Polman,daulatrakyat.id -Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi bekerjasama dengan Komunitas Bahari Mandar (Sulawesi Barat) menggelar kegiatan “Fase Rawat Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) – Sulawesi Barat mulai Oktober – Nopember 2024.
Kegiatan ini adalah rangkaian kegiatan yang dilaksanakan di beberapa provinsi terpilih di Indonesia. Untuk di Pulau Sulawesi sendiri diadakan di tiga provinsi, yakni Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah.
Ada beberapa kegiatan di Fase Rawat PKN Sulawesi Barat ini. Yang telah dilaksanakan adalah FGD di Tinambung pada 20 Oktober. Saat ini sedang berlangsung riset di beberapa titik di Kabupaten Polewali Mandar dan Majene. Lokakarya akan diadakan di SMA 2 Majene pada 10 November. Kemudian Residensi dimulai 11 November yang akan berlangsung 1-2 pekan di lima titik Kabupaten Polewali Mandar dan satu titik di Kabupaten Majene. Usai residensi diadakan Pertunjukan Seni yang berlangsung 15 – 17 November.
Keunikan kegiatan ini ada pada bentuk pementasannya.
Jika selama ini even-even seni budaya kegiatan pementasannya di satu titik dengan panggung yang megah, di kegiatan Fase Rawat PKN ini pementasan dilakukan secara bersahaja di tengah-tengah kampung.
Jadi masyarakat, bisa langsung berinteraksi dengan seniman. Ini mengambil teladan dari pementasan tradisi Mandar, misalnya pakkacaping yang dulunya duduk di halaman.
Rencana kegiatan pentas seni diadakan di Pambusuang (Polman), Renggeang (Polman), dan Teppo (Majene). Pementasan seni menampilkan komunitas dan individu seniman yang mengangkat tema “sando“.
Secara spesifik tentang sando apa itu diserahkan kepada seniman bersangkutan.
Usai rangkaian kegiatan di atas, terakhir Diskusi Buku dan Pemutaran Film Dokumenter di TBM Sulawesi Barat, 29 November 2024. Buku dan film adalah semacam arsip kegiatan Fase Rawat PKN Sulawesi Barat.
Secara formal, kegiatan Fase Rawat Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) – Sulawesi Barat 2024 dilaksanakan atas kerjasama Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi bekerjasama dengan Komunitas Bahari Mandar.
Kegiatan ini didukung banyak komunitas dan individu yang kalau ditotalkan lebih 20 komunitas dan individu. Sebab memang pada dasarnya kegiatan seperti ini harus berbasis kolaborasi.
Khusus di tim kerja diwakili tiga individu yang juga berasal dari tiga komunitas, yaitu Muhammad Ridwan Alimuddin (Komunitas Bahari Mandar), Muhammad Rahmat Muchtar (Uwake‘ Culture Foundation), dan Muhammad Dalip (Komunitas Budaya Sossorang).
Tentang Tema Sando Banua
Untuk pelaksanaan Fase Rawat Pekan Kebudayaan Nasional (PKN di Sulawesi Barat ini, tema yang diangkat adalah “Sando Banua“. Berasal dari kata “sando“ yang secara umum bisa diterjemahkan dukun, dan “banua“ yang berarti kampung atau rumah.
Dua kata tersebut tidak harus dimaknai secara sempit sebagai praktek perdukungan semata. Sando Banua dianggap sebagai orang yang mampu mengobati tubuh/organ manusia dan lainnya, juga sekaligus menjadi perawat alam dan sekitarnya. Interaksi alam, budaya dan manusia menjadi pondasi utama keberadaannya.
Hingga sampai sekarang aktivitas itu masih berlangsung dan banyak kita jumpai diberbagai wilayah di Sulawesi Barat, dan memiliki generasi-generasi yang akan menjadi pewaris dan pelanjut ilmu pengetahuan tradisional tersebut. Dan apa yang dipraktekkan memiliki banyak kearifan lokal, misalnya praktek “ussul” dan pemali.
Hubungan manusia dengan manusia dan manusia dengan alam dijadikan sebagai salah satu isu dalam agenda strategi pemajuan kebudayaan, yang dapat menyediakan ruang bagi keberagaman ekspresi budaya, serta mendorong interaksi budaya guna memperkuat kebudayaan yang inklusif, serta bertujuan melestarikan budaya Indonesia, khususnya di Sulawesi Barat.
Posisi sosial Sando Banua sangat sakral dan dihormati dalam struktur masyarakat tradisional dan menjadi tokoh penting dalam budaya nusantara yang bersifat kosmosentris, di mana setiap aktivitas kebudayaan selalu dikaitkan dengan perhitungan-perhitungan kosmologis.
