Oleh : Muslimin.M
Beberapa waktu yang lalu, saya membaca tautan berita di salah satu media online yang di posting seseorang mengenai Operasi Tangkap Tangan (OTT) salah seorang Bupati Kepulauan Meranti, sang Bupati tidak sendiri, bersamanya KPK juga menangkap setidaknya 25 orang yang didominasi oleh jajaran pejabat di daerahnya. Sehari sesudah ditangkap, KPK resmi menetapkan sebagai tersangka sang bupati beserta para pejabat yang terjaring OTT tersebut. Peristiwa ini terjadi tahun lalu, meskipun begitu tetap masih menarik di bincang karena kasus-kasus seperti itu sudah terjadi kesekian kalinya di banyak daerah dan akan selalu berpotensi terjadi di daerah lain. Dalam tulisan kali ini tentu saya tidak membahas tentang OTT sang bupati tersebut, tetapi saya akan memotret dari aspek lain yang kaitannya dengan jual beli jabatan di kalangan birokrasi.
OTT kepala daerah oleh KPK bukan yang pertama kali terjadi. Pola dan bangun kasusnya hampir serupa. Suap dan penyalahgunaan kekuasaan untuk mendapatkan keuntungan pribadi seperti jual beli jabatan, penunjukan entitas usaha tertentu sebagai pemenang tender proyek atau melakukan pungli. Soal jabatan dan sengkarut yang melatarinya terutama terkait jual beli jabatan dan keterlibatan para pejabat dalam kasus korupsi kepala daerah. Keinginan itu seperti mendapatkan momentum ketika mengetahui dalam OTT ada puluhan pejabat yang ikut ditangkap KPK.
Meritokrasi yang seharusnya berjalan secara normatif, ternyata juga jauh dari ekspektasi publik, padahal meritokrasi sejatinya adalah keabsahan dalam dunia birokrasi kita. Sebagai diksi meritokrasi bermakna terang dan jelas. Sebagai praktik, meritokrasi mengisyaratkan hal-hal lain yang serba relatif. Tergantung pada ruang kuasa dan jejaring yang melingkupinya. Pada titik ini, menduduki atau mengemban suatu jabatan tidak berarti telah memenuhi indikator-indikator ideal dari berjalannya pengisian stratifikasi jabatan dalam konteks meritokrasi secara legal-formal.
Kembali ke persoalan, apa yang terjadi sebenarnya ? Apakah para kepala daerah yang ter-OTT itu tidak ingin dibantu oleh para individu ASN yang cakap, profesional dan pantas menduduki jabatan sesuai mekanisme legal formal yang terjadi ? Apakah para kepala daerah yang ter-OTT tersebut telah sedemikian kehilangan kreativitas untuk mengumpulkan pundi-pundi atas nama balik modal saat proses elektoral ?. Atau yang terjadi sebenarnya adalah mutualisme ilegal antar dua pihak yang menumpang pada pemenuhan tahapan prosedural belaka?. Pertanyaan-pertanyaan ini menghiasi ruang-ruang publik yang begitu menyita perhatian masyarakat banyak. Dalam konteks itu saya akan mencoba berbagi pemikiran untuk kita coba bersama mengeliminasi praktik-praktik yang sama sekali bertentangan dengan nilai-nilai profesionalisme sebagai aparatur negara.
Mencegah Jual Beli Jabatan
Berangkat dari kerangka pemikiran yang ideal, Grand Design Reformasi Birokrasi Indonesia 2010-2025 yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 dan turunannya berupa Road Map Reformasi Birokrasi yang disusun oleh Kemenpan-RB dan berlaku selama lima tahun yang bertujuan mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik atau lebih keren disebut good governance ternyata masih jauh dari kata berhasil. OTT kepala daerah beserta para pejabatnya termasuk dalam kasus jual-beli jabatan adalah bukti valid, bahwa ada kesenjangan yang nyata antara konsep-konsep ideal dalam reformasi birokrasi dan praktik di lapangan dan hal inilah yang sepertinya begitu sulit dihilangkan ( tidak semua ).
Padahal, sejatinya praktek curang itu bisa dihindari sebab sudah ada KASN yang mengawasinya. jika kita telusuri misi KASN, pertama adalah untuk mengawasi pelaksanaan nilai dasar, kode etik, kode perilaku, dan netralitas serta penerapan sistem merit dalam kebijakan dan manajemen ASN. Kedua, KASN Melaksanakan tata kelola KASN yang mandiri, profesional, dan akuntabel.
KASN juga memiliki tugas mulia yaitu Menjaga netralitas Pegawai ASN; Melakukan pengawasan atas pembinaan profesi ASN; serta melaporkan pengawasan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan Manajemen ASN kepada Presiden. Artinya sebetulnya KASN ini memiliki ruang yang cukup baik dalam mengelola dan mengawasi rekrutmen jabatan.
Menurut Public Service Index yang disusun The Global Economy tahun 2022, kualitas layanan publik di Indonesia pada peringkat 79 dari 177 negara dengan indeks 6,20. Kalah dengan negara seperti Malaysia dan Vietnam dengan indeks 4,00 serta Thailand dengan indeks 3,70. Untuk diketahui semakin kecil angka indeks maka semakin baik kualitas layanan publik yang diberikan. Angka-angka diatas mengkonfirmasi kepada kita bahwa betapa tata kelola pelayanan publik masih sangat perlu perbaikan.
