Oleh : Muslimin.M
Netralitas Aparatur Sipil negara (ASN) di setiap momen pemilu termasuk pilkada selalu menarik untuk dibincangkan, banyak kalangan yang menilai bahwa ASN memiliki nilai strategis dalam memenangkan kandidat atau calon, padahal menyeret Aparatur negara ini dalam politik praktis adalah langkah keliru, selain konstitusi melarang pun juga pelayanan kepada masyarakat bisa menjadi terganggu atau tidak optimal.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, yang sudah di revisi dengan undang-undang No.20 tahun 2023, termasuk beberapa regulasi terkait lainnya, telah mengatur dengan jelas prinsip dan kedudukan ASN. Poin penting dari dari regulasi itu adalah mengamanatkan bahwa ASN harus netral. Dalam aturan itu disebutkan bahwa ASN dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik. ASN pun wajib tidak berpihak terhadap segala bentuk pengaruh dan kepentingan.
Mengapa ASN wajib netral ?. Bukan tanpa alasan, landasan etikanya adalah karena birokrasi merupakan institusi publik yang dibangun dan dibiayai oleh uang rakyat untuk melayani semua golongan. Oleh karena itu, aparat birokrasi wajib terlepas dari kepentingan politik maupun keberpihakan pada golongan tertentu, termasuk keberpihakan pada calon tertentu pada setiap pemilu atau pilkada.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menteri PANRB) bahkan menyebut bahwa ketidaknetralan ASN akan sangat merugikan negara, pemerintah, dan masyarakat. Netralitas birokrasi diperlukan untuk memastikan kepentingan negara dan publik secara keseluruhan berorientasi pada pelayanan, sehingga pihak mana pun kekuatan politik yang memerintah, birokrasi tetap memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakatnya.
Argumentasi ini menegaskan bahwa birokrasi harus dijauhkan dari kepentingan politik praktis. Intervensi dan keberpihakan ASN dapat dinilai sebagai patologi kronis yang merongrong marwah birokrasi. Meski sebagian kalangan menilai bahwa birokrasi adalah entitas yang mustahil netral dari ranah politik, namun setidaknya berbagai potensi pelanggaran harus dapat ditekan menjadi sekecil mungkin.
Dalam konteks pembinaan dan pengawasan rasanya tak kurang, pemerintah memberikan perhatian khusus agar ASN dapat bersikap netral dan bebas dari intervensi politik. Sejumlah surat edaran bahkan surat keputusan bersama (SKB) dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), Badan Kepegawaian Negara (BKN), Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) rutin hadir setiap tahun menjelang tahun politik.
Dilema ASN
Sederet rambu dan imbauan pemerintah kepada ASN agar tidak memihak sepertinya masih sulit terwujud. Terbukti, sederet pelanggaran yang menyangkut netralitas ASN dari tahun ke tahun masih saja terjadi. Bahkan kita bisa memprediksi bahwa pelanggaran netralitas ASN pada pilkada serentak 2024 masih berpotensi akan tetap terjadi. Hal tersebut bisa kita lihat maraknya ASN yang melanggar aturan pada Pilkada 2020 lalu, meski sederet sanksi dari ringan hingga berat telah diterapkan.
Mengapa mereka tidak netral ?. Orientasi dan motifnya beragam, dari sisi calon kepala daerah tentu saja melekat kepentingan untuk memelihara dukungan, mendapatkan akses terhadap peran dan kedudukan ASN dan ending-nya menang dalam kontestasi. Sementara dari sisi ASN selalu ada yang tidak teguh dengan sikap netral menjadi tidak konsisten, tidak komitmen bahkan takut kehilangan jabatan atau sebaliknya mengharap akses pada jabatan jika kelak pihak yang disokong menang dalam pemilihan.
Kadang ASN dirayu dan diancam sebagai mesin suara, padahal ASN terikat dengan aturan netralitas pemilu atau pilkada. Jangankan mengikuti kegiatan kampanye, memberi tanda jempol pada pihak yang sedang berlaga di pemilu pun akan terkena sanksi. Tapi apa daya, mereka kadang menghadapi dilema yang serba sulit ini. Karena itu, para ASN hanya diperbolehkan melakukan tindakan yang secara rasional berguna untuk mencapai tujuan institusi. Tindakan berupa ‘sikap keberpihakan’ dianggap sebagai tindakan tidak rasional, tidak efisien, dan tidak relevan dengan administrasi birokrasi.
Konsep rasionalitas ini sebenarnya telah dikritik oleh para pakar administrasi publik kontemporer, seperti Ralph Hummel dari University of Akron dan Robert Denhardt dari University of Kentucky, Amerika Serikat, bahwa administrasi di birokrasi tidak semestinya memisahkan rasionalitas ekonomi dengan politik.
Pada kondisi yang demikian, ASN ditempatkan pada posisi rapuh dan mudah dimanipulasi oleh jaring kekuasaan. Beberapa ASN yang dianggap tidak sesuai dengan kepentingan politikus, yang telah menjadi pimpinan di lembaganya, dapat ditelantarkan.
Dilema ASN dalam pilkada merupakan situasi sulit di mana ASN harus menjaga netralitas mereka sesuai peraturan, sementara seringkali mereka menghadapi tekanan politik atau sosial yang memaksa mereka untuk mendukung calon tertentu. Beberapa dilema yang dihadapi ASN dalam pilkada :
Pertama :Tekanan dari Atasan, ASN berpotensi mendapat tekanan dari pimpinan atau pejabat politik untuk mendukung calon tertentu, dengan ancaman akan ada konsekuensi negatif jika mereka tidak menurut.
Kedua : Konflik Kepentingan, ASN yang memiliki hubungan pribadi atau profesional dengan calon mungkin merasa terjebak antara kewajiban profesional untuk tetap netral dan keinginan pribadi untuk mendukung calon tersebut.
Ketiga: Risiko Karir, Menolak untuk terlibat dalam politik praktis bisa mengakibatkan sanksi tidak resmi seperti mutasi, demosi, atau tidak dipromosikan.
Ke empat : Integritas dan Etika, Menjaga integritas dan mematuhi kode etik sering kali bertentangan dengan realitas politik di lapangan, di mana norma dan praktik yang berlaku tidak selalu mendukung netralitas ASN.
Dari perspektif diatas, kita sepakat bahwa netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah prinsip yang mengharuskan ASN untuk bersikap netral dan tidak berpihak dalam menjalankan tugasnya. Ini artinya ASN tidak boleh terlibat dalam kegiatan politik praktis, mendukung partai politik, atau menunjukkan keberpihakan dalam setiap momen pemilu termasuk pilkada. Netralitas ASN penting untuk memastikan bahwa pelayanan publik diberikan secara adil dan tidak dipengaruhi oleh kepentingan politik tertentu.
Dan kita meyakini bahwa prinsip prinsip netralitas ASN sebagaimana diatur di banyak regulasi, benar-benar dipatuhi dan dijalankan dengan baik, selain untuk menjaga ASN itu sendiri dari sanksi baik sanksi administrasi maupun pidana, ringan, sedang apalagi berat( pemecatan), pun juga untuk menempatkan posisi ASN sebagaimana mestinya yaitu sebagai abdi negara dan pelayan masyarakat. Dengan begitu, maka ASN menjadi tidak terkotak-kotak dan profesional dalam melaksanakan tugasnya.(**)