Oleh : Muslimin.M
Prosesi tahapan pendaftaran calon kepala daerah telah selesai dan saat ini sudah memasuki tahapan penelitian dan verifikasi berkas bakal calon, dan jika lolos akan ditetapkan sebagai pasangan calon dan selanjutnya akan memasuki salah satu tahapan krusial yaitu kampanye terbuka maupun tertutup. Dalam rentang waktu sekitar tiga bulan ke depan akan berada dalam tahapan kampanye, dan salah satu yang menarik adalah kampanye di media sosial, meskipun sebetulnya iklan kampanye itu sudah banyak beredar sebelum waktu yang ditentukan. Selain iklan kampanye, metode kampanye lain juga akan kian gencar seiring dekatnya hari pemungutan suara 27 November mendatang.
Kaitan dengan hal diatas, kita dapat belajar dari Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 lalu, dimana pilkada itu menjadi salah satu peristiwa politik yang paling hangat dibicarakan di Indonesia, dan salah satu faktor yang membuatnya begitu menarik adalah peran besar media sosial dalam kampanye.
Pada saat itu, media sosial seperti Facebook, Twitter, dan Instagram menjadi medan pertempuran utama bagi para kandidat. Tiga pasangan calon yang bertarung saat itu adalah Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) Djarot Saiful Hidayat, Anies BaswedanSandiaga Uno, dan Agus Harimurti Yudhoyono Sylviana Murni. Ketiga pasangan ini menggunakan media sosial secara intensif untuk menyampaikan visi, misi, dan program-program mereka, serta untuk menjalin komunikasi langsung dengan para pemilih.
Anies Baswedan dan Sandiaga Uno, misalnya, memanfaatkan media sosial untuk membangun citra sebagai pemimpin yang dekat dengan rakyat. Mereka sering memposting foto dan video yang menunjukkan kedekatan mereka dengan masyarakat, seperti mengunjungi pasar tradisional, menghadiri acara-acara keagamaan, dan berbincang dengan warga di kampung-kampung. Dengan demikian, mereka berhasil meraih simpati dari kalangan pemilih yang merasa bahwa mereka bisa diandalkan untuk memperjuangkan kepentingan rakyat kecil.
Di sisi lain, Ahok yang saat itu menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, juga sangat aktif di media sosial. Melalui akun-akun resminya, ia sering membagikan informasi mengenai berbagai kebijakan dan program yang telah ia laksanakan selama menjabat, seperti penataan ruang kota, peningkatan layanan kesehatan, dan transparansi anggaran. Ahok menggunakan media sosial untuk memperkuat citranya sebagai pemimpin yang tegas dan berani memberantas korupsi. Namun, ia juga menghadapi tantangan besar karena sering menjadi target kampanye negatif dan serangan pribadi di media sosial.
Dan ternyata selama kampanye Pilkada DKI Jakarta, media sosial juga menjadi alat yang ampuh untuk menyebarkan hoaks dan kampanye hitam. Banyak sekali informasi palsu dan fitnah yang beredar di platform-platform tersebut, sering kali dengan tujuan untuk merusak citra kandidat tertentu.
Singkat cerita, Anies Baswedan Sandiaga Uno akhirnya keluar sebagai pemenang dalam Pilkada tersebut. Keberhasilan mereka sebagian besar diatribusikan kepada strategi kampanye yang efektif di media sosial yang berhasil menarik dukungan dari berbagai lapisan masyarakat. Mereka mampu memanfaatkan kekuatan media sosial untuk membangun narasi yang kuat dan konsisten, serta memobilisasi dukungan secara masif.
Mungkin kita sepakat bahwa Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu menjadi contoh nyata bagaimana media sosial telah mengubah wajah kampanye politik di Indonesia. Media sosial tidak hanya menjadi sarana untuk menyebarkan informasi, tetapi juga alat yang kuat untuk membentuk opini publik, memobilisasi dukungan, dan bahkan memenangkan pemilihan. Namun, pengalaman ini juga mengingatkan kita tentang risiko yang melekat pada penggunaan media sosial, terutama terkait dengan penyebaran hoaks dan polarisasi sosial.
Pengalaman pilkada jakarta diatas menjadi pelajaran penting bagi kampanye Pilkada yang tahun ini serentak seluruh Indonesia, bahwa strategi media sosial harus direncanakan dengan cermat dan diimbangi dengan upaya untuk menjaga integritas dan kejujuran dalam berkomunikasi dengan pemilih.
