Oleh : Muslimin.M
Bagaimana caranya menindak “pencuri” start kampanye ?, bisakah di hukum ?, begitulah pertanyaan yang sering muncul disebagian masyarakat kita ketika mereka berkumpul di warung-warung, atau sekedar ngobrol lepas di tempat-tempat berkumpul. Pertanyaan-pertanyaan publik seperti itu tentu ada alasan yang melatarinya sebab sebagian masyarakat kita memahami bahwa dengan banyaknya spanduk, baleho atau apapun namanya asalkan ada foto calon, maka sudah dianggap kampanye, sudah dianggap mempromosikan diri dengan berbagai macam kalimat pencitraan, bahkan tidak sedikit yang sudah terang-terangan mengajak untuk mendukung dan memilihnya.
Maraknya baliho, spanduk, stiker dan iklan kampanye lainnya, jauh-jauh hari sudah bertebaran di mana-mana, bahkan di pohon-pohon pinggir jalan pun tidak luput dari sasarannya. Bahasa-bahasa yang digunakan cukup menarik dengan berbagai kalimat pencitraan yang menggoda masyarakat seperti; merakyat, amanah, tegas, bersih, pokoknya semua yang baik-baik seolah merasa paling benar, paling tidak berdosa, paling tidak pernah berbohong dan sebagainya membombardir alam bawah sadar masyarakat, dan tak satupun kalimat meminta permohonan maaf atas dosa dan kegagalan nya ketika pernah menjabat.
Tetapi, disisi yang lain kita juga mesti akui bahwa pencitraan melalu spanduk, baleho atau apapun namanya memang cukup baik sebab dengan cara begitu masyarakat akan menjadi lebih faham dan mengenal para kandidat tersebut, hanya saja perlu pengaturan yang lebih baik agar tidak sembarang tempat dipasangi nya dan tidak menggangu ketertiban dan estetika. Selain, ada juga hal penting yang harus dilakukan oleh para kandidat yaitu menyiapkan diri untuk adu gagasan dan program, serta mempertajam visi misi yang mereka ajukan sebagai satu bahagian dokumen pendaftaran.
Menghukum pelaku kampanye Pilkada sebelum waktunya, sebenarnya juga penting untuk menjaga integritas, transparansi dan keadilan dalam proses pilkada. Tetapi apakah bisa dan mau melakukan oleh lembaga terkait seperti Bawaslu ?, kewenangan dan otoritasnya ada di Bawaslu sebagai lembaga yang bertugas mengawasi pelaksanaan pilkada dan menindak pelanggaran, termasuk kampanye sebelum waktu yang ditentukan.
Secara prosedural dan kewenangan, Bawaslu memiliki otoritas yang dapat memberikan teguran tertulis kepada pihak yang terbukti melakukan kampanye sebelum waktunya. Hal ini sebagai langkah awal yang diberikan untuk menghentikan pelanggaran tersebut. Alat peraga kampanye seperti baliho, spanduk, atau poster yang dipasang sebelum masa kampanye resmi dapat diperintahkan untuk dibongkar oleh Bawaslu bekerja sama dengan aparat terkait, tetapi pertanyaan nya apakah sudah memenuhi unsur-unsur kampanye menurut regulasi yang ada ?, atau jangan-jangan pelanggaran itu hanya terkait tentang aturan estetika dan keindahan kota yang biasanya diatur dalam perkada ?.
Upaya penindakan
Kita perlu memahami bahwa pentingnya menegakkan hukuman terhadap pelaku kampanye sebelum waktunya agar semua calon atau kandidat memiliki kesempatan yang sama untuk berkampanye dalam jangka waktu yang telah ditentukan tanpa ada yang mendapatkan keuntungan. Hukuman yang tegas memberikan efek jera bagi calon atau tim sukses yang melanggar aturan. Publik akan lebih percaya kepada proses pemilihan jika ada penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran kampanye.
Kampanye Pilkada sebelum waktunya melanggar aturan yang telah ditetapkan oleh KPU. Menurut regulasi yang ada bahwa masa kampanye resmi yang ditentukan oleh KPU dan segala bentuk kampanye di luar waktu yang telah ditentukan bisa dikenakan sanksi. Kampanye sebelum waktunya atau yang sering disebut sebagai “kampanye terselubung” atau “curi start,” dapat berupa penyebaran poster, spanduk, atau kegiatan yang secara langsung mengajak masyarakat untuk memilih calon tertentu. Hal ini bertentangan dengan prinsip keadilan dalam pemilu karena memberikan keuntungan bagi calon yang melakukannya dibandingkan calon lain yang mengikuti aturan.
Jika kita perhatikan tahapan kampanye pilkada tahun 2024 ini, KPU telah menyusun jadwalnya sebagaimana telah ditetapkan melalui Peraturan KPU Nomor 2 Tahun 2024 tentang Tahapan dan Jadwal Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2024. Berdasarkan peraturan tersebut, kampanye akan dilaksanakan mulai tanggal 25 September 23 November 2024 mendatang.
Dalam konteks itu, kampanye terselubung atau kampanye di luar jadwal sebelum waktunya atau curi start kampanye dapat dikatakan sebagai tindakan yang dilarang dalam peraturan perundang-undangan, dan merupakan contoh pelanggaran kampanye.
Larangan tersebut dapat dilihat dalam Pasal 69 huruf k UU 1/2015 bahwa dalam kampanye dilarang melakukan kegiatan kampanye di luar jadwal yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota. Adapun sanksi kampanye di luar jadwal untuk masing-masing calon, dipidana penjara paling singkat 15 hari atau paling lama 3 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp100 ribu atau paling banyak Rp1 juta.
Kaitan dengan itu, perihal larangan kampanye pilkada di luar masa kampanye juga diatur melalui Peraturan KPU 4/2017 dan perubahannya. Pasal 68 ayat (1) huruf i Peraturan KPU 4/2017 mengatur hal serupa bahwa dalam kampanye dilarang melakukan kegiatan kampanye di luar jadwal yang telah ditetapkan oleh KPU Provinsi/ KIP Aceh atau KPU/KIP Kabupaten/Kota. Jika dilanggar, kampanye di luar jadwal adalah merupakan tindak pidana dan dikenai sanksi berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian berdasarkan kedua peraturan perundang-undangan di atas, kegiatan kampanye di luar jadwal atau curi start kampanye merupakan tindakan kampanye terselubung dan terdapat ancaman sanksi pidana. Menjadi renungan bagi kita bahwa sejatinya kampanye itu baru bisa dilakukan ketika tahapan dan jadwal kampanye sudah dimulai. Lalu, apakah kegiatan yang dilakukan oleh para kandidat kepala daerah selama ini dapat dikategorikan kampanye ?, lagi-lagi sebagian publik mempertanyakan itu, dan lembaga terkait seperti Bawaslu lah yang dapat menilai dan memutuskan masalah ini sebagai lembaga yang diberi kewenangan oleh konstitusi, atau setidaknya lembaga terkait yang menegakkan peraturan kepala daerah tentang ketenteraman, keindahan dan estetika kota yang dapat melakukan penertiban.(**)