Oleh : Muslimin.M
Beberapa hari yang lalu, saya berdiskusi dengan seorang kawan yang kebetulan pegiat antikorupsi, poin penting dari diskusi itu adalah bahwa beberapa tahun terakhir ini kasus-kasus korupsi yang terjadi di pemerintahan maupun di sektor swasta begitu sangat menghawatirkan dan semakin menggila, dan fakta itu terjawab dengan semakin banyaknya yang ditangkap atau di tindak oleh aparat penegak hukum baik Kejaksaan maupun KPK. Itu artinya jika masalah ini tidak teratasi dengan baik, maka efek dominonya luar biasa mengerikan, dapat merusak tatanan birokrasi dan tata kelola pemerintahan secara umum.
Lalu, Apa itu korupsi, kita dapat memahami secara sederhana bahwa korupsi adalah tindakan penyalahgunaan wewenang atau jabatan untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Dalam konteks birokrasi, korupsi dimulai dari praktek jual beli Jabatan, suap-menyuap, penggelapan dana atau anggaran pemerintah dan maraknya praktek nepotisme.
Sepak terjang Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK) dalam beberapa tahun terakhir ini, dalam melakukan operasi tangkap tangan atau tindakan penggeledahan terhadap pejabat baik di pusat maupun di daerah termasuk sejumlah kepala daerah, mengingatkan dan warning akan masalah yang dihadapi ASN. Setelah turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan pada 1998, ada kemajuan dalam reformasi sistem politik dan kebebasan masyarakat sipil di Indonesia. Sayangnya, hal itu tidak diimbangi dengan perkembangan reformasi birokrasi yang progresif, dan justru tren kasus korupsi cenderung naik.
Sistem politik yang lebih demokratis pasca era Soeharto ternyata juga membawa implikasi negatif bagi birokrasi. Studi yang dilakukan para akademik mengenai partai politik dalam sistem pemilihan umum langsung anggota DPR dan kepala daerah di era demokrasi mengidentifikasi tingginya biaya politik (Mietzner, 2013; Anung 2013).
Akibatnya, politikus yang berpeluang besar terpilih di legislatif menjadi kepala daerah (bupati, wali kota, atau gubernur) adalah yang memiliki modal kapital sendiri, tokoh populer yang didukung pemodal, atau bagian dari dinasti politik yang sangat berkuasa di daerah setempat. Bila terpilih, politikus ini akan mempunyai motivasi yang sama mengembalikan modal politik.
Dalam konteks kepala daerah, bisa jadi akan memanfaatkan posisi untuk mengumpulkan dana sebesar-besarnya lewat jual-beli jabatan dengan birokrat yang bersedia membayar dengan harga tinggi. Kemudian, kepala daerah bekerja sama dengan birokrat tersebut untuk mengeksploitasi anggaran pendapatan dan belanja daerah yang biasanya memberikan fasilitas proyek kepada pemodal untuk mengembalikan utang modalnya. Inilah yang dinamakan sebagai politisasi birokrasi (Dwiyanto, 2015).
Keberadaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang sekarang sudah diubah menjadi undang-undang nomor 20 tahun 2023 sebenarnya ditujukan untuk mengatasi masalah politisasi birokrasi tersebut. Tetapi faktanya juga jauh dari ekspektasi publik, proses seleksi pejabat tinggi aparat sipil Negara dibuat lebih terbuka dan akuntabel dengan mewajibkan adanya tiga kandidat untuk satu posisi. Kemudian, Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dibentuk untuk meminimalkan politisasi birokrasi dengan kewenangan mengawasi, dan bahkan bisa membatalkan proses rekrutmen serta seleksi pejabat yang terindikasi korupsi, kolusi, dan nepotisme, tapi ternyata pejabat dari hasil seleksi itu juga tidak signifikan dalam mengurangi perilaku korupsi, bahkan nyaris tidak berpengaruh.
Korupsi dan birokrasi
Indonesian Corruption Watch(ICW) melaporkan hasil pantauan tren korupsi pada 2023. Peneliti ICW Diky Ananda mengatakan ada lonjakan kasus korupsi pada tahun 2023 dengan total 791 kasus dan 1695 tersangka korupsi, ” pada tahun 2023, terjadi lonjakan jumlah kasus dan tersangka yang cukup masif,”( detikcom,19/5/24).
Itu artinya kasus-kasus korupsi di kalangan birokrasi kita, bukannya menurun malah justru massif, lalu, apa yang salah dengan ini ? Diky mengatakan faktor penyebab lonjakan kasus ini adalah belum ampuhnya strategi penindakan melalui pemidanaan yang menjerakan, pun juga upaya pencegahannya belum optimal.
