Oleh : Muslimin.M
Beberapa hari yang lalu, saya diundang menjadi salah satu narasumber pada kegiatan sosialisasi penguatan demokrasi di era reformasi yang diadakan oleh DPRD provinsi dan dihadiri oleh kader dan beberapa anggota dewan kabupaten dari fraksi partai Nasdem. Dari acara itu mengerucut satu kesepahaman bahwa sejatinya prinsip demokrasi itu memberi ruang keseteraan, kebersamaan dan persaudaraan yang sama bagi semua anak bangsa untuk berpartisipasi dalam politik baik dipilih maupun memilih, tetapi mengapa dalam prakteknya justru bertentangan dengan prinsip demokrasi itu sendiri ?.Tulisan ini tentu tidak membahas kegiatan itu, tetapi mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang praktek demokrasi kaitan dengan oligarki.
Dalam perspektif banyak kalangan menilai bahwa demokrasi ditangan oligarki merupakan situasi dimana sistem pemerintahan yang seharusnya mewakili suara rakyat justru terdistorsi oleh kekuasaan segelintir elit. Meskipun secara formal negara mengklaim menganut demokrasi dengan pemilihan umum yang rutin dilakukan dan kebebasan berpendapat yang dijamin oleh konstitusi. Keputusan-keputusan penting sering dipengaruhi oleh kelompok kecil yang memiliki kekayaan dan pengaruh besar, seperti konglomerat, politisi, dan individu-individu yang berkuasa.
Dibawah pengaruh oligarki, pemilu yang seharusnya menjadi sarana untuk memilih pemimpin yang mewakili kepentingan rakyat, malah bisa terjebak dalam permainan kekuasaan yang dipengaruhi oleh uang dan lobi. Elit-elit ini memanipulasi sistem untuk memperpanjang kekuasaannya, mengendalikan media, ekonomi, bahkan kebijakan politik agar tetap berpihak padanya. Walaupun rakyat memiliki hak untuk memilih, bahkan sering tidak memiliki pilihan yang benar-benar bebas dari pengaruh oligarki yang mendalam.
Akibatnya, meskipun demokrasi tetap ada dalam bentuk yang tampak, kekuasaan yang sesungguhnya tidak lagi berada di tangan rakyat. Sebaliknya, kebijakan yang dihasilkan lebih cenderung memperkuat posisi elit ini dan mengabaikan kebutuhan serta aspirasi mayoritas rakyat. Ketimpangan sosial dan ekonomi semakin melebar, karena kebijakan yang diambil lebih menguntungkan segelintir orang dan kelompok yang menguasai sumber daya. Demokrasi pun kehilangan makna sejatinya, yaitu pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Oligarki menggunakan pengaruhnya untuk mendikte kebijakan-kebijakan penting, baik melalui lobi, kontrol atas media, maupun dominasi terhadap institusi-institusi politik. Mereka mampu menentukan siapa yang terpilih, apa kebijakan yang disetujui, dan bagaimana sumber daya dialokasikan, sementara rakyat biasa akan terpinggirkan dan hanya memiliki pilihan terbatas dalam pemilu yang ada.
Dalam keadaan seperti ini, meskipun proses demokrasi seperti pemilihan umum tetap berlangsung, hasil akhirnya akan lebih menguntungkan bagi elit yang mengendalikan sistem daripada masyarakat luas. Sistem demokrasi yang idealnya berfungsi untuk memperjuangkan kepentingan rakyat banyak justru disalahgunakan untuk mempertahankan kekuasaan dan kekayaan segelintir orang. Ketimpangan sosial dan ekonomi pun semakin besar, sementara aspirasi dan kebutuhan rakyat cenderung diabaikan.
Demokrasi yang dikendalikan oligarki pada akhirnya menciptakan ketidaksetaraan yang lebih dalam, kelompok elit yang memiliki kontrol atas kekuasaan terus memperbesar pengaruhnya, sementara rakyat biasa merasa semakin jauh dari proses pengambilan keputusan yang berpengaruh pada hidup mereka. Dalam kondisi ini, meskipun demokrasi tetap ada dalam bentuknya, esensinya yang berfokus pada pemerintahan yang adil dan berpihak pada rakyat banyak menjadi hilang.
*Harusnya bagaimana*
Strategi untuk mengendalikan oligarki dalam demokrasi, tentu bukan pekerjaan mudah, perlu kesamaan visi dan keinginan yang kuat didalam memperbaiki tatanan berbangsa dan bernegara sebagai upaya nyata didalam mengurangi kekuatan dan pengaruh segelintir elit dan kelompok yang menguasai ekonomi, politik dan media.