Sando Banua merupakan penghubung antara dunia manusia yang tampak secara fisik dengan dunia atas yang tidak terlihat. Pada konsep kosmologi nusantara, dunia manusia berada di dunia bawah, yang perlu menjalin komunikasi dengan dunia atas, menjadi medium yang berada di dunia tengah. Dunia tengah merupakan dunia penghubung antara dunia bawah dan dunia atas. Manusia dengan segala akal budinya menjadi indikator tunggal untuk memahami semua fenomena alam.
Eksistensi Sando pada masa lampau dianggap sebagai salah satu penjaga keharmonisan kosmos, posisinya telah dipengaruhi oleh perkembangan sains dan konsep-konsep kebudayaan baru (termasuk pandangan agama).
Dalam kegiatan, ada enam aktivitas per-sando-an yang diangkat secara khusus, yaitu kelahiran, tentang pembuatan perahu, tentang pembuatan rumah, tentang laut, tentang air, dan tanah atau pertanian.
Enam hal tersebut akan diriset oleh periset untuk kemudian hasil awal riset dijadikan referensi awal peserta residensi. Hasil dari residensi akan dituliskan untuk kemudian dimasukkan ke dalam buku dan film dokumenter. Dua hal ini, buku dan film, akan menjadi luaran kegiatan.
Enam bentuk praktek sando di atas, secara umum bisa ditemukan di banyak tempat di Mandar. Tapi untuk memudahkan proses riset dan residensi, akan diwakili di enam tempat, yaitu: Desa Mosso Kecamatan Balanipa Kabupaten Polewali Mandar, Desa Pambusuang Kecamatan Balanipa Kabupaten Polewali Mandar, Desa Batulaya Kecamatan Tinambung Kabupaten Polewali Mandar, Desa Renggeang Kecamatan Limboro Kabupaten Polewali Mandar, Desa Sayoang Kecamatan Alu Kabupaten Polewali Mandar, Leppe’ kecamatan Banggae Timur Kabupaten Majene.
Meski demikian, pengetahuan dari tempat-tempat lain juga dikumpulkan guna memperkaya wawasan pengetahuan tentang sando.
Tujuan
Kegiatan Fase Rawat PKN – Sulawesi Barat bertujuan menyediakan ruang apresiasi, ekspresi, dan kreasi seni dan budaya yang beragam; mendorong interaksi budaya dan memperkuat kebudayaan yang inklusif; menghidupkan gerakan kebudayaan di tingkat akar rumput; dan menjadi media informasi dan komunikasi kegiatan pemajuan kebudayaan khususnya di Sulawesi Barat.
Tentang PKN
Pekan Kebudayaan Nasional atau sering dikenal dengan singkatan PKN merupakan agenda tahunan yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai wujud implementasi dari agenda strategi pemajuan kebudayaan yang telah disepakati dalam Kongres Kebudayaan Indonesia 2018. Hingga pada tahun 2024, melalui kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi PKN kembali diselenggarakan dan diwujudkan dengan cara menyediakan ruang bagi keberagaman ekspresi budaya, serta mendorong interaksi budaya guna memperkuat kebudayaan yang inklusif.
Pekan Kebudayaan Nasional merupakan serangkaian aktivitas berjenjang dari desa hingga pusat yang terdiri atas kompetisi daerah, kompetisi nasional, konferensi pemajuan kebudayaan, ekshibisi, dan pergelaran karya budaya dengan tujuan melestarikan budaya Indonesia. Pekan Kebudayaan Nasional menjadi implementasi dari salah satu agenda strategi pemajuan kebudayaan.
Pekan Kebudayaan Nasional adalah suatu perayaan setiap tahun yang diadakan untuk mengenalkan keanekaragaman kebudayaan Indonesia kepada masyarakat. Adapun tujuannya adalah untuk mengembangkan nilai-nilai luhur budaya bangsa, memperkaya keberagaman budaya, memperteguh jati diri bangsa, memperteguh persatuan dan kesatuan bangsa, mencerdaskan kehidupan bangsa, meningkatkan citra bangsa, mewujudkan masyarakat madani, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan lain-lain.
Pekan Kebudayaan Nasional menjadi momentum penting untuk mengingatkan masyarakat akan pentingnya peran Kebudayaan dalam menciptakan masa depan bangsa yang berkelanjutan.
