatas, kita dapat memberi pandangan bahwa Sengkuni menggambarkan wajah yang merusak dalam kekuasaan, dimana manipulasi, intrik, dan pengkhianatan menjadi alat untuk mempertahankan dan meraih kekuasaan.
Dan dari konteks itu, bisa saja kita sepakat bahwa untuk menciptakan sistem politik yang lebih sehat, penting bagi kita untuk menuntut transparansi, akuntabilitas, dan integritas dari setiap aktor politik.
Jika kita membiarkan Sengkuni mendominasi dunia kekuasaan, maka kita akan kehilangan kepercayaan pada sistem itu sendiri, dan pada akhirnya akan merugikan kita sebagai rakyat dan negara secara keseluruhan.
Bagi rakyat, bahwa untuk memahami politik yang penuh dengan manipulasi dan kebohongan, seperti yang dilakukan oleh Sengkuni, patutlah kita mawas diri dan siaga tinggi sebab Sengkuni akan merusak fondasi negara secara pelan tapi pasti dan mengancam masa depan negara.
Kita dituntut untuk lebih kritis dalam menilai tindakan politisi dan tidak terjebak dalam permainan kekuasaan yang penuh intrik. Dan kita juga meyakini bahwa demokrasi yang sehat hanya bisa tercipta jika kita menuntut politisi untuk bertanggung jawab, jujur, dan mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Kita tidak boleh membiarkan politik ala Sengkuni merajalela, karena dalam politik yang demikian, hanya ada kehancuran yang menanti. Integritas, kejujuran, dan transparansi harus menjadi pilar utama dalam dunia politik, agar kita tidak terjebak dalam permainan kekuasaan yang penuh dengan kebohongan dan pengkhianatan.(**)