Oleh : Muslimin.M
Bagi pihak yang pernah berkunjung ke Kampus Universitas Sulawesi Barat (Unsulbar) yang berlokasi di salah satu area perbukitan di Kecamatan Banggae, Kabupaten Majene, pasti mengetahui betapa akses jalan ke kampus tersebut sangat tidak representatif.
Menyikapi hal tersebut, PLT WR1 Unsulbar, Prof. Tasrief Surungan, Ph. D, guru besar Fisika Teoretik FMIPA Unhas, berinisiatif memulai pembangunan perbaikan jalan tersebut dengan menggalang dana swadaya dari civitas Akademika Unsulbar.
Inisiatif ini lahir, murni karena kepedulian civitas akademik, sekaligus karena kondisi jalan yang sangat parah. “Ini kondisi sangat darurat, kita tidak mungkin menunggu perbaikan dari pihak lain untuk sekedar menimbun lubang-lubang jalan yang sangat parah,” kata Prof Tasrief,(dikutip di fajar.co.id,majene22/7/25)
Apa yang disampaikan oleh WR1 Prof.Tasrif Surungan di media tersebut tentang kondisi jalan utama menuju kampus Unsulbar tentu menjadi keprihatinan kita bersama, bahwa sejatinya lembaga pendidikan tinggi negeri di Sulbar ini tidak perlu mengalami persoalan seperti itu, apalagi Unsulbar ini satu paket pendirian nya dengan provinsi Sulawesi Barat. Tapi fakta saat ini menjadi realitas yang membuat kita tidak habis pikir dan bertanya-tanya dalam hati.
Sudah pasti setiap hari mahasiswa, dosen dan warga kampus lainnya harus berjibaku melewati jalan rusak ini. Bagi pejalan kaki, itu berarti sepatu kotor, risiko terpeleset, dan waktu tempuh yang lebih lama. Bagi pengendara motor, itu berarti ancaman jatuh, tergelincir, atau bahkan tabrakan akibat menghindari lubang yang dalam. Realitas ini bukan hal baru, sudah berlangsung bertahun-tahun, namun tidak pernah menjadi prioritas nyata oleh pemerintah.
Jalan rusak di lingkungan kampus seharusnya tidak dipandang sebagai masalah kecil. Ini adalah gambaran gamblang tentang bagaimana sektor pendidikan, khususnya
di daerah kadang diperlakukan secara setengah hati. Bagaimana bisa kita berbicara soal “revolusi pendidikan” jika akses ke ruang kuliah saja belum aman ?
Retaknya jalan adalah simbol retaknya perhatian negara terhadap kampus-kampus di pinggiran. Universitas negeri di provinsi baru seperti Sulawesi Barat ini mungkin hanya menjadi pelengkap statistik, *ada*, tapi tidak sepenuhnya didukung. Pemerintah daerah pun tampak canggung untuk ikut turun tangan, seolah urusan kampus bukan bagian dari tanggung jawab kolektif.
Pihak kampus mungkin telah menyatakan bahwa telah mengajukan anggaran perbaikan. Namun proses birokrasi tidak boleh menjadi alasan stagnasi. Apakah benar tidak ada ruang fiskal sama sekali, atau memang tidak cukup perhatian ?, Kampus bukan hanya tempat belajar, tapi ruang hidup. Dan kehidupan tidak boleh tumbuh di atas jalan yang berlubang, baik secara harfiah maupun simbolis.
Bagi mahasiswa, dosen, dan seluruh civitas akademika, kerusakan ini bukan sekadar gangguan fisik. Ini adalah bentuk ketimpangan perhatian terhadap fasilitas pendidikan. Jalan rusak seharusnya tidak menjadi *pemandangan biasa*
di sebuah perguruan tinggi negeri yang menampung ribuan mahasiswa dari berbagai kabupaten di Sulawesi Barat bahkan luar Sulawesi Barat.
Kampus seharusnya menjadi ruang belajar yang nyaman dan aman. Tapi, kenyataannya tidak demikian. Aktivitas belajar mengajar sering terganggu oleh kondisi akses yang buruk. Mahasiswa, dosen dan seluruh warga kampus harus ekstra hati-hati saat melintasi jalan becek dan berlubang, terutama
di musim hujan. Tidak sedikit kasus sepeda motor tergelincir karena jalan licin, pejalan kaki terjatuh karena tidak melihat lubang yang tertutup genangan air.
Kita harus jujur bahwa permasalahan jalan rusak ini tidak bisa hanya dibebankan kepada pihak kampus semata. Koordinasi dengan pemerintah daerah dan pusat sangat dibutuhkan. Mengingat Unsulbar merupakan universitas negeri, dukungan dari Kementerian Pendidikan dan instansi terkait, termasuk pemerintah daerah menjadi sangat penting agar alokasi anggaran tidak selalu kurang.