Kebudayaan bukan hanya tentang kesenian, melainkan mencakup seluruh gagasan, pengetahuan, tindakan, dan seluruh hasil karya manusia dalam kehidupan. PKN merupakan perwujudan amanah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Sebagai ruang bersama, PKN diharapkan dapat mendorong terwujudnya sikap saling memahami, menghargai, dan menghormati di antara anak bangsa.
Pelumbungan: Motode Kegiatan
Metode kegiatan PKN yang berbasis pada pelumbungan. Konsep “lumbung” dan “pelumbungan” atau commoning merupakan dua istilah yang sering dijumpai dalam diskursus mengenai pengelolaan bersama sumber daya dalam masyarakat. Dalam konteks Indonesia, khususnya dalam praktik PKN, kedua konsep ini memainkan peran sentral dalam memahami bagaimana kebudayaan bisa dirawat dan dikembangkan secara kolektif dan berkelanjutan. Meskipun terkait erat, “lumbung” dan “pelumbungan” memiliki nuansa yang berbeda yang penting untuk dipahami dalam konteks pengelolaan kebudayaan.
Lumbung secara tradisional dikenal sebagai tempat penyimpanan hasil panen, khususnya padi, yang digunakan oleh masyarakat agraris di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Dalam pengertian yang lebih luas, lumbung menjadi simbol dari kebersamaan, kerjasama, dan keberlanjutan. Konsep lumbung menekankan pada pentingnya menyimpan sumber daya bersama yang kemudian dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan anggota komunitas pada saat-saat tertentu, terutama dalam situasi darurat atau saat panen tidak berhasil.
Dalam konteks kebudayaan, lumbung diadaptasi sebagai metafora untuk pengelolaan dan pembagian sumber daya kebudayaan yang meliputi pengetahuan, keterampilan, dan berbagai bentuk ekspresi budaya. Lumbung kebudayaan berfungsi sebagai wadah yang menampung, memelihara, dan menyediakan akses kepada anggota komunitas untuk menggunakan dan mengembangkan sumber daya tersebut secara bersama-sama. Ini mencakup semua bentuk warisan budaya, dari seni pertunjukan, kerajinan, ritus-ritus, hingga cerita dan bahasa.
Salah satu prinsip utama dari lumbung adalah kerjasama, yang dalam konteks PKN bisa berarti mengorganisir kegiatan yang mempromosikan kolaborasi antar seniman, kelompok kebudayaan, dan bahkan antar wilayah. Ini bisa berupa festival bersama, produksi bersama, atau inisiatif pertukaran yang memungkinkan peserta dari berbagai daerah untuk saling berbagi ide dan praktik.
Prinsip lumbung juga mendorong aspek pendidikan dan mentorship. PKN dapat menggunakan prinsip ini untuk mengembangkan program-program dimana pelaku kebudayaan yang lebih berpengalaman dapat mentransfer ilmu dan keterampilan kepada peserta yang lebih muda atau kurang berpengalaman. Ini menciptakan lingkungan yang mendukung untuk pertumbuhan dan pembelajaran, memastikan bahwa pengetahuan kebudayaan terus diperbarui dan diwariskan.
Pemanfaatan teknologi modern dapat membantu mengaktualisasikan konsep lumbung dalam penyelenggaraan PKN. Misalnya, menggunakan platform digital untuk menyimpan dan membagikan sumber daya atau untuk mengatur kolaborasi antara peserta yang berlokasi jauh. Teknologi dapat membantu memperluas jangkauan dan dampak PKN, menghubungkan pelaku kebudayaan di seluruh Indonesia dan bahkan internasional.
Prinsip keberlanjutan yang terkandung dalam konsep lumbung mengharuskan PKN untuk selalu mempertimbangkan dampak jangka panjang dari kegiatannya. Ini berarti mengembangkan strategi yang tidak hanya fokus pada penyelenggaraan event secara periodik, tetapi juga pada pembangunan kapasitas jangka panjang dalam komunitas kebudayaan. Tujuannya adalah untuk menciptakan sistem yang bisa terus berkembang dan beradaptasi seiring waktu tanpa bergantung terlalu banyak pada sumber daya eksternal.
Dalam metode pelumbungan, terbagi tiga fase: Rawat, Panen dan Bagi.
Fase Rawat
Fase ‘Rawat’ dalam konteks PKN mewakili langkah awal dan fundamental dalam pengelolaan kebudayaan yang berkelanjutan, bertumpu pada konsep ‘lumbung’ yang merujuk pada pemeliharaan dan penyemaian warisan budaya untuk masa depan.
Dalam fase ini, berbagai elemen dan aktivitas kebudayaan dikumpulkan, dianalisis, dan dipersiapkan untuk pertumbuhan selanjutnya, mirip dengan fase penyemaian dalam siklus pertanian, di mana benih dipilih, ditanam, dan dirawat dengan cermat.
