Oleh : Muslimin.M
“Demokrasi kita saat ini berada di ambang krisis”, begitulah potongan ungkapan seorang kawan kepada saya beberapa waktu yang lalu. Setelah lebih dari dua dekade berjalan sejak reformasi yang seharusnya membawa angin segar bagi kebebasan dan keadilan, sistem demokrasi kita seperti sedang berada di ujung tanduk. Gelombang ketidakpuasan masyarakat, ketegangan politik serta merosotnya kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga negara menjadi pertanda bahwa cita-cita demokrasi yang diperjuangkan dengan susah payah masih jauh dari kenyataan.
Dari luar, Indonesia mungkin terlihat seperti negara dengan sistem demokrasi yang stabil, dengan pemilu yang rutin dilaksanakan dan kebebasan berbicara yang dijamin konstitusi. Namun, jika melihat lebih dalam, kita dapat melihat bahwa demokrasi kita semakin rapuh. Polarisasi politik yang semakin tajam membelah masyarakat menjadi dua kubu yang saling bermusuhan dengan setiap perbedaan pendapat disikapi dengan kebencian, bukan diskusi rasional. Kampanye politik sering kali dipenuhi dengan fitnah dan hoaks, bukan gagasan dan program yang membangun.
Korupsi yang seharusnya menjadi musuh utama, justru masih mengakar kuat di berbagai lapisan pemerintahan. Meskipun ada upaya pemberantasan korupsi melalui KPK dan aparat penegak hukum lainnya, namun kekuatan politik dan ekonomi yang melindungi pelaku korupsi acap kali menghalangi upaya tersebut. Hukum tampak seperti pedang yang tajam di satu sisi, namun tumpul di sisi lain, membiarkan para pemimpin yang korup dan berkuasa terus mengeksploitasi negara demi kepentingan pribadi mereka.
Di tengah itu, suara rakyat seakan semakin terpinggirkan. Meski pemilu diselenggarakan secara rutin, kualitas demokrasi kita masih bisa dipertanyakan. Partai politik lebih sering terjebak dalam politik praktis dan transaksional, mengutamakan keuntungan jangka pendek ketimbang program pembangunan yang berkelanjutan. Kampanye politik lebih sering berfokus pada perang citra dan popularitas, bukan pada visi yang jelas untuk masa depan negara. Warga negara yang seharusnya menjadi aktor utama dalam demokrasi kini sering merasa apatis atau tidak terhubung dengan sistem yang ada.
Selain itu, kebebasan pers yang menjadi pilar demokrasi juga semakin terancam. Meski Indonesia memiliki banyak media independen, jurnalis dan aktivis tetap harus berjuang keras untuk bisa menyuarakan kebenaran tanpa takut akan intimidasi atau ancaman. Di beberapa wilayah, kebebasan berekspresi masih dibatasi, dan kritik terhadap pemerintah dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas.
Demokrasi kita yang dulu dipandang sebagai harapan bagi Indonesia, kini terancam terperosok ke dalam kehampaan. Tanpa upaya bersama untuk merevitalisasi prinsip-prinsip dasar demokrasi termasuk keadilan, kebebasan, transparansi dan partisipasi aktif kita bisa kehilangan fondasi yang sudah susah payah dibangun selama ini.
Maka, saat ini lebih dari sebelumnya, pertanyaannya bukan lagi apakah demokrasi Indonesia akan bertahan, tetapi apakah kita, sebagai bangsa, cukup sadar untuk memperbaikinya. Apakah kita masih bisa menjaga demokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, atau apakah kita akan membiarkannya runtuh, digantikan oleh praktik-praktik yang lebih otoriter dan tidak adil ?.
*Demokrasi dibajak*
Demokrasi kita sedang berada di ujung tanduk. Ke depan, pilihan ada di tangan kita untuk memperjuangkan kembali demokrasi yang sehat, atau membiarkannya mengarah ke jurang ketidakpastian.
