Oleh : Muslimin.M
Beberapa waktu yang lalu saya sempat berdiskusi dengan salah satu ketua partai, dalam diskusi itu ada yang cukup menarik bagi saya yaitu tentang susahnya berharap pilkada yang berkualitas, kata sang ketua partai tersebut, “karena pemilih masih kategori belum cerdas dan cenderung pragmatis”. Dari cerita sang ketua partai ini, saya menarik satu titik penting dari rumitnya menciptakan pilkada berkualitas yaitu pemilih belum cerdas dan pragmatis, dan untuk mengobati rasa penasaran itu, maka saya tuangkan dalam tulisan singkat ini dengan tema *pendidikan pemilih*.
Beberapa bulan terakhir ini suasana perpolitikan tanah air sudah semakin menghangat, terutama perpolitikan di daerah, elit-elit partai di daerah tidak mau ketinggalan dengan hiruk-pikuk nya momen pilkada tahun ini. Sebagai warga negara yang baik tentu kita memiliki ekspektasi yang tinggi akan proses pilkada nanti dilaksanakan secara jujur, adil, transparan, bermartabat dan jauh dari praktek kecurangan. Bahwa KPU, Bawaslu dan DKPP sebagai lembaga yang diberi amanah oleh konstitusi untuk menjadi penyelenggara pemilu benar-benar melaksanakan tugasnya secara profesional, independen sesuai aturan yang ada demi lahirnya pilkada yang berkualitas sesuai harapan kita semua.
Pemilihan kepala daerah sejatinya merupakan salah satu pilar dalam sistem demokrasi kita, artinya bahwa mekanisme dalam pilkada ini di mana warga negara memilih kepala daerahnya sebagai pimpinan di daerah tersebut dalam mengelola pemerintahan di daerah. Dalam konteks demokrasi, pilkada memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan politik dengan cara memberikan suara mereka untuk memilih kepala daerah yang dianggap paling layak dan di percaya untuk memimpin mereka.
Pilkada yang bebas, adil, dan transparan adalah landasan utama bagi praktik demokrasi yang sehat. Tetapi apakah kita yakin dalam pilkada tahun ini benar-benar demokratis ?, apakah pemilih benar-benar jujur memberikan suaranya kepada calon yang paling layak ?, saya sendiri ragu dengan semua itu, fakta pemilu yang lalu-lalu cukuplah menjadi referensi penting bagi kita bahwa pemilihan langsung apapun jenisnya, potensi kecurangan begitu besar, di perparah lagi pragmatisme pemilih semakin menjadi- jadi.
Pendidikan pemilih
Pilkada yang berkualitas adalah pilkada yang dilaksanakan dengan jujur, transparansi dan berkeadilan. Hal ini tentu perlu pelibatan partisipasi aktif dari pemilih, proses kampanye yang adil serta pemenuhan hak hak politik warga negara. Pilkada berkualitas juga mencakup sistem yang dapat memastikan hasilnya mencerminkan kehendak sebenarnya dari mayoritas pemilih tanpa adanya campur tangan dan manipulasi yang mengarah pada distorsi hasil.
Pendidikan pemilih ?, pendidikan pemilih memilki dampak langsung terhadap kualitas pilkada, beberapa cara yang bisa dilakukan kaitannya dengan pendidikan pemilih agar kualitas pilkada dapat meningkat seperti, pencegahan politik uang dan korupsi, memberi sosialisasi tentang penilaian yang lebih kritis terhadap calon, mendorong partisipasi aktif dalam memilih dan pemantauan proses pilkada. Dalam konteks ini, siapakah yang harus melaksanakan dan bertanggung jawab ?, lagi-lagi fakta sosial yang ada selama ini nyaris tidak ditemukan pendidikan politik pada calon pemilih, padahal sejatinya ini menjadi tugas penting dan utama bagi partai politik dalam memberikan pendidikan politik bagi mereka sebab partai politiklah yang sejatinya berkuasa dan memiliki konstituen atau massa.
Dari kondisi itu saya terkadang heran dan bertanya-tanya, ” bagaimana caranya merubah mindset pemilih agar menjadi cerdas dalam memilih”?, sejenak menjadi bimbang sebab setiap menjelang pemilu apapun itu yang selalu mendominasi adalah penggiringan opini kepada pemilih untuk memilih calon tertentu dengan iming-iming tertentu pula, padahal sejatinya yang harus dilakukan adalah bagaimana menggiring pemilih untuk memilih calon yang paling layak untuk memimpin daerah. Padahal demokrasi yang sehat akan mendorong partisipasi aktif warga negara dalam pemilu sebab diyakini bahwa hasil yang sah dari pemilihan akan menciptakan pemerintahan yang sah dan kuat secara hukum dan dapat diterima oleh rakyat. Kredibilitas pemerintah akan memperkuat legitimasi rakyat sehingga pemerintahan menjadi lebih kuat, hal ini tentu bisa dicapai jika proses pemilu itu benar benar berproses secara benar sesuai undang undang yang mengaturnya dan jauh dari praktek kecurangan dan manipulatif.
Tentu kita bersepakat bahwa pilkada yang berkualitas akan meningkatkan legitimasi pemerintahan dengan mewakili suara mayoritas secara adil dan transparan, keterlibatan masyarakat secara aktif dalam proses politik merupakan bagian penting dari proses pemilu yang berkualitas, artinya publik dimungkinkan terlibat secara aktif dalam proses pengambilan keputusan yang bisa dikatakan sebagai cerminan dalam keputusan untuk kepentingan publik. Pilkada yang bersih dapat mengurangi potensi konflik dan ketegangan sosial yang bisa timbul dari ketidakpuasan atas hasil pemilu. Kredibilitas institusi menjadi penting untuk menjaga stabilitas baik jangka pendek maupun jangka panjang, perlindungan hak hak dasar seperti hak memilih, dihormati dan terlindungi juga bagian penting dari proses pemilu yang berkualitas ini dan termasuk meminimalisir penindasan politik dan intimidasi.
Dari perspektif diatas menjadi jelaslah kepada kita bahwa hanya pemilih yang cerdas lah yang bisa mengantarkan lahirnya pilkada berkualitas dan ujungnya akan lahir kepala daerah yang berkualitas pula. Kita tentu bersepakat bahwa pilkada curang hanya akan memberi efek domino yang cukup besar pada tatanan pemerintahan, hilangnya kepercayaan masyarakat pada sistem politik pada proses demokrasi, ketegangan politik, konflik antar sesama serta ketidakstabilan politik yang ujungnya dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial, selain itu pemilu curang juga dapat menghalangi pembangunan demokrasi yang sehat dan merugikan pertumbuhan institusi demokratis, dan ujung dari semua kecurangan itu adalah lahirnya kepala daerah yang tidak berkualitas dan masyarakatlah yang menerima efek dominonya.
Tetapi kita tentu berkeyakinan bahwa pilkada tahun 2024 ini akan berintegritas, asalkan semua elemen penting dalam pilkada itu berfungsi normal sesuai mekanismenya, partai politik akan mengkampanyekan calonnya, partai politik akan memberikan pendidikan pemilih kepada calon pemilih, penyelenggara akan bekerja secara profesional, pun pemerintah akan memposisikan dirinya sebagai pemerintah. Ini kalau berjalan normal, tetapi apakah kita yakin akan normal seperti itu ?, waktu yang akan menjawabnya, bukan rumput bergoyang.(**)