Dalam praktik penyelenggaraan PKN, fase ‘Rawat’ melibatkan serangkaian kegiatan yang berorientasi pada pengumpulan dan pemeliharaan warisan budaya, termasuk pengetahuan, seni, tradisi, dan ekspresi kebudayaan lainnya. Ini bukan hanya tentang pelestarian dalam pengertian yang statis, tetapi tentang pemberdayaan aktif dan pengembangan kapasitas yang memungkinkan warisan budaya tidak hanya bertahan tetapi juga berkembang dan menginspirasi.
Proses ‘Rawat’ dalam PKN bisa mencakup inisiatif-inisiatif seperti diskusi terpumpun tentang tradisi dan adat istiadat, wawancara dengan praktisi kebudayaan, penelitian lapangan, serta pengembangan database yang mencakup rekaman musik, video, dan artefak budaya. Tujuan utamanya adalah untuk menciptakan fondasi yang kuat dari mana budaya bisa berkembang.
Fase Panen
Fase ‘Panen’ dalam PKN merupakan momen krusial di mana usaha yang dilakukan pada fase ‘Rawat’ mulai menghasilkan buahnya. Fase ini adalah tentang menampilkan dan memanifestasikan warisan budaya yang telah dirawat, diolah, dan dikembangkan. Berbeda dengan fase ‘Rawat’ yang lebih fokus pada pengembangan internal dan pemeliharaan, fase ‘Panen’ berorientasi pada pengumpulan seluruh warisan budaya yang telah dirawat sebelumnya, dengan titik tumpu pada pencatatan seluruh proses ‘Rawat’ yang telah terjadi.
Dalam fase ini, seluruh penelitian, catatan diskusi, dokumentasi residensi yang telah dipersiapkan dan dikumpulkan, kini siap untuk diubah menjadi bentuk baru yang bisa dipergunakan oleh publik luas. Bentuk akhirnya bisa begitu beragam, termasuk artikel, makalah, buku, dokumentasi foto dan/atau video sampai juga arsip-arsip yang berisikan kekayaan kebudayaan bangsa.
Fase Bagi
Fase ‘Bagi’ dalam PKN merupakan puncak dari siklus pelumbungan kebudayaan.
Setelah proses penanaman (rawat) dan pematangan (panen), tibalah waktu untuk membagikan hasil kepada masyarakat. Fase ini tidak hanya merupakan sebuah tindakan distribusi, tetapi juga merupakan ekspresi dari kebudayaan sebagai entitas hidup yang terus berkembang melalui interaksi antara individu dan komunitas.
‘Bagi’ dalam PKN adalah tentang lebih dari sekadar memperlihatkan hasil-hasil kebudayaan kepada publik. Ini adalah proses dua arah yang melibatkan dialog dan pertukaran yang konstan. Seniman, pelaku kebudayaan, dan komunitas lokal berbagi karya dan pengetahuan mereka, sementara masyarakat dan audiens memberikan respon, interpretasi, dan apresiasi yang memperkaya pemahaman kolektif tentang kebudayaan tersebut.
Dalam fase ‘Bagi’, penting juga untuk mengakui bahwa kebudayaan bukanlah sesuatu yang statis. Proses pembagian ini mendorong terciptanya kreasi baru, di mana interaksi antara pelaku kebudayaan dan audiensnya dapat memunculkan ide-ide baru dan perspektif segar yang kemudian diterapkan dalam praktik kebudayaan. Ini berarti bahwa setiap fase ‘Bagi’ juga adalah fase ‘Rawat’ untuk masa depan, di mana benih dari kreasi masa depan ditanam.
Selain itu, ‘Bagi’ mengakui pentingnya ruang. Baik itu ruang fisik seperti galeri dan teater, atau ruang virtual seperti media sosial dan platform digital, setiap ruang menjadi penting untuk pertukaran kebudayaan. Ruang-ruang ini tidak hanya sebagai sarana penampilan, tetapi juga sebagai forum di mana komunitas bisa berkumpul dan berinteraksi dengan cara yang berarti.
Fase ‘Bagi’ juga mencerminkan dimensi sosial dari kebudayaan. Dalam konteks Indonesia, di mana masyarakat sangat heterogen, proses pembagian kebudayaan berperan sebagai alat pemersatu dan penggalang identitas nasional. Dengan membagikan kekayaan kebudayaan dari berbagai daerah dan etnis, PKN mendukung pembentukan jaringan sosial yang lebih inklusif dan koheren.(**)