Pembajakan demokrasi terjadi ketika ada pergeseran dari berbagai pemerintahan yang seharusnya berpihak pada rakyat menjadi pemerintahan yang lebih berpihak pada kepentingan kelompok tertentu. Pada kondisi ini akan menciptakan ketidakadilan, ketimpangan dan hilangnya transparansi dalam proses pemerintahan.
Penting untuk kita fahami bahwa pembajakan demokrasi bukanlah hal yang terjadi secara tiba-tiba, melainkan sebuah proses yang berlangsung perlahan-lahan yang dimulai dengan langkah-langkah kecil yang tampaknya tidak berbahaya, namun semakin lama semakin merusak fondasi sistem demokrasi itu sendiri.
Untuk itu dalam menghadapi pembajakan demokrasi, kita perlu terus meningkatkan kewaspadaan, mendukung kebebasan berbicara dan memastikan akuntabilitas serta transparansi di semua level pemerintahan. Demokrasi yang sejati hanya akan terjaga jika seluruh komponen negara dan masyarakat bekerja bersama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan mempertahankan prinsip-prinsip dasar yang menjadikannya kuat dan inklusif.
Melihat itu semua, rakyat seolah sangat berpengaruh dalam sistem politik hari ini. Rakyat seperti raja yang merupakan wakil Tuhan di dunia. Sang raja harus dirayu dan diberi upeti oleh para kontestan agar dapat memenangkan pertandingan. Jargon masyhur demokrasi, Vox populi, Vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan) seakan benar tampaknya.
Akan tetapi, melihat konteks Indonesia hari ini, rakyat tidak seperti raja yang mempunyai kekuasaan besar. Kekuasaan rakyat semu, mereka seolah-olah mempunyai andil besar dalam menentukan arah negara, padahal dalam realitasnya tidak. Rakyat hanya dimanipulasi oleh segelintir orang yang mempunyai banyak sumber daya ekonomi dan politik, atau biasa disebut sebagai elite.
Dalam demokrasi hari ini, rakyat hanya dibutuhkan setiap lima tahun sekali untuk legitimasi kekuasaan para elite. Proses pemberian legitimasi itu pun penuh intrik dan tipu daya yang hanya menguntungkan elite.
Sayang, Orkestrasi ugal-ugalan elit mendapat badai setelah munculnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 60 tahun 2024. Lewat putusan itu, ambang batas syarat pencalonan kepala daerah turun menjadi 6,5 sampai 10 persen sesuai jumlah penduduk dalam daftar pemilih tetap. Maka, peluang calon pemimpin alternatif semakin besar.
Demokrasi hari ini seperti demokrasi omon-omon semata. Cuma karena adanya Pemilu, gembar-gembor Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga menggema. Padahal, kontestasi lima tahunan itu penuh masalah.
Dalam kondisi yang kurang baik ini, demokrasi tampaknya lebih menjadi retorika daripada kenyataan. Apa yang seharusnya menjadi wadah bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi, bersuara dan berhak memperoleh keadilan, kini semakin menjadi arena persaingan politik yang tak sehat, penuh manipulasi dan intervensi dari pihak-pihak yang berkuasa.
Ketika hak-hak dasar rakyat terabaikan, ketika suara-suara kritis dibungkam dan ketika pemilu tidak lagi mencerminkan suara rakyat yang sejati, maka kita harus bertanya apakah demokrasi kita masih layak disebut demokrasi ?.
Demokrasi yang lemah bisa diperbaiki jika ada komitmen bersama untuk memperkuat prinsip-prinsip dasar yang mendasarinya, kebebasan, keadilan, partisipasi dan akuntabilitas, dan tentunya peran aktif dari masyarakat sipil, media yang bebas dan independen, serta lembaga-lembaga yang bersih dari korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Demokrasi yang sehat bukanlah sesuatu yang otomatis terwujud, tetapi sesuatu yang harus diperjuangkan dengan kerja keras dan kesadaran kolektif. Demokrasi yang sehat adalah ketika rakyat bebas menentukan pilihannya secara jujur dan adil yang sejatinya memang miliknya.(**)