Oleh : Muslimin.M
Tulisan kali ini sebagai hasil diskusi saya dengan beberapa kawan beberapa waktu yang lalu, dimana topik hangat dari diskusi itu adalah tentang praktek jual beli jabatan yang sering kali dilakukan oleh para penguasa, apalagi menjelang pilkada tahun ini sinyalemen itu semakin hangat dibincang oleh masyarakat. Dalam kaitan itu, tentu saya hanya menulis beberapa bagian kecil dan sederhana saja dan tidak memotret pada wilayah atau daerah tertentu sebab informasi tentang jual beli jabatan itu sudah seringkali kita saksikan di media, bahkan ada yang tertangkap tangan oleh KPK.
Modus jual beli jabatan merupakan bentuk korupsi klasik kepala daerah. Polanya sebenarnya cukup sederhana, anak buah yang ingin menempati jabatan tertentu, maka ia harus membayar sejumlah mahar yang ditetapkan oknum kepala daerah. Dan celakanya banyak oknum ASN yang semangat mengambil jalan pintas ini, meskipun kompetensinya di bawah standar dan tidak memiliki pengalaman yang cukup pada bidang pekerjaan itu.
Dalam beberapa operasi penindakan yang dilakukan KPK terhadap oknum kepala daerah yang diduga korupsi seolah-olah tidak membuat kapok. Nyali untuk melakukan kejahatan korupsi tetap saja tumbuh dengan memanfaatkan jabatannya. Padahal, KPK sudah mengingatkan kepada kepala daerah agar menjauhi potensi benturan kepentingan dan penyalahgunaan wewenang. Utamanya dalam proses lelang jabatan, rotasi, mutasi, dan promosi para aparatur sipil negara. Selain itu juga terkait dengan belanja daerah seperti pengadaan barang dan jasa.
Kecurigaan kita mungkin juga mengarah lantaran biaya pemilu yang tinggi ketika seseorang ingin menjadi kepala daerah. Sehingga oknum kepala daerah itu akan berupaya mengembalikan modalnya, terutama kepada para sponsor. Ini bisa terjadi karena sesungguhnya di dalam dunia politik tidak ada makan siang gratis, jadi sikap adalah fungsi kepentingan.
Jual beli jabatan sebenarnya bukan penyakit baru birokrasi. Terutama ketika sistem otonomi daerah diterapkan, kepala daerah memiliki kewenangan penuh terhadap pengangkatan jabatan. Pengangkatan dan mutasi pejabat tergantung pada like or dislike pimpinan berdasarkan hubungan kekerabatan, pertemanan atau besaran uang yang dapat diberikan.
Sebagaimana bencana alam, bencana integritas pun menjadikan manusia sebagai korban. Pengangkatan Jabatan atau promosi pegawai seyogyanya bersandar kepada integritas, profesionalitas, dan prestasi pegawai bukan dengan tolak ukur materi yang tidak ada sangkut pautnya dengan kompetensi dan kebutuhan organisasi
Matinya Profesionalisme
Jual beli jabatan sangat merusak profesionalisme. Praktik ini mengakibatkan posisi strategis diisi oleh orang-orang yang mungkin tidak kompeten atau tidak memiliki kualifikasi yang sesuai, melainkan karena mereka mampu membayar atau memiliki koneksi. Hal ini tidak hanya merusak moral dan semangat kerja pegawai yang jujur dan kompeten, tetapi juga berdampak negatif pada kinerja dan pelayanan instansi atau organisasi tersebut. Selain itu, praktik ini juga menurunkan kepercayaan publik terhadap institusi dan proses rekrutmen yang ada.
ASN profesional adalah mereka yang menjalankan tugasnya dengan penuh dedikasi, integritas dan kompeten untuk melayani masyarakat dan negara secara optimal. Mereka tidak hanya memiliki keahlian teknis yang diperlukan dalam bidangnya, tetapi juga mengedepankan nilai-nilai etika, transparansi dan akuntabilitas dalam setiap aspek pekerjaannya. Dengan adanya ASN yang profesional, tentu kita meyakini pelayanan publik dapat lebih efektif, efesien dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Jual beli jabatan merupakan praktik korupsi di mana seseorang harus membayar atau memberikan imbalan untuk mendapatkan posisi atau jabatan tertentu. Praktik ini memiliki dampak yang merusak pada profesionalisme di berbagai sektor, termasuk pemerintahan, pendidikan, dan bisnis. Beberapa alasan mengapa jual beli jabatan menyebabkan runtuhnya profesionalisme:
Pertama : Penurunan Kualitas dan Kompetensi ; Posisi strategis diisi oleh individu yang mungkin tidak memiliki kompetensi atau kualifikasi yang memadai. Hal ini mengakibatkan penurunan kualitas kerja dan keputusan yang diambil oleh organisasi tersebut.
Kedua : Moral dan Motivasi Pegawai Menurun; Pegawai yang kompeten dan berintegritas merasa tidak dihargai karena melihat posisi-posisi penting diberikan berdasarkan kemampuan membayar, bukan berdasarkan prestasi atau kinerja.
Ketiga : Korupsi dan Penyalahgunaan Wewenang ; Individu yang membeli jabatan cenderung mengembalikan investasi mereka melalui praktik korupsi atau penyalahgunaan wewenang. Ini memperburuk budaya korupsi dalam organisasi.
Ke empat : Ketidakadilan dan Ketidakmerataan ; Praktik ini menciptakan ketidakadilan karena kesempatan untuk naik pangkat atau mendapatkan posisi penting tidak lagi didasarkan pada kinerja atau kemampuan, melainkan pada kemampuan finansial.
Dalam konteks itu, tentu kita sepakat bahwa publik akan kehilangan kepercayaan terhadap institusi yang terlibat dalam praktik jual beli jabatan. Kepercayaan adalah elemen kunci dalam hubungan antara institusi dan masyarakat yang dilayani. Orang yang tidak kompeten dalam posisi penting cenderung membuat keputusan yang tidak tepat, yang dapat berdampak negatif pada operasional dan reputasi organisasi.
Mengatasi praktik jual beli jabatan memerlukan upaya serius dari semua pihak, termasuk penerapan aturan yang ketat, pengawasan yang efektif, serta budaya kerja yang menekankan integritas dan profesionalisme. Bukan hanya itu, publik juga harus mengambil peran untuk mengawasi praktek curang ini, sebab dampaknya akan ke masyarakat juga.
Kita menyadari bahwa praktek jual beli jabatan ditengah mahalnya biaya politik terutama dalam pilkada, bukanlah perkara mudah untuk menghentikannya, butuh keseriusan semua pihak, terutama pada oknum pejabat atau penguasa untuk menyadari bahwa ini tindakan salah, melanggar konstitusi dan membahayakan tatanan berbangsa, mencederai amanah masyarakat dan merusak sistem tata kelola pemerintahan.
Kita ingin kepala daerah yang dipilih oleh masyarakat adalah kepala daerah yang konsisten dengan janji politiknya, menunaikan amanah masyarakat dengan sungguh-sungguh, transparan dalam mengelola anggaran pembangunan, termasuk profesional dalam mengangkat para pembantunya, para pejabatnya dengan memperhatikan integritas dan kompetensi dari para pejabatnya, kita tidak ingin ada praktek jual beli dalam pengangkatan pejabat itu sebab hal itu bukan hanya melanggar konstitusi, tetapi juga mengkhianati amanah yang diberikan masyarakat.(**)