Oleh : Muslimin.M
Sekitar satu bulan terakhir ini setiap hari kita disuguhkan berita-berita tentang situasi perpolitikan tanah air, terutama sepak terjang dan manuver partai politik dalam menghadapi pesta akbar demokrasi yaitu pilkada serentak November 2024 ini. Dinamika ini, tentu membuat sebagian masyarakat deg-degan, was-was atau mungkin stress, jikalau jagoan nya tidak mendapatkan “tiket” ke medan laga, hal ini cukup beralasan sebab ada beberapa partai politik sudah memutuskan mengusung calon A, tetapi tiba-tiba berpindah haluan ke lain hati atau calon B karena faktor dan kepentingan partai politik tentunya.
Kalau kita merujuk istilah koalisi, kita bisa mendefinisikan bahwa Koalisi parpol adalah istilah yang merujuk pada kerja sama atau aliansi yang dibentuk oleh dua atau lebih partai politik dalam rangka mencapai tujuan bersama, biasanya untuk memenangkan pemilu/pilkada atau membentuk pemerintahan. Koalisi ini sering terbentuk karena tidak ada satu partai yang memiliki cukup dukungan untuk mengusung calon sendiri, termasuk untuk menguasai pemerintahan sendiri, sehingga diperlukan kerja sama dengan partai lain.
Di Indonesia, koalisi partai politik sering terbentuk menjelang pemilihan presiden, pemilihan kepala daerah atau dalam proses pembentukan pemerintahan di tingkat pusat maupun daerah. Koalisi ini bisa bersifat pragmatis, dengan partai-partai yang berbeda ideologi dan platform bekerja sama demi keuntungan politik bersama, seperti memenangkan pemilu atau mendapatkan posisi penting dalam pemerintahan.
Koalisi partai politik merupakan hal lumrah yang terjadi dalam sistem politik demokratis. Koalisi partai politik memiliki arena dan motif yang berbeda-beda. Namun, sering kali publik mempertanyakan apa yang melatarbelakangi pembentukan koalisi partai politik. Terutama ketika terdapat partai politik yang ketika pemilu bersaing cukup kompetitif, tetapi pasca pemilu seperti pilkada memilih bekerjasama dan membentuk koalisi di pemerintahan.
Lantas, apa sebetulnya yang memotivasi partai politik dalam membangun koalisi ? koalisi dibentuk pada arena pemilu termasuk pilkada dengan orientasi utama bersama-sama memenangkan kontestasi tersebut. Koalisi ini idealnya bersifat volunteers di mana partai politik bersepakat untuk bekerjasama secara sukarela karena kedekatan ideologi atau program partai. Konsekuensinya, partai politik yang bersepakat membentuk koalisi akan melakukan aktivitas kampanye secara bersama-sama untuk meraih suara terbanyak di pemilu atau pilkada.
Tetapi ada juga koalisi dibentuk dalam angka memenuhi syarat sebagai peserta pemilu. UU 7/2017 misalnya, menjadikan syarat minimal kursi 20% bagi partai politik untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden, calon kepala daerah. Sistem pemerintahan dan sistem kepartaian pada arena ini sangat berpengaruh terhadap pembentukan koalisi partai politik.
Koalisi menjadi suatu keniscayaan di tengah sistem presidensial multipartai terutama ketika partai politik pengusung presiden terpilih memiliki kursi minoritas di DPR. Sekalipun dalam konteks presidensial, presiden sebagai single chief executive yang memiliki otoritas untuk membentuk kebijakan. Namun dalam setiap undang-undang yang diusulkan oleh presiden tetap memerlukan persetujuan dari DPR. Sehingga, jika partai politik pendukung presiden memiliki minoritas kursi di DPR, besar kemungkinan kerja-kerja presiden terpilih dapat terhambat di DPR yang setiap saat bisa saja menolak kebijakan presiden.
Untuk itu dalam sistem presidensial multipartai koalisi menjadi salah satu solusi utama agar presiden terpilih memperoleh dukungan mayoritas di DPR. koalisi dibentuk pada arena perumusan kebijakan dengan tujuan untuk membentuk atau menghasilkan kebijakan atau undang-undang tertentu. Pada arena ini koalisi antara partai politik dibatasi oleh waktu dan bersifat sementara. Dalam hal ini, jika undang-undang yang menjadi tujuan sudah terbentuk, maka koalisi dengan sendirinya dibubarkan.
Selain itu, partai politik yang bersepakat untuk menghasilkan suatu undang-undang ini bisa saja tidak terikat dalam koalisi pada dua arena sebelumnya yakni pemilu dan pembentukan pemerintahan. Praktek Koalisi Keseluruhan arena koalisi tersebut terjadi dan dilakukan partai politik di Indonesia. Koalisi partai politik yang publik saksikan pasca-Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2019 dan 2024 misalnya, merupakan koalisi yang terjadi dari keberlanjutan koalisi di arena pemilu dan koalisi di arena kedua yakni pembentukan pemerintahan. Penataan ulang koalisi yang sering terjadi pasca pemilu presiden biasanya berkaitan dengan pengisian jabatan menteri.
Pembajakan Demokrasi !
