Search
Close this search box.

BENANG KUSUT BIROKRASI

Oleh : Muslimin.M

Saya masih ingat betul bagaimana rasanya mondar-mandir ke kantor kelurahan hanya untuk mengurus surat pengantar domisili. Sekilas tampak sederhana cukup datang, isi formulir, lalu selesai. Tapi nyatanya, saya harus datang tiga kali, bertemu empat orang berbeda, dan mendengar kalimat yang sama disetiap meja, “Tunggu sebentar ya, ini masih diproses.”

Sebagai warga negara, saya sebenarnya tidak menuntut banyak. Saya hanya ingin dipermudah, dilayani dengan adil, dan tidak dipersulit oleh sistem yang seharusnya hadir untuk membantu. Tapi kenyataan dilapangan bertolak belakang dengan narasi besar pemerintah tentang reformasi birokrasi. Demikian kisah pilu sebagian kecil warga yang kurang mendapatkan pelayanan yang kurang baik.

bagaimana jalan keluar ?

Jujur, sebetulnya masalah ini lebih dari sekadar teknis. Dalam pemikiran saya bahwa ada yang salah dalam cara birokrasi kita dibangun terlalu menekankan pada formalitas, tapi abai pada esensi pelayanan. Birokrat kadang lebih sibuk mengurus dokumen daripada memahami kebutuhan warga. Lebih sibuk menjaga prosedur ketimbang memperbaiki proses.

Bagi saya, ini bukan hanya soal efisiensi, tapi soal rasa hormat terhadap rakyat. Ketika masyarakat dipaksa berputar-putar dalam sistem yang tidak jelas, itu sama saja dengan mengabaikan hak mereka untuk dilayani dengan baik. Dan ketika birokrasi membuka ruang untuk pungli atau percaloan, maka keadilan pun ikut dikorbankan.

Saya percaya birokrasi bisa berubah dan banyak aparatur negara yang sebenarnya tulus dan ingin membantu. Tapi mereka pun sering terjebak dalam sistem yang tidak mendukung untuk bergerak cepat dan tepat. Sudah terlalu sering birokrasi kita menjadi kambing hitam setiap kali muncul kegagalan layanan. Tapi barangkali kita perlu berhenti menyalahkan birokrasi semata, dan mulai menelisik sistem macam apa yang kita pelihara selama ini ?

Dititik ini, birokrasi kehilangan fungsi dasarnya melayani bagi warga yang buta aturan atau tak punya koneksi, birokrasi terasa seperti tembok besar yang tak bisa ditembus. Sialnya, problem ini tak hanya terjadi di bidang ekonomi. Dalam program bantuan sosial misalnya, kesalahan data penerima menjadi isu rutin tiap kali krisis datang. Ditengah pandemi, kita menyaksikan bagaimana bantuan terlambat turun, atau salah sasaran. Akar masalahnya sama birokrasi yang lamban, tumpang tindih, dan minim koordinasi.

Birokrasi kita, sebagaimana dikritik oleh banyak pakar administrasi publik, masih terlalu sentralistik, hirarkis, dan tidak adaptif terhadap perubahan. Di banyak instansi, pengambilan keputusan lebih ditentukan oleh jenjang struktural daripada urgensi kebijakan. Dalam sistem seperti ini, kecepatan dan efisiensi sering dikorbankan demi prosedur yang tak selalu relevan.

Mestinya ada reformasi

Reformasi birokrasi bukan barang baru. Ia sudah diwacanakan sejak Orde Baru runtuh. Kita telah melihat berbagai paket kebijakan dari zona integritas, sistem merit, hingga digitalisasi layanan publik. Namun dalam praktiknya, upaya ini sering tersandung pada mentalitas aparatur yang belum berubah. Banyak pejabat publik masih melihat jabatan sebagai sumber kuasa, bukan amanah pelayanan.

Reformasi birokrasi harus lebih dari sekadar mempercepat proses dan mengurangi jumlah formulir. Ia harus menyentuh akar budaya kerja di institusi pemerintahan. Diperlukan keberanian politik untuk menindak penyalahgunaan kewenangan, memberi penghargaan pada birokrat yang melayani dengan integritas, dan yang tak kalah penting membangun kepercayaan publik. Birokrasi adalah wajah negara dimata warganya. Jika wajah itu tampak angkuh, lamban, dan tertutup, maka jangan heran bila kepercayaan rakyat ikut mengikis.

Birokrasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari tata kelola pemerintahan. Ia dibentuk untuk menjamin stabilitas dan kelancaran dalam pelayanan publik, mulai dari pengurusan dokumen kependudukan, perizinan usaha, hingga distribusi bantuan sosial, birokrasi
kadang justru menjadi sumber frustrasi bagi masyarakat. Layanan yang lamban, prosedur yang panjang, dan aturan yang kaku menjadi keluhan klasik yang belum juga hilang dari ruang-ruang pelayanan,

apakah birokrasi kita memang sulit diubah ?, ataukah selama ini kita belum cukup serius mereformasi nya ?

Dalam pemikiran saya bahwa reformasi birokrasi masih bersifat parsial dan belum menyentuh akar persoalan. Pemerintah memang telah mengeluarkan berbagai kebijakan reformasi sejak era awal 2000-an, termasuk pembentukan Kementerian PAN-RB, peluncuran zona integritas, dan digitalisasi layanan publik. Tapi kenyataannya, hasil dilapangan masih jauh dari harapan. Masih banyak masyarakat yang mengeluhkan layanan yang tidak transparan, lambat, dan bahkan diskriminatif.

Terus terang, salah satu akar persoalan birokrasi kita adalah budaya kerja yang belum berubah. ASN masih banyak yang melihat jabatan sebagai posisi kekuasaan, bukan pelayanan. Dan kondisi ini menyebabkan hilangnya rasa tanggung jawab terhadap masyarakat sebagai pemangku kepentingan utama. Akibatnya, pelayanan menjadi formalitas belaka, bukan sebuah pengabdian. Budaya paternalistik juga masih kuat, dimana hierarki lebih diutamakan daripada efisiensi.

Bahkan, birokrasi kita terlalu regulatif dan sentralistis. Banyak proses yang sebetulnya bisa disederhanakan, justru dipersulit oleh aturan-aturan teknis yang berlapis-lapis. Misalnya, untuk mengurus izin usaha kecil saja, dulu masyarakat harus melewati banyak meja, membawa banyak berkas fisik, dan kadang “dipaksa” memberi uang pelicin agar prosesnya lancar.

Transformasi digital tentu patut diapresiasi. Namun digitalisasi tanpa perubahan mentalitas hanya akan mengganti bentuk masalah, bukan menyelesaikannya. Pelayanan yang cepat dan transparan membutuhkan aparatur yang kompeten, integritas yang tinggi, dan sistem yang akuntabel. Tanpa hal tersebut, digitalisasi hanya akan menjadi tampilan luar yang tak mengubah substansi.

Saya percaya bahwa reformasi birokrasi tidak bisa dilakukan setengah hati. Diperlukan perubahan dari atas hingga bawah, dari sistem hingga budaya. Pemimpin-pemimpin birokrasi harus menjadi teladan dalam integritas dan pelayanan publik. Pengawasan juga harus diperkuat, termasuk melalui partisipasi masyarakat sebagai pengawas dan pelapor dugaan pelanggaran. ASN perlu didorong untuk lebih inovatif dan adaptif dalam melayani dengan pelatihan berkala yang relevan dengan perkembangan zaman.

Disisi lain, masyarakat pun perlu dilibatkan secara aktif. Birokrasi bukan hanya urusan pegawai negeri, tapi juga urusan warga negara. Kita berhak mendapat pelayanan yang baik, namun kita juga wajib mengawasi dan memberi masukan. Jika masyarakat terus diam atau pasrah, maka tidak akan ada dorongan yang cukup kuat untuk perubahan.

Birokrasi adalah wajah negara dimata rakyat. Jika wajah itu kusut, lamban, dan tak ramah, maka rakyat akan merasa jauh dari negaranya sendiri. Sudah saatnya kita melakukan reformasi birokrasi yang menyeluruh, bukan hanya mengganti sistem, tapi juga mengubah cara berpikir dan bekerja. Karena pada akhirnya, birokrasi yang sehat adalah fondasi utama bagi negara yang maju dan dipercaya rakyatnya.(**)

……

Pegadaian

DPRD Kota Makassar.

355 SulSel

Infografis PilGub Sulbar

debat publik pilgub 2024

Ucapan selamat Walikota makassar

Pengumuman pendaftaran pilgub sulsel

Pilgub Sulsel 2024

https://dprd.makassar.go.id/
https://dprd.makassar.go.id/