Oleh : Muslimin.M
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyoroti dugaan praktik jual beli jabatan yang dilakukan oleh oknum calo di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Nusa Tenggara Barat (NTB). Modus yang digunakan adalah membawa nama Gubernur Lalu Muhamad Iqbal. Kepala Satuan Tugas (Kasatgas) Koordinasi dan Supervisi Wilayah V KPK, DianPatria,mengungkapkan KPK telah mendengar adanya sejumlah oknum yang mengaku dapat memuluskan jabatan di Pemprov NTB, termasuk dalam penempatan kepala sekolah.
“Sudah (dapat informasi), tapi bagusnya, Pak Iqbal langsung bersikap setelah mendengar isu tersebut. Kasus yang sama juga di bidang pendidikan, jangan sampai pendidikan di NTB bermasalah juga,” kata Dian seusai Monitoring dan Evaluasi (Monev) Tata Kelola Tambak Udang di Kantor Gubernur NTB, Mataram,(detikBali,6/3/25)
Berita diatas merupakan salah satu informasi dari sekian banyak berita tentang kasus jual beli jabatan, dan kasus seperti ini berpotensi marak lagi menjelang pelantikan pejabat di berbagai daerah apalagi dengan hadirnya kepala daerah baru. Kita tidak pungkiri bahwa kasus jual beli jabatan menjadi persoalan tersendiri bagi pemerintah dalam mewujudkan reformasi birokrasi. Bukan tidak mungkin kasus jual beli jabatan ini akan menyeret pimpinan di daerah seperti yang terjadi beberapa tahun terakhir ini dimana ada beberapa kepala daerah berhadapan dengan hukum karena terlibat dalam kasus jual beli jabatan tersebut.
Pertanyaan nya, mengapa kasus jual beli jabatan ini masih terjadi ?, bukankah mekanisme pengangkatan dalam jabatan sudah diatur dalam undang-undang ?
Kita harus jujur bahwa praktek jual beli jabatan merupakan bentuk korupsi dan modus klasik pimpinan di daerah. Polanya sebenarnya cukup sederhana, anak buah yang ingin menempati jabatan tertentu, maka ia harus membayar sejumlah mahar yang ditetapkan oknum pejabat. Dan celakanya banyak oknum ASN yang semangat mengambil jalan pintas ini, meskipun kompetensinya dibawah standar, bahkan tidak memiliki pengalaman yang cukup pada bidang pekerjaan itu.
Jika kita telusuri penegakan hukum dalam masalah ini, ada beberapa operasi penindakan yang dilakukan oleh KPK terhadap oknum kepala daerah yang tertangkap tangan, dan ironisnya kasus ini seolah-olah tidak membuat kapok bagi kepala daerah lainnya. Nyali untuk melakukan nya tetap saja tumbuh subur dengan memanfaatkan jabatannya. Padahal, KPK sudah mengingatkan kepada kepala daerah agar menjauhi potensi benturan kepentingan dan penyalahgunaan wewenang, utamanya dalam proses lelang jabatan, rotasi, mutasi, dan promosi para aparatur sipil negara.
Dugaan masyarakat tentang praktek jual beli ini adalah terkait mahalnya biaya pilkada yang harus dikeluarkan ketika seseorang ingin menjadi kepala daerah, sehingga oknum kepala daerah tersebut akan berupaya mengembalikan modalnya, terutama kepada para sponsor, hal ini relevan dengan ungkapan banyak orang ‘ didalam dunia politik tidak ada makan siang gratis semua harus berbayar’.
Sebetulnya, praktek jual beli jabatan bukan penyakit baru di birokrasi, terutama sejak otonomi daerah diterapkan, kepala daerah memiliki kewenangan penuh terhadap pengangkatan dalam jabatan, mutasi atau promosi jabatan. Dibanyak kasus pengangkatan dan mutasi pejabat tergantung pada faktor like or dislike pimpinan, berdasarkan hubungan kekerabatan, pertemanan atau bisa jadi ukuran besaran uang yang dapat diberikan.
Kompetensi dan integritas ?
Sebagaimana bencana alam, bencana integritas pun menjadikan manusia sebagai korban. Pengangkatan dalam Jabatan atau promosi, seorang ASN seyogyanya bersandar kepada integritas, profesionalitas, dan prestasi ASN itu sendiri, bukan dengan tolak ukur ukur materi, kekerabatan, pertemanan, keluarga atau faktor primordial yang tidak ada sangkut pautnya dengan kompetensi, integritas dan kebutuhan organisasi.