Kembali pada konteks jabatan yang diperjual belikan bahwa korban sesungguhnya adalah masyarakat di daerah yang bersangkutan, sebab efek dari pejabat yang diangkat dari cara-cara curang boleh jadi tidak memiliki kompetensi dan integritas yang memadai. Secara logika saja cara masuknya saja sudah salah, dan itu di yakini akan melakukan hal-hal yang salah pula dalam bekerja, termasuk dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat akan bermasalah pula atau jauh dari kualitas.
Belum lagi akan berdampak pula pada korban dalam skala yang lebih kecil yaitu individu ASN yang memiliki kapasitas dan kualitas namun tidak mau ikut-ikutan terjebak dalam interest game dalam bentuk apapun. Ada semacam pola yang di wajarkan atau di belokkan bahwa seorang ASN akan disebut sok idealis, aneh atau naif ketika tidak mau terlibat dalam praktik-praktik ilegal yang di wajarkan tersebut.
Lalu, akan timbul pertanyaan, untuk apa ada kompetensi manajerial, kompetensi teknis dan kompetensi sosio-kultural yang harus dimiliki seorang ASN jika kemudian untuk menduduki jabatan segenap kompetensi tersebut harus tunduk pada pemenuhan konsesi tertentu. Secara tak langsung siapapun yang secara sadar terlibat pada proses pencarian dan kesepakatan konsesi dimaksud justru inkompetensi alias tidak kompeten dan berniat merusak sistem yang sudah terbangun.
Dan yang paling lucu, peringkat pertama dalam open bidding tidak otomatis akan menjadi sosok yang terpilih untuk menjadi pengisi jabatan yang dilamarnya. Biasanya peringkat 3 besar saja yang diumumkan. Ada frasa pamungkas, “pilihan” diserahkan kepada user. Dalam hal ini tentu kepala daerah yang bersangkutan yang menentukan segalanya. Fenomena ini sama saja menihilkan makna sesungguhnya dari seleksi itu sendiri. Seleksi adalah untuk memilih yang terbaik. Logika kita menjadi bolak-balik dan mengundang banyak pertanyaan misteri. Bahkan ada yang berkilah bahwa peringkat pertama bukan jaminan bisa bekerja dan bekerja sama dan belum tentu kualifaid, dan sederet argumentasi pembenaran.
Secara umum kita sudah memahami bahwa praktek Jual beli jabatan adalah praktik ilegal dan tidak etis di mana seseorang memperoleh atau mempertahankan posisi atau jabatan tertentu dalam organisasi, terutama di pemerintahan atau perusahaan, dengan memberikan suap atau pembayaran kepada pihak yang memiliki wewenang untuk melakukan penunjukan atau promosi. Praktik ini melibatkan transaksi finansial atau bentuk imbalan lainnya sebagai ganti dari penempatan dalam posisi yang diinginkan. Bahwa praktik jual beli jabatan merusak integritas sistem rekrutmen dan promosi, mengurangi efisiensi dan efektivitas organisasi, serta menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpercayaan di antara pegawai dan masyarakat.
Untuk mencegah terjadinya praktik jual beli jabatan, beberapa solusi yang dapat diterapkan meliputi:
Pertama :Transparansi dalam Rekrutmen ; Menerapkan proses seleksi yang transparan dan akuntabel dengan melibatkan pihak independen dalam penilaian. Publikasi informasi tentang proses rekrutmen, kriteria seleksi, dan hasil akhir secara terbuka.
Kedua : Penguatan Pengawasan dan Penegakan Hukum ; Meningkatkan pengawasan internal dan eksternal terhadap proses rekrutmen dan promosi jabatan. Memberlakukan sanksi tegas terhadap pihak yang terbukti terlibat dalam jual beli jabatan.
Ketiga : Peningkatan Integritas dan Etika ; Mengadakan pelatihan etika dan integritas bagi pegawai negeri dan pejabat publik. Membudayakan nilai-nilai integritas dan anti-korupsi di lingkungan kerja.
Ke empat : Reformasi Sistem Rekrutmen ; Mengembangkan sistem rekrutmen berbasis kompetensi yang objektif dan terukur. Mengurangi intervensi politik dalam proses rekrutmen dan promosi jabatan.
Dari perspektif di atas menjadi terang kepada kita bahwa praktek curang ini sejatinya bisa di cegah dan dihindari, tetapi ini lagi-lagi tergantung keinginan dan tekad bagi yang memiliki otoritas tentang itu sebab semuanya bisa dicegah dengan mengembalikan kepada aturan dan tatanan yang sudah di tentukan dalam tata kelola pemerintahan yang baik dan benar.
Kita menyadari bahwa ini memang bukan tugas ringan, dinamika dan kepentingan dari berbagai pihak begitu liar dan luar biasa berat, menjadi tantangan dan ujian yang cukup berat bagi kepala daerah. Mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya integritas dalam pemerintahan tidaklah cukup, tetapi dengan usaha dan tekad yang kuat, kita meyakini semua akan mudah dan pada akhirnya masyarakat akan bergembira dengan senyuman manis merasakan hadirnya kepala daerah dan pejabatnya yang memberikan pelayanan terbaik kepada mereka.(**)