Search
Close this search box.

MAKNA SOSIAL DI BALIK QURBAN

Oleh : Muslimin.M

Setiap Idul adha tiba, saya selalu teringat pada satu pemandangan yang membekas diingatan. Seorang anak kecil digang belakang rumah saya berbaju lusuh, membawa kantong plastik hitam tersenyum lebar ketika menerima sebungkus daging kurban. Sederhana, tapi bagi anak itu, hari itu adalah hari besar. Mungkin satu-satunya hari dalam setahun dia bisa makan daging.

Dari sana saya belajar, qurban bukan sekadar ibadah, qurban adalah pelajaran kemanusiaan. Idul adha memberi ruang bagi kita untuk berhenti sejenak dari kesibukan, menengok keluar diri, dan bertanya adakah orang di sekitar kita yang hari ini makan dengan layak ?.

Mungkin kita sering terjebak dalam urusan sepele, berapa banyak sapi yang disumbang, berapa kambing yang disembelih, berapa kilo daging yang dibagikan.Tapi dibalik semua itu, ada pertanyaan yang lebih penting, adakah kepedulian yang tumbuh dalam diri kita ?.

Jujur saja, dulu saya menganggap qurban hanya soal menjalankan perintah agama semata. Menabung tiap bulan, membeli hewan, lalu menyerahkan kepada panitia masjid. Selesai. Tapi lama-kelamaan saya sadar, ada yang hilang dari cara saya berkurban yaitu kepekaan sosial.

Dan dititik itu, saya benar-benar mengerti, qurban adalah sarana menyentuh sisi manusiawi kita yang terdalam. Bukan hanya tentang menyembelih hewan, tapi tentang membunuh egoisme dalam diri. Mengalirkan rezeki bukan hanya karena *kewajiban*, tapi karena hati yang tergerak.

Saya percaya, kepekaan sosial bukan sesuatu yang otomatis hadir dalam diri, harus diasah lewat pengalaman, lewat interaksi, lewat keterlibatan langsung. Dan kurban memberi ruang yang sangat luas untuk itu.

Idul adha mengajarkan bahwa iman tak hanya diukur dari berapa kali kita shalat, tapi juga dari seberapa peka kita terhadap penderitaan orang lain. Bahwa takaran takwa bukan hanya ditentukan diatas sajadah, tapi juga dari berapa banyak senyum yang bisa kita hadirkan lewat tangan-tangan kita.

Hari ini, ketika kesenjangan sosial masih terasa lebar, qurban bisa menjadi jembatan. Tapi jembatan itu hanya berguna jika kita mau menyeberanginya, mendekat pada mereka yang jauh dari pusat perhatian.

Idul adha bukan puncak dari ibadah sosial kita, hanya titik tolak. Yang lebih penting adalah apa yang kita lakukan setelah hari itu lewat, apakah empati kita bertambah, atau justru kembali tumpul.

Karena pada akhirnya, ibadah terbaik adalah yang membuat kita menjadi manusia yang lebih baik bagi Tuhan, dan bagi sesama.

Membangun kepekaan sosial

Idul adha yang setiap tahun dirayakan oleh umat Islam di seluruh dunia, selalu identik dengan ritual penyembelihan hewan kurban.Tetapi dibalik takbir yang menggema dan barisan hewan yang di qurbankan, ada pesan mendalam yang kerap luput dari perhatian yaitu pentingnya kepekaan sosial.

Dalam konteks masyarakat Indonesia yang masih dibayangi ketimpangan ekonomi, qurban bukan sekadar bentuk ibadah ritual, bahkan menjadi wujud konkret solidaritas sosial. Ketika seorang muslim memotong hewan qurban, tidak hanya mempersembahkan ketakwaannya kepada Tuhan, tetapi juga menyatakan kepeduliannya kepada sesama manusia.

Sejarah mencatat, masyarakat yang kuat adalah yang tidak hanya memiliki kedekatan spiritual dengan Tuhannya, tetapi juga kepekaan sosial yang tinggi terhadap lingkungan sekitarnya.
Idul adha idealnya menjadi pengingat tahunan bahwa iman sejati bukan hanya tentang doa dan puasa, tapi juga tentang aksi nyata, membantu tetangga yang kelaparan,
membagikan rezeki dan meringankan beban sesama.

Ironisnya, makna sosial dari qurban tertutupi oleh formalitas. Pembagian daging hanya menjadi simbolis, tanpa menyentuh akar persoalan kemiskinan struktural. Kadang, hewan qurban lebih banyak dibagikan ke kelompok yang sama setiap tahun, sementara mereka yang paling membutuhkan luput dari perhatian.

Disinilah pentingnya membangun sistem qurban yang berkeadilan menjangkau wilayah yang terpinggirkan, melibatkan kelompok masyarakat rentan dan tidak semata-mata mengutamakan kuantitas penyembelihan. Kepekaan sosial berarti memiliki kepekaan terhadap distribusi, bukan sekadar pelaksanaan.

Dalam pemikiran saya bahwa qurban sejatinya bukan soal siapa yang paling banyak menyumbang sapi, tapi siapa yang paling tulus berbagi. Bukan tentang harga hewan, tapi nilai kepedulian. Dan dalam kondisi seperti inilah kepekaan sosial dan keimanan kita benar-benar diuji.

Idul adha adalah hari raya spiritual sekaligus sosial. Dan kepekaan sosial adalah ibadah yang tak kalah penting dari sahlat dan puasa. Ditengah gegap gempita perayaan, jangan biarkan makna terdalam qurban hilang dalam riuhnya seremoni. Karena yang paling dibutuhkan hari ini bukan hanya darah hewan, tetapi tumbuhnya nurani.

Iman yang lurus selalu berjalan beriringan dengan keadilan. Dalam Islam, ibadah yang paling mulia tak berarti tanpa kepedulian terhadap sesama. Shalat dan puasa bisa jadi sia-sia jika hati tertutup pada penderitaan orang lain. Dan qurban, dengan segala simbolismenya adalah ajakan paling gamblang untuk melembutkan hati, menajamkan nurani dan menyalurkan kelebihan rezeki ke tempat yang tepat.

Idul adha datang setiap tahun, tapi kepekaan sosial adalah tugas harian kita. Jika qurban tahun ini tak mengubah cara kita memandang kemiskinan, ketidakadilan dan penderitaan, mungkin yang perlu di qurbankan bukan kambing atau sapi, melainkan ego dan ketidakpedulian kita kepada orang lain.

Selamat Hari raya Idhul Adha 10 Zulhijjah 1446 H, mohon maaf lahir dan batin.(**)

……

Pegadaian

DPRD Kota Makassar.

355 SulSel

Infografis PilGub Sulbar

debat publik pilgub 2024

Ucapan selamat Walikota makassar

Pengumuman pendaftaran pilgub sulsel

Pilgub Sulsel 2024

https://dprd.makassar.go.id/
https://dprd.makassar.go.id/