Reformasi Sistem Pemilu dan Partai Politik menjadi sebuah sistem pemilu yang lebih adil dan transparan, seperti proporsional terbuka atau sistem pemilu yang mendorong representasi yang lebih beragam dapat membantu mencegah dominasi kelompok oligarki, termasuk sistem pembiayaan partai politik harus diawasi ketat agar tidak dikuasai oleh segelintir individu atau perusahaan besar.
Kemudian penguatan regulasi anti korupsi dan pengawasan, meningkatkan transparansi dalam pemerintahan dan bisnis, serta memperkuat lembaga-lembaga anti korupsi yang independen, menjadi upaya lain yang dapat mengurangi peluang oligarki untuk memanfaatkan kedekatan mereka dengan kekuasaan demi kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Pembatasan Kepemilikan media untuk mengurangi dominasi informasi oleh pihak-pihak tertentu untuk membatasi konsentrasi kepemilikan media agar berita dan informasi bisa lebih beragam, menciptakan ruang publik yang lebih terbuka dan seimbang, peningkatan akses terhadap pendidikan dan ekonomi bagi banyak orang untuk memecah sirkuit kekuasaan oligarki yang sering diwariskan dan dipertahankan lewat akses terbatas terhadap sumber daya, termasuk mengatur monopoli dan praktik bisnis tidak sehat dengan
menerapkan undang-undang yang mengatur monopoli dan praktik bisnis anti kompetitif agar dominasi kelompok oligarki dalam sektor-sektor ekonomi penting dapat dikurangi.
Oligarki dapat merusak demokrasi dengan cara menggerogoti prinsip dasar keadilan dan pemerintahan yang mewakili suara rakyat. Dalam sistem demokrasi yang sejati, kekuasaan seharusnya berada di tangan rakyat dan keputusan politik harus mencerminkan kehendak mayoritas. Namun, ketika segelintir elit atau kelompok kaya dan berkuasa mengendalikan sumber daya, media, dan proses pembuatan kebijakan, maka kelompok ini dapat memanipulasi sistem untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya, bukan untuk kebaikan bersama.
Dalam situasi seperti itu, meskipun ada pemilihan umum dan struktur pemerintahan yang tampaknya seperti demokratis, tetapi keputusan-keputusan politik sering menguntungkan elit daripada rakyat. Kebijakan-kebijakan yang dihasilkan cenderung memperburuk ketimpangan sosial, memperkaya mereka yang sudah kaya dan mengabaikan kebutuhan mayoritas yang lebih miskin atau terpinggirkan. Hal inilah yang menciptakan jurang semakin melebar antara kelompok elit dan rakyat pada umumnya, serta merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem demokrasi itu sendiri.
Oligarki dapat mengekang kebebasan berpendapat dan menghambat perkembangan politik yang sehat. Ketika media dan informasi dikuasai oleh kelompok ini, suara-suara alternatif yang kritis terhadap kebijakan pemerintahan yang ada menjadi semakin sulit terdengar. Pada akhirnya, demokrasi tidak lagi menjadi sarana untuk mewujudkan keinginan rakyat, melainkan menjadi alat untuk memperkuat kekuasaan segelintir orang yang sudah berada di posisi dominan. Dengan begitu, oligarki bukan hanya merusak proses demokrasi, tetapi juga mengancam prinsip dasar keadilan dan pemerintahan yang benar-benar representatif.
Terlalu retorika
Dari luar, Indonesia mungkin terlihat seperti negara dengan sistem demokrasi yang stabil, dengan pemilu yang rutin dilaksanakan dan kebebasan berbicara yang dijamin konstitusi. Namun, jika melihat lebih dalam, kita dapat melihat bahwa demokrasi kita semakin rapuh. Polarisasi politik yang semakin tajam membelah masyarakat menjadi dua kubu yang saling bermusuhan dengan setiap perbedaan pendapat disikapi dengan kebencian, bukan diskusi rasional. Kampanye politik sering kali dipenuhi dengan fitnah dan hoaks, bukan gagasan dan program yang membangun.
Seperti korupsi yang seharusnya menjadi musuh utama, justru masih mengakar kuat di berbagai lapisan pemerintahan. Meskipun ada upaya pemberantasan melalui KPK dan aparat penegak hukum lainnya, namun kekuatan politik dan ekonomi yang melindungi pelaku korupsi acap kali menghalangi upaya tersebut. Hukum tampak seperti pedang yang tajam di satu sisi, namun tumpul di sisi lain, membiarkan para pemimpin yang korup dan berkuasa terus mengeksploitasi negara demi kepentingan pribadi mereka.
