Oleh: Muhammad Ridwan Alimuddin ( pemerhati sejarah Mandar)
Tamat sekolah rakyat di Tinambung, Baharuddin melanjutkan pendidikan SMP di Majene. Tiap hari dia naik sepeda pergi – pulang Pambusuang ke Majene. Sekarang dengan kondisi aspal super mulus dan nyaris tak ada masalah kemanan, untuk jarak 15 km masa tempuhnya 30 – 60 menit. Tapi di tahun 40-an, dengan sepeda ‘onthel’ dan jalan aspal seadanya, mungkin bisa dua jam. Dalam perjalanan pun apa saja bisa terjadi di jalan, misal kena peluru nyasar atau ditahan patroli tentara Belanda atau pejuang.
Tidak sampai dua dekade kemudian, di tahun 1960, Baharuddin menjadi bupati pertama di kabupaten yang dulunya jadi tempat dia menuntut ilmu, Majene. Masa jabatannya tidak sampai dua tahun. Pasukan 710 yang dipimpin Andi Selle mencarinya hidup dan mati. Pasalnya, Baharuddin tak bisa disogok. Pelanggaran yang dilakukan meski dia militer harus dihentikan. Andi Selle awalnya adalah pejuang. Oleh komandannya dikirim ke Mandar untuk mengelola kopra di sana untuk dijadikan ongkos mempertahankan kemerdekaan.
Kopra adalah emas hijau, membuat mata Andi Selle ikut hijau alias banyak menggelapkan uang dari perdagangan kopra di Mandar. Meski hasil mengelola kopra banyak digunakan untuk kegiatan pendidikan dan sosial, misalnya pembangunan SMA 1 Majene, penyelewengan dana tak bisa ditoleransi. Kelakuannya itu ketahuan oleh pemerintah dan komandannya.
Merasa memiliki kekuatan berupa pasukan 710, yang berasal dari teman sesukunya, Bugis dari Pinrang dan sekitarnya, dia melawan balik. Bupati pun dia lawan. Meski Baharuddin tak gentar, oleh pihak pemerintah dan militer di Majene yang mengendus rencana jahat Andi Selle, Baharuddin diselundupkan keluar dari Mandar. Mungkin karena umurnya masih muda, 26 tahun, dan muka tak familiar, dia bisa lolos di pemeriksaan perbatasan. Dia pun dibawa ke Makassar dan untuk beberapa lama tak ke Majene lagi. Jabatannya sebagai bupati diganti oleh bangsawan Kerajaan Banggae, Andi Tonra.
Beberapa tahun kemudian, Baharuddin menjadi putra terbaik Mandar. Menjadi Jaksa Agung, Menteri Hukum dan HAM, dan Duta Besar RI untuk Arab Saudi. Rakyat Indonesia lebih mengenalnya dengan nama “Barlop”. Padahal itu adalah akronim Baharuddin dan Lopa. Lopa itu nama bapaknya.
Ya, dia adalah Baharuddin Lopa, putra Pambusuang yang masa remajanya dihabiskan dengan bolak-balik ke Majene. Mungkin juga kadang berhari-hari di Majene tinggal di rumah pamannya saudara ibunya, Hasanuddin, seorang pendidik, ayah Basri Hasanuddin (belakangan jadi Rektor Universitas Hasanuddin dan Duta Besar RI untuk Iran).
Kenapa Baharuddin Lopa tidak sekolah di Tinambung saja. Bukankah Tinambung adalah ibukota Kerajaan Balanipa? Kerajaan Balanipa kan “Bapak” dari persekutuan tujuh kerajaan di pesisir Mandar? Kerajaan Sendana sebagai “Ibu”, dan lainnya adalah “Anak” yaitu Kerajaan Banggae (Majene), Kerajaan Pamboang, Kerajaan Tappalang, Kerajaan Mamuju, dan Kerajaan Binuang. Kenapa SMP atau sekolah-sekolah lanjutan SR malah ada atau ditempatkan di Majene yang statusnya ‘Anak’? Bukan hanya SMP tapi pusat pemerintahan dan rumah sakit pun ditempatkan di Majene. Dalam peta-peta klasik, di Majene ada simbol “AR” yang berarti “Assistent Resident” sedangkan di Tinambung “C” atau tingkat “Controlleur” saja.
