Oleh : Muslimin.M
Beberapa hari yang lalu, saya menjadi salah satu narasumber pada acara podcast yang bertajuk pilkada dan dinamika politik, salah satu bahasan yang cukup menarik dari acara itu adalah tentang pilkada yang berbiaya jumbo yang seolah membatasi peserta atau calon yang ingin berkompetisi dalam pilkada itu. Dalam tulisan ini, tentu saya tidak membahas tentang podcast itu, akan tetapi memberi perspektif lain tentang mahalnya biaya pilkada yang kaitan dengan ongkos politik ( mahar politik).
Mahalnya ongkos politik dalam pilkada membuat para calon yang akan ambil bagian dalam perhelatan pilkada menjadi rumit dan berat, pilihan itu seolah membatasi calon potensial dalam membangun daerahnya, ini menjadi fakta sosial yang sulit dihindari, dan akhirnya yang akan bertarung dalam kompetisi itu pilihannya akan jatuh pada para calon yang memiliki modal besar atau pemilik sponsor yang ada dibelakang layar, dan bisa saja justru yang akan bertarung itu-itu saja, bukan tidak baik dan dilarang, tetapi alangkah bagusnya jika calon-calon potensial ikut meramaikan kompetensi itu sehingga masyarakat ada banyak pilihan dalam memilih calon kepala daerahnya.
Kalau kita memperhatikan ongkos pemilu terutama pada pilkada yang signifikan terus meningkat, stigma pun akhirnya muncul, “Yang bermodal yang berkuasa”. Stigma ini dirasa ada benarnya, untuk masuk ke lingkaran penguasa memang membutuhkan modal uang yang cukup besar, apalagi selevel kepala daerah. Perlu di fahami kembali bahwa pemilu menjadi salah satu pilar utama negara demokrasi. Jika pemilu berjalan baik, maka tujuan pergantian pemerintahan yang bisa lebih mungkin dicapai. Jika kita berharap pemerintahan terpilih merupakan pemerintahan yang berintegritas, maka bagian yang tidak bisa dilepas adalah menyertakan jaminan pilkada harus berintegritas pula.
Tetapi, tantangannya adalah fenomena ketergantungan modal uang yang semakin melambung dan tidak terbatas ini akan merusak prinsip demokrasi. Asas kesetaraan dan keadilan bisa hilang. Menurut Michael Pinto Duschinsky yang dikutip dalam situs Electoral Knowledge Network, ada dua ancaman paling serius yang dihadapi oleh demokrasi saat ini berkaitan erat dengan pembiayaan partai politik dan pemilu, khususnya kampanye.
Pertama : adanya perlakuan istimewa bagi mereka yang menyumbang modal dengan jumlah yang besar. Seringkali kita mendengar istilah patron-klien atau politik balas jasa. Ini yang akan terjadi kepada orang berkantung tebal yang menyumbang dana fantastis kepada peserta Pemilu. Walaupun tidak ada perjanjian secara tertulis, namun hal tersebut menimbulkan anggapan bahwa pengaruh dapat dibeli dan ia akan mendapatkan balasan istimewa di kemudian hari.
Kedua : hal yang mencederai aspek kesetaraan (equity) dan keadilan (fairness) dalam demokrasi. Pemilu hanya bisa diikuti oleh mereka yang memiliki modal melimpah atau mereka yang berada dalam lingkaran pengusaha atau pendukung yang kaya raya. Contoh nyata datang dari negeri Paman Sam, di mana Elizabeth Dole, calon presiden Amerika Serikat yang berasal dari partai Republik terpaksa harus mengundurkan diri karena tidak memiliki cukup dana untuk kegiatan kampanyenya.
Semakin meningkatnya pendanaan dalam pemilu atau pilkada ini tentunya menjadi kecemasan kita jika nantinya demokrasi ini akan hancur oleh uang. Khususnya pada tahapan kampanye para peserta akan menggelontorkan jumlah modal yang tidak sedikit demi memenangkan suara rakyat. Salah satu caranya adalah dengan mereformasi keuangan politik yang ada. Reformasi dapat dilakukan dalam membuat kebijakan lanjutan mengenai pendanaan kampanye.