Di tengah itu, suara rakyat seakan semakin terpinggirkan. Meski pemilu diselenggarakan secara rutin, kualitas demokrasi kita masih bisa dipertanyakan. Partai politik lebih sering terjebak dalam politik praktis dan transaksional, mengutamakan keuntungan jangka pendek ketimbang program pembangunan yang berkelanjutan. Kampanye politik lebih sering berfokus pada perang citra dan popularitas, bukan pada visi yang jelas untuk masa depan negara. Warga negara yang seharusnya menjadi aktor utama dalam demokrasi kini sering merasa apatis atau tidak terhubung dengan sistem yang ada.
Selain itu, kebebasan pers yang menjadi pilar demokrasi juga semakin terancam. Meski Indonesia memiliki banyak media independen, jurnalis dan aktivis tetap harus berjuang keras untuk bisa menyuarakan kebenaran tanpa takut akan intimidasi atau ancaman. Di beberapa wilayah, kebebasan berekspresi masih dibatasi, dan kritik terhadap pemerintah dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas.
Demokrasi kita yang dulu dipandang sebagai harapan bagi Indonesia, kini terancam terperosok ke dalam kehampaan. Tanpa upaya bersama untuk merevitalisasi prinsip-prinsip dasar demokrasi termasuk keadilan, kebebasan, transparansi dan partisipasi aktif kita bisa kehilangan fondasi yang sudah susah payah dibangun selama ini.
Maka, saat ini lebih dari sebelumnya, pertanyaannya bukan lagi apakah demokrasi Indonesia akan bertahan, tetapi apakah kita, sebagai bangsa, cukup sadar untuk memperbaikinya. Apakah kita masih bisa menjaga demokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, atau apakah kita akan membiarkannya runtuh, digantikan oleh praktik-praktik yang lebih otoriter dan tidak adil ?.
Demokrasi kita sedang berada di ujung tanduk. Ke depan, pilihan ada di tangan kita untuk memperjuangkan kembali demokrasi yang sehat, atau membiarkannya mengarah ke jurang ketidakpastian.
Melihat itu semua, rakyat seolah sangat berpengaruh dalam sistem politik hari ini. Rakyat seperti raja yang merupakan wakil Tuhan di dunia. Sang raja harus dirayu dan diberi upeti oleh para kontestan agar dapat memenangkan pertandingan. Jargon masyhur demokrasi, Vox populi, Vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan) seakan benar tampaknya.
Akan tetapi, melihat konteks Indonesia hari ini, rakyat tidak seperti raja yang mempunyai kekuasaan besar. Kekuasaan rakyat semu, mereka seolah-olah mempunyai andil besar dalam menentukan arah negara, padahal dalam realitasnya tidak. Rakyat hanya dimanipulasi oleh segelintir orang yang mempunyai banyak sumber daya ekonomi dan politik, atau biasa disebut sebagai elite.
Demokrasi hari ini, rakyat hanya dibutuhkan setiap lima tahun sekali untuk legitimasi kekuasaan para elite. Proses pemberian legitimasi itu pun penuh intrik dan tipu daya yang hanya menguntungkan elite.
Dalam kondisi yang kurang baik ini, demokrasi tampaknya lebih menjadi retorika daripada kenyataan. Apa yang seharusnya menjadi wadah bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi, bersuara dan berhak memperoleh keadilan, kini semakin menjadi arena persaingan politik yang tak sehat, penuh manipulasi dan intervensi dari pihak-pihak yang berkuasa.
Ketika hak-hak dasar rakyat terabaikan, ketika suara-suara kritis dibungkam dan ketika pemilu tidak lagi mencerminkan suara rakyat yang sejati, maka kita harus bertanya apakah demokrasi kita masih layak disebut demokrasi ?.
Demokrasi yang lemah bisa diperbaiki jika ada komitmen bersama untuk memperkuat prinsip-prinsip dasar yang mendasarinya, kebebasan, keadilan, partisipasi dan akuntabilitas, dan tentunya peran aktif dari masyarakat sipil, media yang bebas dan independen, serta lembaga-lembaga yang bersih dari korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Demokrasi yang sehat bukanlah sesuatu yang otomatis terwujud, tetapi sesuatu yang harus diperjuangkan dengan kerja keras dan kesadaran kolektif. Demokrasi yang sehat adalah ketika rakyat bebas menentukan pilihannya secara jujur dan adil yang sejatinya memang miliknya.(**)