Jawabnya, ada yang dimiliki Majene yang tidak dimiliki tempat-tempat lain di Mandar, yang bagi Belanda itu adalah modal penting menempatkan pusat kendalinya di Afdeling Mandar ditempatkan di Majene. Meski lembah Kerajaan Banggae ini sering banjir, yang mungkin menjadi sebab digelari “majeqneq” dan menjadi alasan logis asal penamaan Majene, dia menjadi pilihan terbaik bagi Belanda.
Lembah Majene dikelilingi perbukitan, dari yang berjarak beberapa meter dari garis pantai sampai ratusan meter. Di lembah kecil ini dimuarai sungai kecil, Sungai Majene. Menariknya, “di depan” lembah tersebut ada teluk kecil, Teluk Majene. Ada beberapa teluk kecil di dalam teluk lebih besar, Teluk Mandar. Tapi hanya Teluk Majene yang lengkung teluknya sampai setengah lingkaran. Luasnya sekira 900 hektar.
Pelabuhan Kerajaan Balanipa di Tangnga-tangnga (Tinambung) juga ada di teluk kecil, tapi perlindungan alaminya tidak setangguh di Teluk Majene.
Teluk Majene memiliki perlindungan alami buat perahu yang berlabuh di dalamnya. Lengkungan pantainya yang membusur dalam dan perbukitan yang ada di dekatnya menjadi penghalang ombak dan angin kencang.
Tapi, meski dia aman dilabuhi tapi tak mudah mendarat di pantainya, misalnya karena pantainya sepenuhnya berbatu karang, tak ideal juga. Untungnya, pantai Teluk Majene memiliki pantai berpasir nan landai, dari Cilallang ke arah barat sampai ke Buttu Ondongang.
Pantai landai yang tidak terlalu jauh ke arah laut untuk mendapat bagian perairan dalam. Sangat ideal bila ada kapal besi yang untuk menurunkan muatannya ke darat mengandalkan kapal sekoci.
Akan lain ceritanya juga, meski pantai berpasir landai, tapi kalau terlalu lebar bagian dangkalnya, seperti pantai Baurung dan Barane di timur Teluk Majene di balik Tanjung Baurung. Jika ada kapal Belanda berlabuh di depan Baurung, mungkin berlabuh beberapa ratus meter dari garis pantai. Beda kalau di Teluk Majene, beberapa puluh meter saja.
Tapi Teluk Majene hanya aman dilabuhi di musim angin barat saja (Munson Barat). Di musim angin timur, ombak besar di situ.
Tak apa, ada Teluk Pamboang yang kondisi fisiknya nyaris sama dengan Teluk Majene: pantai landai berpasir tak jauh dari perairan dalam. Hanya saja luasnya lebih kecil, kurang 60 hektar. Tapi tak apa, sebagai pelabuhan cadangan masih ideal. Jarak dari Teluk Majene ke Teluk Pamboang atau dari pusat Kerajaan Bangga ke pusat Kerajaan Pamboang (beda kerajaan tapi nyaris semua bangsawannya berkerabat) untuk jalan sekarang sekira 10 km ke arah utara.
Jarak yang hampir sama dengan pelabuhan Kerajaan Balanipa di muara Sungai Mandar ke arah timur.
Selain pantai landai yang aman dilabuhi sekoci pendaratan, Teluk Majene memiliki perbukitan yang dekat dengan pantai.
Baik bukit karang maupun bukit yang dominan tanah. Menariknya, bukit itu bisa ditempati untuk membuat konstruksi bangunan penting. Selain memudahkan pemantauan ke arah laut juga menghindarkan diri dari efek gelombang tsunami.
Maka terbangunlah Pesanggerahan di atas tebing karang Tanangang, maka ditempatkanlah rumah sakit di atas kaki bukit Salabose. Di kaki bukit ada SD dan SMP. Tak apa markas tentara “tangsi militer” di dekat pantai, sebab secara langsung juga menjadi penjaga gerbang memasuki Majene.
(Bersambung)