Korupsi dan rusaknya birokrasi adalah dua masalah besar yang sering kali saling berkaitan dan berdampak signifikan pada pemerintahan dan masyarakat. Beberapa poin penting terkait kedua isu ini:
Pertama : Korupsi mengurangi efektivitas pemerintah, menghambat pertumbuhan ekonomi, dan memperburuk ketimpangan sosial. Dana publik yang seharusnya digunakan untuk layanan penting seperti kesehatan dan pendidikan malah disalahgunakan.
Kedua : Kurangnya transparansi dan akuntabilitas, lemahnya penegakan hukum, dan budaya atau norma sosial yang permisif terhadap korupsi.
Reformasi hukum dan institusi, peningkatan transparansi dan akuntabilitas, pendidikan dan kampanye anti-korupsi,
serta penegakan hukum yang tegas.
Rusaknya birokrasi dapat ditandai dengan munculnya berbagai indikasi permasalahan seperti munculnya inefisiensi, ketidakefektifan, dan disfungsi dalam struktur dan proses administrasi publik. Dan ini disebabkan oleh korupsi, namun, bisa juga diakibatkan oleh faktor lain seperti kurangnya kompetensi atau kepemimpinan yang buruk. Dan dampak negatif dari rusaknya birokrasi dapat menghambat pelayanan publik, mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan menurunkan kualitas kebijakan dan program pemerintah, termasuk juga struktur organisasi yang kaku, kurangnya inovasi, beban kerja yang tidak merata, prosedur yang berbelit-belit dan kepemimpinan yang tidak efektif, ini semua dampak dari korupsi.
Perlu kesadaran yang tinggi bagi semua pihak bahwa hubungan antara korupsi dan rusaknya birokrasi adalah hal yang begitu merugikan masyarakat secara umum. Korupsi menyebabkan rusaknya birokrasi karena menyuburkan praktek-praktek nepotisme, kolusi, dan penyelewengan wewenang. Pun sebaliknya, birokrasi yang rusak bisa mempermudah terjadinya korupsi karena lemahnya sistem pengawasan dan kontrol internal. Mengatasi korupsi dan memperbaiki birokrasi memerlukan upaya bersama dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta. Upaya ini harus didukung oleh komitmen politik yang kuat dan kerangka hukum yang efektif.
Di Satu sisi kita juga memahami bahwa ketidakberdayaan birokrasi karena ada faktor-faktor lain, selain karena korupsi, pun juga karena kurangnya Sumber Daya seperti terbatasnya anggaran, sumber daya manusia, dan fasilitas dapat menghambat operasional birokrasi. Birokrasi yang Rumit dan Tidak Efisien, Prosedur yang berbelit-belit dan tidak efisien dapat memperlambat pelayanan dan pengambilan keputusan. Kurangnya Transparansi dan Akuntabilitas, Tanpa sistem yang transparan dan akuntabel, sulit untuk mengawasi kinerja birokrasi. Semua ini adalah problematika di birokrasi kita saat ini, dan celakanya kasus-kasus korupsi ikut serta dalam memperparah problematika itu.
Tentu kita sepakat bahwa dalam mengatasi korupsi dan memperkuat birokrasi memerlukan upaya yang terintegrasi, termasuk reformasi institusional, peningkatan transparansi dan akuntabilitas, pemberian pelatihan yang memadai, serta penegakan hukum yang tegas terhadap tindakan korupsi. Kita ingin agar kasus korupsi dan ketidakberdayaan birokrasi yang sering kali saling terkait dan memperburuk masalah administrasi pemerintahan dapat dicegah secara serius karena dampaknya akan ke masyarakat secara umum.
Sistem yang baik ternyata tidak menggaransi tidak terjadinya praktek penyimpangan seperti korupsi, karena subtansi persoalannya bukan di sistem semata, tetapi ada di mentalitas dan integritas para birokrat. Saya teringat ungkapan salah satu mantan petinggi KPK waktu itu, beliau mengatakan bahwa seorang pejabat publik/ pejabat negara cukup memiliki dua syarat mutlak jika ingin sukses, yaitu memiliki integritas yang tinggi dan memiliki kompetensi yang memadai.
Bahwa rusaknya birokrasi terjadi ketika sistem administrasi publik tidak lagi berfungsi sesuai tujuan aslinya yaitu memberikan pelayanan yang efisien dan adil kepada masyarakat. Ketika birokrasi rusak, cirinya ditandai dengan prosedur yang terlalu panjang dan rumit, inefisiensi dalam pengambilan keputusan, rendahnya akuntabilitas, serta lemahnya pengawasan internal. Dan akhirnya masyarakat menjadi tidak percaya pada sistem birokrasi dan pemerintahan yang dapat menyebabkan ketidakstabilan sosial dan politik.(**)