Kita mesti jujur bahwa praktek jual beli jabatan sangat merusak profesionalisme terutama pada aspek integritas dan kompetensi. Praktik ini mengakibatkan posisi strategis diisi oleh orang-orang yang tidak kompeten, tidak memiliki kualifikasi yang sesuai dengan bidang kerja, melainkan karena mampu membayar atau karena primordial. Kondisi ini tentu saja tidak hanya merusak moral dan semangat kerja ASN yang jujur dan kompeten, tetapi juga berdampak negatif pada kinerja dan pelayanan instansi atau organisasi tersebut, pun juga dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap institusi dan proses rekrutmen yang ada.
Padahal, sejatinya ASN itu harus profesional, artinya para ASN itu menjalankan tugasnya dengan penuh dedikasi, integritas dan kompeten untuk melayani masyarakat dan negara secara optimal, mereka tidak hanya memiliki keahlian teknis yang diperlukan dalam bidangnya, tetapi juga mengedepankan nilai-nilai etika, transparansi dan akuntabilitas dalam setiap aspek pekerjaannya. Dengan demikian ASN yang profesional akan memberikan pelayanan pada publik lebih efektif, efesien dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Kita mesti menyadari bahwa praktek jual beli jabatan merupakan praktik korupsi, dimana seorang ASN yang terlibat dalam praktek curang ini dengan membayar atau memberikan imbalan uang untuk mendapatkan posisi atau jabatan tertentu. Praktik ini memiliki dampak yang signifikan pada profesionalisme ASN sebab dapat merusak sistem dan aturan baku pola dan mekanisme assessment yang sudah ada, termasuk merusak profesionalisme di berbagai sektor, pemerintahan, pendidikan, dan bisnis.
Problemnya saat ini adalah ketika posisi strategis akan diisi oleh personil ASN yang tidak memiliki kompetensi dan kualifikasi yang memadai, dan ASN yang kompeten dan berintegritas merasa tidak dihargai, posisi-posisi penting dan strategis diberikan berdasarkan kemampuan finansial, bukan berdasarkan prestasi atau kinerja.
Dan realnya, bahwa jika seseorang membeli jabatan, maka dia akan cenderung mengembalikan investasinya melalui praktik korupsi atau penyalahgunaan wewenang didalam jabatan nya. Praktik ini akan menciptakan ketidakadilan karena kesempatan untuk mendapatkan posisi penting tidak lagi didasarkan pada kinerja semata, tetapi ada faktor lain diluar nalar sehat kita.
Dalam konteks itu, kita dapat memberi penilaian bahwa masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadap institusi yang terlibat dalam praktik jual beli jabatan, padahal kepercayaan adalah elemen kunci dalam hubungan antara institusi dan masyarakat yang dilayani. ASN yang tidak kompeten dalam posisi strategis akan cenderung membuat keputusan yang tidak tepat yang dapat berdampak negatif pada operasional dan reputasi pada institusi yang dipimpinnya.
Lalu, bagaimana mengatasi masalah praktik jual beli jabatan ini ?, bukan perkara mudah dan sederhana, ini bukan hanya masalah regulasi semata, ini berkaitan masalah politik praktis dan pragmatisme. Harus ada upaya serius dari semua pihak, terutama penerapan aturan yang ketat, pengawasan yang efektif, serta budaya kerja yang menekankan integritas dan profesionalisme, bisa menjadi kunci solusi, tetapi dengan catatan semua harus taat dan konsisten pada aturan dan mekanisme yang sudah ada. Dan bukan hanya itu, masyarakat juga harus sadar dan mengambil peran dalam mengawasi praktek curang ini sebab dampaknya akan ke masyarakat juga.
Publik menyadari bahwa praktek jual beli jabatan ditengah mahalnya biaya politik terutama dalam pilkada adalah masalah rumit dan ribet, dan bukan perkara mudah untuk menghentikannya, butuh keseriusan semua pihak, terutama pada pejabat atau penguasa, kita ingin kepala daerah yang dipilih oleh masyarakat adalah kepala daerah yang konsisten dengan janji politiknya, menunaikan amanah rakyat dengan sungguh-sungguh, transparan dalam mengelola anggaran pembangunan, termasuk profesional dalam mengangkat para pembantunya dengan memperhatikan integritas dan kompetensinya, kita ingin tidak ada praktek jual beli jabatan sebab hal itu bukan hanya melanggar konstitusi, tetapi juga mengkhianati amanah yang diberikan oleh rakyat.(**)