Search
Close this search box.

ASSESSMENT; PANGGUNG KEPALSUAN !

Oleh : Muslimin.M

Apakah saya harus jujur mengatakan bahwa proses assessment pejabat saat ini bukanlah mekanisme objektif untuk memilih pemimpin terbaik, melainkan sebuah panggung kepalsuan yang dengan sengaja dirancang untuk mengaburkan kebenaran dan menutup akses bagi talenta sesungguhnya ?,

Assessment yang idealnya menjadi benteng terakhir penyaringan integritas dan kompetensi, sudah lama dibajak oleh kekuasaan politik dan kepentingan kelompok tertentu.
Hasilnya ?
Pejabat yang duduk
diposisi strategis bukan mereka yang mumpuni, melainkan yang pandai bermain politik, membangun jaringan, menjadi alat kepentingan elite.

Kita tidak bisa lagi menutup mata terhadap fakta bahwa proses seleksi ini sarat dengan rekayasa. Peserta yang seharusnya diuji secara obyektif justru diperlakukan sebagai *figur pajangan* untuk menciptakan kesan demokratis dan transparan. Sementara keputusan sudah diambil jauh sebelum tes dimulai, ini bukan hanya soal ketidakadilan terhadap para calon yang bersih dan berkualitas, tapi penghinaan terhadap sistem birokrasi yang sedang kita bangun selama ini.

Apa konsekuensinya?

Birokrasi kita semakin jauh dari harapan dan tak kredibel. Pejabat karbitan ini mengabaikan tugas utamanya melayani publik dengan jujur dan profesional karena fokus pada bagaimana mempertahankan posisi dan melayani kepentingan yang mengangkatnya. Hasilnya, pelayanan menjadi lambat, kebijakan sering amburadul, dan korupsi beranak-pinak.

Lebih jauh lagi, assessment yang penuh kepalsuan ini memperkuat budaya nepotisme dan kolusi, menjadi alat legitimasi kekuasaan yang mengakar dalam sistem, sulit dibersihkan. Transparansi hanyalah slogan kosong, karena data penilaian disembunyikan rapat-rapat dan prosesnya tertutup bagi publik.

Jika kita tidak segera melakukan reformasi radikal terhadap mekanisme assessment, jangan harap birokrasi kita bisa bangkit.Tidak cukup hanya mengganti wajah pejabat sebab yang dibutuhkan adalah membersihkan cara kita memilih mereka. Assessment harus dibuka secara total dan diawasi oleh lembaga independen yang benar-benar bebas dari pengaruh politik. Jika tidak, kita hanya akan terus memproduksi pejabat tanpa kapasitas dan integritas yang akhirnya menjadi beban negara dan rakyat.

Saya menyampaikan ini bukan karena pesimisme, tapi karena kesadaran kritis akan kegagalan sistem yang merugikan kita semua. Reformasi birokrasi bukan sekadar jargon, harus dimulai dari keberanian menghadapi kepalsuan assessment yang selama ini membungkam suara kebenaran.

Reformasi birokrasi buntu

Ada banyak cerita yang beredar tentang pejabat yang *lulus* assessment bukan karena kualitasnya, melainkan karena kedekatan dengan penguasa atau kelompok pengaruh tertentu. Sementara itu, calon yang berpotensi dan punya rekam jejak baik kerap tersingkir oleh sistem yang tertutup dan sarat intervensi. Kondisi ini tidak hanya menimbulkan ketidakadilan, tetapi juga menurunkan kualitas pengambilan keputusan publik dan pelayanan birokrasi.

Transparansi yang minim memperparah keadaan. Proses assessment jarang terbuka untuk publik, termasuk kriteria penilaian dan hasil akhir. Ketiadaan pengawasan independen menyebabkan praktik manipulasi nilai dan rekayasa hasil seleksi menjadi sesuatu yang sulit dibuktikan namun nyata dirasakan. Dengan demikian, assessment berubah menjadi ritual administratif tanpa makna, yang membingkai kepalsuan sebagai keabsahan.