Sayangnya, banyak kampus-kampus di daerah kadang menjadi korban dari lambatnya distribusi pembangunan. Kampus besar di kota-kota besar terus dibenahi, sementara kampus-kampus
di pinggiran terkesan dibiarkan berjalan sendiri, diperparah lagi pemerintah daerah kelihatan kurang serius membantu. Ini bukan sekadar persoalan infrastruktur, tetapi juga soal keadilan dalam pembangunan pendidikan.
Cita-cita kita
Saya mendapatkan pandangan dari salah satu tokoh pendiri Sulbar, beliau mengatakan begini, “Jalan rusak menuju kampus sesungguhnya hanya persoalan kecil , tapi kondisi itu sekaligus mengkonfirmasi kepada kita tentang lemahnya akses kepemimpinan Unsulbar terhadap pusat-pusat pengambilan keputusan yg bisa mempengaruhi keberadaan Unsulbar, baik terhadap pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Diperparah dengan bertahun tahun pimpinan kampus disibukan urusan lain terkait kasus hukum yg menyeret sejumlah petinggi kampus. Sangat mungkin sebagai salah satu menyita dan mengurus energi pimpinan kampus sehingga abai terhadap perbaikan infrastruktur vital dan satu satunya yang menghubungkan titik hunian civitas akademika dengan kampus”.
Kemudian disisi yang lain Prof.Tasrif Surungan yang juga WR1 Unsulbar memberi pandangan berbeda “bahwa PTN di daerah itu adalah aset mewah yang seharusnya dipelihara. Mengabaikannya, sama dengan mengabaikan masa depan daerah.
Ambil saja contoh dekat, propinsi Sulawesi Selatan, sebagai propinsi induk kita. Pemimpin Nasional banyak lahir dari kampus ini, termasuk sejumlah gubernur. Gubernur Sulsel dan Sulbar sekarang adalah jebolan kampus Unhas.
Cepat atau lambat, Unsulbar akan menjadi PTN yang sejajar dengan PTN di provinsi lain. Saya percaya, Unsulbar di masa depan juga akan melahirkan pemimpin nasional. Apalagi sudah ada nama besar orang-orang Sulbar, misalnya Prof. Baharuddin Lopa dan Prof. Basri Hasanuddin”.
Lalu, apa arti dari pandangan tokoh diatas ?,
Mungkin kita dapat menilai bahwa infrastruktur yang layak merupakan bagian dari ekosistem pendidikan. Tanpa itu, semangat belajar pun akan terganggu. Sudah saatnya perhatian terhadap pendidikan tinggi di daerah tidak hanya berhenti pada pengakuan administratif, tetapi diwujudkan melalui tindakan nyata, dimulai dari hal paling dasar yaitu memperbaiki infrastruktur, termasuk jalan kampus.
Jalan bukan hanya infrastruktur fisik. Tapi bagian penting dari ekosistem pendidikan. Ketika mahasiswa harus datang dengan rasa was-was setiap kali berkendara, ketika dosen harus ekstra hati-hati untuk sampai ke fakultasnya, itu bukan lagi sekadar persoalan teknis. Itu adalah soal kenyamanan, keamanan, dan penghargaan terhadap manusia yang beraktivitas di lingkungan akademik.
Dalam konteks itu, ketika para pejuang, para pendiri Sulbar termasuk Unsulbar berdarah-darah dengan segala pengorbanan materi maupun non materi dengan tujuan mulia, maka sepatutnya kita yang saat ini meneruskan bahkan menikmati hasil jeri payah itu sudah seharusnya dan wajib menjaga dan berusaha sekuat tenaga agar Unsulbar menjadi PTN yang terkemuka di dataran Sulawesi dengan melahirkan tokoh-tokoh nasional seperti prof.baharuddin lopa dan prof. Basri Hasanuddin.
Dengan capaian Unsulbar saat ini, harapan dan cita-cita itu sangat mungkin tercapai. Peningkatan akreditasi, riset yang berkembang, hingga perluasan gedung dan fasilitas menjadi indikator yang menggembirakan menuju cita-cita mulia itu. Tapi, harus diakui, jalan rusak tetap menjadi catatan buruk di tengah kemajuan tersebut.
Karena pendidikan yang bermartabat bukan hanya tentang prestasi akademik, tetapi juga tentang fasilitas dasar yang layak. Dan karena setiap langkah menuju kampus adalah bagian dari proses belajar itu sendiri, maka harus layak dilewati dengan aman dan nyaman, bukan dengan rasa khawatir dan keluhan.
“Pemimpin tidak cukup hanya pintar dengan segala gelar dan tahu masalah, namun kadang yang sangat menentukan adalah jaringan pimpinan terhadap puncak-puncak pengambil keputusan yang menentukan negeri ini” tutup sang tokoh salah satu pendiri Sulbar yang tidak mau disebutkan namanya.(**)