Munculnya fenomena calon tunggal salah satunya disebabkan oleh motif koalisi ini. Dalam level pemerintahan daerah, koalisi partai politik lebih banyak muncul pada arena kebijakan dan sifatnya sementara. Karena logika bekerja hubungan legislatif dan eksekutif di daerah serupa dengan nasional, setiap kepala daerah dalam merumuskan kebijakan seperti peraturan daerah memerlukan persetujuan dari DPRD. Untuk itu, sering kali kepala daerah terpilih yang dalam pembentukan koalisi pencalonannya hanya sebatas memenuhi persyaratan administratif 20% kursi yang berujung pada minoritas dukungan koalisi partai politik di DPRD ketika terpilih.
Dampaknya, dalam setiap perumusan kebijakan kepala daerah berusaha menjajaki dukungan dari partai politik lain di luar pengusungnya untuk mendapatkan dukungan mayoritas partai politik DPRD terhadap kebijakan publik yang diusulkan. Sayangnya, pola koalisi pada arena ini sering kali bersifat transaksional yang berujung pada praktek korupsi.
Koalisi partai politik, meskipun merupakan bagian penting dari dinamika demokrasi, juga dapat menjadi ancaman bagi demokrasi jika tidak dikelola dengan baik. Bisa kita lihat beberapa ancaman tersebut :
Pertama : Kurangnya Checks and Balance , Ketika koalisi yang sangat kuat terbentuk, terutama dengan mayoritas yang dominan di parlemen, hal ini bisa melemahkan peran oposisi. Demokrasi yang sehat membutuhkan oposisi yang kuat untuk melakukan pengawasan dan penyeimbangan terhadap kebijakan pemerintah. Jika oposisi terlalu lemah, fungsi pengawasan ini bisa terabaikan yang dapat mengarah pada otoritarianisme atau pemerintahan yang sewenang-wenang.
Mereduksi Pluralisme, Koalisi yang melibatkan hampir semua partai utama bisa menyebabkan homogenisasi kekuasaan, di mana suara-suara alternatif atau minoritas tidak lagi terdengar. Hal ini bisa membatasi perdebatan politik yang sehat dan mengurangi keberagaman ide dalam pengambilan keputusan politik.
Kedua : Korupsi dan Patronase, Koalisi seringkali dibentuk berdasarkan tawar-menawar politik yang dapat berujung pada praktik politik transaksional. Partai-partai dalam koalisi mungkin menuntut jatah kekuasaan atau sumber daya tertentu sebagai imbalan dukungan, yang bisa memicu korupsi dan praktik patronase. Ini tidak hanya merusak integritas pemerintahan, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap proses demokrasi.
Ketika sebuah pemerintahan koalisi mengambil keputusan yang salah atau terlibat dalam skandal, tanggung jawab sering kali sulit ditentukan karena adanya banyak pihak yang terlibat. Hal ini bisa menyebabkan pengaburan akuntabilitas, di mana tidak ada pihak yang benar-benar bertanggung jawab atas kegagalan atau penyalahgunaan wewenang.
Ketiga : Destabilisasi Politik, Koalisi yang dibentuk secara oportunistik atau tanpa kesamaan visi dan nilai bisa sangat rapuh. Ketika ada perbedaan pendapat atau konflik kepentingan di antara anggota koalisi, hal ini bisa menyebabkan perpecahan yang berdampak pada stabilitas pemerintahan. Destabilisasi ini bisa mengarah pada jatuhnya pemerintahan atau krisis politik, yang merugikan proses demokrasi.
Partai-partai kecil dalam koalisi sering kali memiliki kekuatan yang tidak proporsional karena posisi mereka sebagai penentu mayoritas. Mereka bisa menggunakan posisi ini untuk menekan partai-partai besar atau pemerintah agar memenuhi tuntutan mereka, meskipun tuntutan tersebut tidak sesuai dengan kepentingan publik. Ini bisa mengarah pada kebijakan yang tidak demokratis atau merugikan kepentingan umum.
Keempat : Oligarki Politik, Dalam beberapa kasus, koalisi bisa mendukung terbentuknya oligarki politik, di mana segelintir elit atau partai mendominasi kekuasaan dan mengendalikan proses politik. Ini mengurangi representasi yang adil dan merusak prinsip-prinsip demokrasi yang mengutamakan partisipasi dan keterwakilan rakyat.
Koalisi yang terlalu kuat bisa mengarah pada manipulasi hukum dan institusi negara untuk mempertahankan kekuasaan. Misalnya, mereka bisa mengubah undang-undang pemilu atau aturan konstitusional untuk menguntungkan diri mereka sendiri, menghalangi oposisi, atau memperpanjang masa jabatan kekuasaan.
Dari konteks diatas koalisi partai politik, meskipun sering diperlukan dalam sistem demokrasi multipartai, bisa juga menjadi ancaman bagi demokrasi jika tidak dijaga dengan baik. Risiko terbesar muncul ketika koalisi mengarah pada pelemahan partai politik yang tidak bergabung dengan koalisi atau menjadi oposan, praktik korupsi, destabilisasi politik, atau pembajakan proses demokrasi. Oleh karena itu, penting bagi negara kita sebagai negara demokratis untuk memastikan bahwa koalisi dibentuk berdasarkan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi yang sejati. Dengan begitu kita sebagai rakyat menjadi yakin bahwa koalisi tujuannya adalah untuk kebaikan rakyat semata, bukan untuk kepentingan kelompok atau koalisi…Semoga.(**)