Negatifnya
Kampanye Pilkada di media sosial, tentu memiliki risiko yang perlu diperhatikan, mengingat dampak politik yang sangat besar. Media sosial sering digunakan untuk menyebarkan informasi palsu atau hoaks yang bisa merusak citra kandidat. Hoaks yang tidak segera diklarifikasi dapat mempengaruhi persepsi publik secara negatif dan merugikan kampanye.
Selain itu, media sosial juga dapat memperkuat polarisasi di antara pendukung kandidat yang berpotensi menciptakan perpecahan sosial dan konflik di masyarakat. Hal ini bisa saja dapat memperburuk iklim politik dan menghambat proses demokrasi yang sehat. Bisa saja lawan politik menggunakan media sosial untuk melancarkan kampanye negatif atau black campaign, menyebarkan fitnah atau menyerang pribadi kandidat yang dapat menurunkan tingkat kepercayaan publik terhadap pasangan calon tersebut.
Kadang juga akun media sosial yang digunakan untuk kampanye bisa menjadi target peretasan yang dapat mengakibatkan penyebaran pesan yang tidak sesuai dan merusak reputasi kandidat. Tim kampanye mesti menyusun strategi yang matang dan berhati-hati dalam penggunaan media sosial dan sangat penting untuk mengelola dan meminimalkan risiko-risiko dalam kampanye Pilkada.
Kita meyakini bahwa media sosial begitu penting dan bermanfaat bagi pasangan calon untuk menjangkau masyarakat luas dan beragam, termasuk kelompok pemilih muda yang sering kali sulit dijangkau melalui media tradisional, sehingga tujuan kampanye dapat mencapai pemilih di daerah yang terpencil atau sulit diakses.
*Positif nya*
Jika kita bandingkan dengan metode kampanye tradisional seperti iklan televisi atau baliho, kampanye di media sosial cenderung lebih murah. Calon kepala daerah dapat memaksimalkan anggaran kampanyenya dengan berinvestasi dalam iklan media sosial yang ditargetkan.
Begitu mudah dan lengkapnya media sosial menyediakan alat untuk menargetkan audiens berdasarkan demografi, minat, lokasi, dan perilaku online. Hal ini tentu menjadikan kampanye dalam menyampaikan pesan lebih relevan dan menarik bagi kelompok pemilih tertentu.
Media sosial dapat membantu pasangan pasangan calon untuk berinteraksi langsung dengan pemilih, menjawab pertanyaan, dan mendengarkan keluhan dari masyarakat dan membantu membangun hubungan yang lebih personal dan kepercayaan dengan pemilih.
Segala macam informasi dapat disebarkan dengan sangat cepat di media sosial, sehingga pasangan calon dapat merespons isu-isu terkini atau perubahan situasi politik dengan segera, sehingga proses kampanye menjadi tetap dinamis dan relevan.
Dengan media sosial, pasangan calon memiliki kontrol yang lebih besar atas narasi kampanye yang mereka buat. Mereka bisa menyampaikan pesan tanpa harus melalui filter media tradisional, dan memastikan bahwa pesan kampanye tetap konsisten dan sesuai dengan strategi yang diinginkan.
Melalui media sosial para pendukung dengan mudah berbagi konten kampanye, memperkuat pesan, dan membangun momentum secara organik. Dukungan dari mulut ke mulut ini dapat menjadi alat yang sangat kuat dalam meningkatkan visibilitas dan pengaruh kampanye.
Tim kampanye dapat memanfaatkan platform media sosial yang menyediakan alat analitik yang canggih yang dapat melacak kinerja konten, memahami perilaku pemilih, dan menyesuaikan strateginya berdasarkan data, dan tentu saja ini dapat membantu kampanye menjadi lebih efektif dan efisien.
Dengan media sosial tim kampanye dapat menawarkan berbagai format konten, seperti video, gambar, cerita, dan live streaming sehingga menjadi lebih kreatif dalam menyampaikan pesan, dan materi kampanye lebih menarik dan berkesan bagi pemilih.
Dengan demikian, dapat kita berpendapat bahwa kampanye Pilkada di media sosial bisa menjadi alat yang sangat efektif dalam memenangkan hati dan pikiran pemilih melalui konten yang disampaikan dengan merujuk pada visi misi sang kandidat.(**)