Dampak dari kepalsuan assessment ini jauh lebih berbahaya dari sekadar persoalan birokrasi, sebab mencederai kepercayaan masyarakat kepada institusi negara dan menggerus legitimasi pemerintahan. Pejabat karbitan yang dipilih melalui proses seperti ini biasanya tidak memiliki kapasitas teknis maupun integritas moral yang memadai, sehingga mudah terjebak dalam praktik korupsi, nepotisme, dan kolusi. Kondisi ini menjadi akar masalah dari stagnasi reformasi birokrasi yang selama ini kita keluhkan.

Kasus beberapa kepala daerah yang ditangkap KPK karena korupsi pengadaan barang dan jasa, karena terlibat dalam jual beli jabatan mengilustrasikan betapa sistem assessment yang buruk turut menyuburkan korupsi tingkat tinggi. Penelusuran investigatif mengungkap bahwa yang bersangkutan lolos assessment berkat dukungan jaringan politik kuat, meskipun memiliki catatan buruk dalam manajemen publik sebelumnya.

Birokrasi yang seharusnya menjadi mesin pelayanan publik justru kerap menjadi penghambat perubahan. Jabatan strategis yang diisi bukan oleh mereka yang mampu berinovasi dan memberikan solusi, melainkan oleh yang mampu mempertahankan kekuasaan dan jaringan patronase nya. Akibatnya, pelayanan lamban dan tidak responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

Untuk itu, reformasi proses assessment harus menjadi prioritas ;
*Pertama,* proses seleksi harus dilakukan secara terbuka dan transparan, mulai dari kriteria penilaian hingga pengumuman hasil akhir.
*Kedua*, lembaga yang bertanggung jawab atas assessment harus bebas dari intervensi politik dan berada dibawah pengawasan independen yang kredibel.
*Ketiga*, standar penilaian harus jelas, obyektif dan diterapkan secara konsisten diseluruh lini pemerintahan.

Selain itu, peran masyarakat sipil dan media sangat penting untuk melakukan pengawasan dan kritik yang konstruktif. Partisipasi aktif publik akan membantu menciptakan kontrol sosial yang mencegah penyimpangan dan memastikan integritas proses seleksi.

Tidak ada jalan pintas bagi reformasi birokrasi jika assessment pejabat tidak dibersihkan dari kepalsuan dan manipulasi, maka kita hanya akan memperpanjang siklus kegagalan dan kemunduran pelayanan publik. Reformasi birokrasi bukan sekadar jargon—ia adalah keniscayaan bagi masa depan bangsa ini.

Birokrasi yang bersih dan profesional harus dimulai dengan keberanian melawan kepalsuan dalam proses seleksi pejabat. Hanya dengan demikian, kita bisa menaruh harapan nyata pada peningkatan kualitas pemerintahan dan pelayanan publik yang lebih baik.

Assessment sejatinya merupakan alat untuk menilai kompetensi dan kelayakan seorang pegawai dalam menduduki jabatan tertentu. Sayangnya, ketika proses ini dimanipulasi atau bahkan dipalsukan, maka hasilnya tidak lagi mencerminkan meritokrasi, melainkan hanya menjadi alat kepentingan pribadi atau kelompok. Bayangkan, seseorang bisa menduduki jabatan strategis tanpa melalui uji kelayakan yang sah. Ini jelas sangat berbahaya, baik bagi kinerja instansi maupun pelayanan secara umum.

Kita semua harus menyadari bahwa jabatan publik bukan sekadar soal gelar dan posisi, melainkan amanah yang harus diemban oleh seseorang yang benar-benar kompeten dan berintegritas. Bila proses menuju jabatan itu saja sudah dilandasi kebohongan, bagaimana mungkin kita berharap pada kinerja yang jujur dan profesional ?, pertanyaan ini bukan untuk dijawab, tapi untuk direnungkan.(**)

……

Pegadaian

DPRD Kota Makassar.

355 SulSel

Infografis PilGub Sulbar

debat publik pilgub 2024

Ucapan selamat Walikota makassar

Pengumuman pendaftaran pilgub sulsel

Pilgub Sulsel 2024

https://dprd.makassar.go.id/
https://dprd.makassar.go.id/