Oleh : Muslimin.M
Beberapa waktu yang lalu, saya di undang oleh salah satu media sebagai narasumber pada acara podcast dengan tema demokrasi semu, fenomena kotak kosong dan politik uang. Tentu, tema ini menarik dan cukup relevan di diskusikan sebab momennya sudah tepat di musim politik seperti saat ini, sehingga tidak mengherankan juga tema seperti ini menjadi tema yang selalu dibincang oleh sebagian masyarakat kita, baik di warung-warung kopi maupun di ruang media sosial. Dalam tulisan kali ini, tentu masih terkait dengan tulisan-tulisan saya sebelumnya yaitu tentang demokrasi dan aspek-aspek nya.
Pilkada Serentak Tahun 2024 sekira tiga bulan lagi, tetapi suasana nya sudah begitu terasa, hiruk-pikuk perpolitikan di tingkat lokal begitu dinamis dan menghangat. Meski demikian, kita tetap optimis kondisi ini akan tetap kondusif sampai selesai pilkada dan pelantikan kepala daerah yang terpilih. Hal yang perlu kita perhatikan dengan seksama adalah tentang soal bagaimana menguatkan demokrasi kita. Salah satunya, bagaimana negara melihat demokrasi dalam pilkada tahun ini sebagai salah satu episentrum, sumber penguatan kualitas pilkada pada tahun 2024 ini.
Sama seperti pemilu sebelumnya, pilkada juga mengandung beragam permasalahan, didalamnya para pihak berkepentingan menyasar pilkada sebagai gelanggang politik yang harus direbut. Sebab itu, pilkada tak pernah lepas dari hal-hal yang menjadi problem pada setiap pemilu. Biasanya elit dan aktor yang terlibat dalam pemilu dipastikan akan kembali menyasar proses demokrasi di daerah melalui momen pilkada. Satu hal yang pasti mereka sedang menghubungkan jalan bagi kemenangan di pemilu dengan menguasai para kontestan yang terlibat dalam pilkada.
Asumsinya sederhana, mereka yang menang di pilkada, menguasai hasil demokrasi di daerah sama dengan selangkah menguasai kontestasi pemilu di masa depan.
Pilkada dan Bayang-bayang Politik Uang, ini menjadi serius sebab praktik politik uang tak hanya menyasar pemilu, tetapi juga di pilkada. Kontestasi perebutan kekuasaan di daerah juga tak kalah menjadi perbincangan publik bagaimana politik uang memiliki daya tekan dalam proses pilkada itu.
Persoalan data pemilih, netralitas ASN, pun juga politik uang menjadi persoalan serius yang mengiris proses demokratisasi kita saat ini.
Kuatnya beragam kepentingan dalam pilkada membuat Pilkada itu menjadi pusat pembicaraan publik. Proses pilkada yang bermartabat, tentu membuat pilkada menjadi berkualitas, terbebas dari politik uang, paling tidak mendatangkan harapan tentang kuatnya demokrasi kita dengan tidak melakukan jual beli suara.
Politik Uang
Politik uang sebagai satu bagian dari musuh bebuyutan demokrasi, jika tidak segera diatasi akan menggerogoti harapan tentang demokrasi yang lebih baik. Politik Uang yang terus menguat digerakkan oleh kelompok-kelompok yang menganggap kemenangan dalam kontestasi tertentu harus direbut dengan cara apapun. Tak tanggung-tanggung mereka yang terlibat dalam ruang ini mengendarai ketidaksadaran warga negara tentang bahaya laten politik uang.
Aspinal dalam bukunya “Demokrasi For Sale” bahkan menyebutkan kelompok-kelompok di level tersebut, saat kontestasi pemilihan akan terbentuk sendiri untuk mendapatkan kesempatan menikmati praktik politik uang dengan “menghubungkan” para elite dengan pemilih. Suatu praktik yang tentu sangath membahayakan demokrasi kita yang begitu susah di bangun.
Politik uang adalah praktik di mana uang digunakan untuk mempengaruhi keputusan politik, termasuk dalam Pilkada. Dalam konteks ini, uang dapat digunakan untuk membeli suara, membayar kampanye politik, atau memengaruhi kebijakan pemerintah demi keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.
Praktik ini dianggap ilegal dan merusak integritas proses demokrasi, karena menciptakan ketidakadilan dan mengurangi kepercayaan publik terhadap institusi politik. Politik uang sering terjadi di negara-negara dengan tingkat korupsi yang tinggi, di mana mekanisme pengawasan dan penegakan hukum lemah.
Upaya untuk memberantas politik uang terus dilakukan, bukan hanya lembaga-lembaga terkait, pun juga masyarakat turut serta terlibat dalam upaya ini. Reformasi hukum, peningkatan transparansi dalam pendanaan kampanye, serta pendidikan masyarakat untuk meningkatkan kesadaran tentang dampak negatif dari praktik ini, menjadi upaya yang harus kita lakukan untuk mencegah praktek ilegal ini.
Politik uang memiliki sejumlah bahaya yang signifikan bagi demokrasi, di antaranya:
Pertama : Merusak Integritas Proses Pemilu; Politik uang dapat membuat hasil pemilu tidak mencerminkan kehendak rakyat yang sebenarnya. Pemilih mungkin tergoda untuk menjual suara mereka kepada kandidat yang membayar, bukan memilih berdasarkan kualitas atau visi calon tersebut.
Kedua : Mengurangi Kualitas Kepemimpinan; Ketika politik uang mendominasi, kandidat yang memiliki sumber daya finansial besar tetapi mungkin tidak kompeten atau tidak memiliki integritas yang baik bisa memenangkan pemilu. Ini dapat menyebabkan terpilihnya pemimpin yang tidak berkualitas dan merusak tata kelola pemerintahan.
Ketiga :Meningkatkan Korupsi; Kandidat yang menggunakan uang untuk membeli suara cenderung merasa “berhutang” kepada pihak-pihak yang mendukung finansial nya. Hal ini dapat mendorong mereka untuk terlibat dalam korupsi atau memberikan kebijakan yang menguntungkan segelintir orang daripada kepentingan publik.
Keempat : Menciptakan Ketidakadilan Sosial; Politik uang memperkuat ketimpangan antara yang kaya dan yang miskin. Hanya kandidat atau kelompok dengan sumber daya besar yang bisa berkompetisi secara efektif, sementara mereka yang tidak memiliki akses ke dana besar akan terpinggirkan.
Ketika masyarakat melihat bahwa uang dapat membeli kekuasaan, kepercayaan terhadap sistem demokrasi dapat menurun. Masyarakat menjadi sinis dan apatis terhadap proses politik, yang dapat menurunkan partisipasi pemilih dan melemahkan demokrasi secara keseluruhan.
Tentu, Kita sepakat bahwa politik uang dapat memicu ketegangan sosial, terutama ketika praktik ini menyebabkan ketidakpuasan di kalangan masyarakat yang merasa proses pemilihan tidak adil. Ini bisa memperburuk polarisasi dan meningkatkan risiko konflik sosial.
Kita harus menyadari bahwa politik uang mengancam fondasi demokrasi dengan mengorbankan prinsip-prinsip keadilan, transparansi, dan akuntabilitas yang merupakan pilar dari sistem demokratis yang sehat. Kita ingin dalam pilkada tahun ini sungguh tercipta demokrasi yang sehat, rakyat menyalurkan hak pilihnya secara bebas tanpa ada ada iming-iming atau imbalan yang dapat merubah sikap pilihannya, sebab sejatinya rakyat memilih pemimpin adalah untuk rakyat itu sendiri.(**)