Mahar Politik
Kita mungkin sering mendengar dari para politisi istilah “tidak ada makan siang gratis” anekdot ini jika kita tarik dalam konteks politik, mungkin akan terkait dengan mahar politik yang biasanya sering terjadi dalam menentukan koalisi partai politik dalam mengusung calon dalam pilkada. Dalam konteks itu istilah “mahar politik”oleh orang awam bisa merujuk pada pemberian sejumlah uang yang diberikan kepada partai politik agar seseorang dipinang atau dicalonkan dalam pemilihan itu.Tanpa “mahar politik”, seseorang bisa terancam gagal maju dalam pemilihan. Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK, Amir Arief, menyebutnya sebagai “uang perahu”. “Mahar diberikan untuk mendapat ‘stempel’ dan restu dari partai politik. Mereka berargumen, mahar politik ini perlu ada untuk menggerakkan mesin politik,” tutur Amir.
Jika kita perhatikan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi UU (kini, diubah dengan UU Nomor 10 tahun 2016), menyebutkan, partai politik dilarang menerima imbalan apa pun dalam proses pencalonan kepala daerah, maka dalam regulasi ini sangat terang menjelaskan tentang larangan partai politik dalam menerima atau memberi uang dalam pencalonan kepala daerah sebab hal itu sudah bisa dikategorikan suap. Jika terbukti menerima imbalan, parpol atau gabungan parpol dilarang mengajukan calon pada pilkada berikutnya di daerah tersebut.
Biaya politik mahal ? Menyoal mengapa biaya politik bisa memiliki nilai yang fantastis, faktornya berkaitan dengan citra calon tersebut. Kajian Falguera et al (2014) dan Bryan dan Baer (2005) dalam buku Pembiayaan Pemilu di Indonesia (2018) yang dipublikasikan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), menyebutkan, beberapa alasan uang politik begitu tinggi.
Pertama : biaya politik yang mahal disebabkan oleh semakin berkembangnya fenomena profesionalitas politik dan kampanye.
Kedua : karena kian rendahnya dukungan finansial dari kelompok akar rumput terhadap para politisi. Inilah yang berimplikasi ketergantungan peserta pemilu kepada donatur swasta dan negara.
ke tiga : karena lemahnya penegakan regulasi atau aturan main, terutama oleh lembaga penyelenggara pemilu dan para pemangku kepentingan terkait.
Analisa Falguera & Bryan dan Baer senada dengan temuan KPK, bahwa faktor pemicu biaya politik tinggi karena keinginan kelompok bisnis dalam memberikan dukungan pembiayaan untuk kampanye kepada para calon dengan kompensasi dan harapan akan adanya keuntungan kepada kelompok-kelompok bisnis manakala calon tersebut berhasil mendapatkan jabatan tersebut
Dari perspektif diatas menjadi referensi penting bagi kita, bahwa biaya politik dalam setiap momen pilkada menjadi sangat mengkhawatirkan bagi kita, selain akan berdampak pada potensi penyalahgunaan kewenangan, semisal korupsi, pun juga dapat membatasi akses setiap calon yang berpotensi untuk maju dalam kontestasi itu. Bahwa biaya yang tinggi dalam pilkada dapat membuat calon yang memiliki keterbatasan finansial kesulitan untuk ikut serta, hal ini dapat mengurangi jumlah calon yang berpotensi mewakili berbagai kelompok dan kepentingan dalam masyarakat. Untuk mengatasi hal ini, perlu ada upaya untuk meningkatkan aksesibilitas dan kesetaraan dalam partisipasi politik, termasuk dengan mengurangi beban finansial yang dibutuhkan untuk mengikuti proses pilkada.
Tentu kita menyadari bahwa biaya yang tinggi dalam pilkada memiliki potensi untuk meningkatkan risiko korupsi, hal ini bisa terjadi karena adanya pengeluaran besar untuk kampanye, pengadaan barang dan jasa, serta manajemen dana yang tidak transparan. Pengawasan yang ketat dan transparansi dalam pengelolaan anggaran menjadi kunci untuk mengurangi potensi korupsi dalam proses pilkada, tetapi apakah ini akan efektif ?, semua kembali kepada ketaatan dan konsisten pada hukum sebab aturan normatifnya sudah begitu terang dan jelas menerangkan itu.(**)