Oleh : Muslimin.M
Beberapa pekan terakhir ini, sebagian dari kita mungkin ada yang merasa was-was, merasa deg-degan, merasa cemas, gelisah bahkan mungkin stres, terutama para pendukung calon kepala daerah yang belum mendapatkan rekomendasi parpol, tetapi bagi pendukung calon yang mendapatkan rekomendasi, tentu akan menampakkan sikap yang berbeda. mengapa demikian ?, melalui media massa, baik media online, media sosial telah begitu massif memberitakan tentang rekomendasi yang telah dikeluarkan oleh partai politik untuk mengusung calon kepala daerah yang dinginkan oleh mereka. Itu artinya bahwa bagi calon kepala daerah yang mendapatkan rekomendasi dari parpol menjadi tiket untuk masuk ke arena pertarungan, dan bagi calon yang tidak mendapatkan rekomendasi menjadi terhenti langkahnya memasuki arena pertarungan.
Kita memahami bahwa pencalonan kepala daerah adalah hal yang sangat menarik. Banyak individu menginginkan jabatan ini. Beragam motivasi mendasarinya, mulai dari keinginan untuk mengabdi, untuk mengaktualisasikan diri, mau populer, atau karena hasrat yang lain. Untuk menjadi kepala daerah, harus memenuhi persyaratan, terutama syarat administrasi sebagaimana yang diatur dalam ketentuan undang-undang, baik melalui jalur independen( non parpol) maupun melalui jalur partai politik. Persaingan untuk menjadi kepala daerah begitu tinggi karena banyaknya yang berminat, juga karena jabatan kepala daerah adalah jabatan prestise, jabatan yang bergelimang wewenang, kekuasaan dan fasilitas, terutama fasilitas yang melekat dengan jabatannya.
Bagi yang memiliki pengalaman dalam pencalonan pilkada, tentu mengetahui dan memahami, ternyata begitu sulit mendapatkan jaminan sebagai calon yang akan diajukan oleh partai politik. Jangankan untuk menjadi kepala daerah, untuk menjadi calon saja bukanlah hal yang mudah. Semua mesti melewati gigihnya perjuangan mendapatkan salah satu syarat pencalonan yang sangat penting yaitu rekomendasi dari partai politik. Dalam Undang-undang pilkada sudah di tentukan bahwa pasangan calon kepala daerah yang diajukan oleh partai politik haruslah yang mendapatkan rekomendasi yang ditetapkan oleh dewan pimpinan pusat. Arti dari dewan pimpinan pusat adalah ketua umum dan sekretaris jenderal atau oleh sebutan lain yang memiliki kewenangan yang sama.
Arogansi Parpol ?
Karena begitu beratnya mendapatkan rekomendasi itu, maka tak jarang sering kita dengar ada hal-hal yang diwajibkan di dalam mendapatkan rekomendasi itu, meskipun kita juga sering mendengar bahwa ada slogan partai politik yang berbunyi “anti mahar”. Ada juga ungkapan “mengutamakan kader”, benarkah ada demikian ?. Kita mungkin bisa berasumsi bahwa partai politik ini seperti mau menjelaskan adanya praktik pencalonan yang terbuka, tetapi praktek nya kadang ada yang tidak bisa dibuka, dan tiba-tiba saja sudah keluar rekomendasi. Dan mereka yang berminat dan berambisi menjadi kepala daerah, tentu harus mendapatkan rekomendasi partai politik sebagai syarat pencalonan, dan tahapan ini sungguh rumit dan berat dilalui bagi setiap calon.
Tentu, kita sepakat bahwa kita ingin tidak ada sikap arogansi partai politik dalam pemilihan kepala daerah dengan merujuk pada perilaku atau sikap partai yang cenderung merasa superior, mendominasi proses, dan mengabaikan aspirasi masyarakat. Kita bisa melihat, beberapa bentuk sikap arogansi yang kadang terjadi, seperti :
Pertama: Pemaksaan Kandidat; Partai politik bisa saja memaksakan kandidat tertentu tanpa memperhatikan preferensi atau kebutuhan masyarakat lokal. Kandidat yang dipilih mungkin lebih mewakili kepentingan partai daripada kepentingan daerah yang akan dipimpinnya.
Kedua : Monopoli Kekuasaan ; Partai politik yang dominan bisa menunjukkan arogansi dengan mengabaikan partai lain atau tidak memberikan ruang bagi calon lain. Hal ini bisa mengurangi keragaman dan kualitas calon yang tersedia bagi pemilih.
Ketiga : Mengabaikan Kritik dan Masukan ; Partai politik yang arogan seringkali mengabaikan kritik dan masukan dari masyarakat, akademisi, atau kelompok-kelompok lain yang berusaha meningkatkan kualitas demokrasi dan pemilihan.
Gambaran sikap arogansi ini dapat berdampak buruk pada kualitas demokrasi, mengurangi kepercayaan publik terhadap proses pemilihan, dan memperburuk polarisasi politik di masyarakat.
Sejatinya, masyarakat memiliki hak untuk menentukan calon dalam Pilkada sebagai bagian dari prinsip kedaulatan rakyat dalam demokrasi.
Dalam sistem Pilkada, rakyat secara langsung memilih calon kepala daerah yang mereka anggap paling mampu mewakili dan memperjuangkan kepentingan mereka. Inilah bentuk paling langsung dari partisipasi rakyat dalam menentukan pemimpin daerah.
Dalam beberapa kasus, partai politik dapat melakukan penjaringan calon yang melibatkan masyarakat melalui survei, konvensi, atau musyawarah. Tentu, Ini memberi kesempatan kepada rakyat untuk ikut serta dalam menentukan siapa yang akan diusung oleh partai politik sebagai calon kepala daerah.
Disisi yang lain, Masyarakat juga pelu memberi kritikan dan masukan terhadap calon-calon yang diajukan, baik melalui media massa, media sosial, atau forum-forum publik. Pendapat masyarakat dapat memengaruhi proses pencalonan dan bahkan membuat partai politik atau calon independen meninjau kembali strategi mereka. Sebagai bagian dari hak rakyat, mereka juga berhak untuk tidak memilih calon manapun jika merasa tidak ada yang memenuhi harapan mereka. Hal ini merupakan bentuk ekspresi yang bisa mempengaruhi proses politik di masa depan.
Dengan begitu, kita dapat memberikan peran dalam menentukan calon Pilkada, demokrasi menjadi lebih inklusif dan representatif, memastikan bahwa pemimpin yang terpilih benar-benar mendapat mandat dari rakyat dan bekerja untuk kepentingan rakyat, dan kita meyakini bahwa pilihan rakyat itu akan membawa kebaikan untuk mereka.(**)