Oleh : Mursalim Majid ( Pemred Daulat Rakyat/indigo99.com )
Dalam perspektif Islam seorang wartawan atau jurnalis sesungguhnya merupakan pembawa risalah para nabi. Artinya berita yang dilahirkan dari tangan seorang wartawan sejatinya membawa nilai kebenaran dan bermanfaat bagi manusia.
Sebagai wartawan muslim sejatinya mengedepankan nilai – nilai kebenaran dan kebaikan dalam melahirkan karya jurnalistik yang dibuatnya.
Karena itu, seorang wartawan dituntut pula memiliki sifat – sifat kenabian, yaitu jujur bertutur kata maupun dalam berkarya. Berani menegakkan kebenaran dan senantiasa bertawakkal kepada Allah. Kebenaran yang diyakini tentu bersumber dari Al-Qur’an.
Kebenaran yang lahir dari karya jurnalistik adalah fakta apa adanya. Tidak direkayasa dan memutarbalikkan fakta. Atau mencampur adukan Haq dan bathil.
Selain itu, wartawan harus mampu menjujung tinggi amanah. Sebab amanah adalah kepercayaan publik terhadap karya jurnalistik seorang wartawan.
Sedikit saja mendistorsi fakta. Maka kepercayaan publik akan luntur. Dan publik akan hilang kepercayaan. Tak hanya itu, pertanggungjawaban iman atas berita amatlah berat di hadapan Allah kelak.
Tak cukup disitu, Ia harus memiliki kecerdasan dan berwawasan luas. Dengan kecerdasannya dituntut untuk mampu menganalisa setiap informasi yang diterimanya. Bagaimana dampak dan penguruh dibalik peristiwa yang diterimanya itu. Bahkan, Ia tak akan terjebak pada informasi – informasi yang tak jelas asal usulnya.
Oleh karena itu, wartawan muslim harus memiliki dasar – dasar Islam yang kuat. Untuk mengelaborasi kode etik jurnalistik. Sebab kode etik jurnalistik mengandung pula nilai moral dan ahlak.
Artinya, KEJ memandang manusia dalam konteks azas praduga tak bersalah ( positif thinking ). Sehingga mampu melahirkan sifat – sifat rahmatan Lil ‘ alamin sebagai pembawa kedamaian di muka bumi ini.
Sebab itu, selalu menguji setiap informasi yang datang adalah keniscayaan yang tak bisa ditawar-tawar. Bukan isu atau desas – desus yang menyesatkan. Istilah ini disebut cek and ricek, klarifikasi dan konfirmasi kebenaran informasi itu.
Membangun diksi yang baik dan lembut tanpa harus mengobral isu – isu murahan, gosip, pornografi yang bisa merusak ruang – ruang publik.
Kendati media harus memberitakan yang batil bukan isu atau gosip. Sehingga publik tahu dan menjadi pelajaran. Bahwa perbuatan tidak baik dilarang pula agama.
Dengan demikian, tantangan terberat seorang wartawan datang dari dalam dirinya sendiri. Godaan kepentingan yang tak bisa lepas. Posisi dilematis ibarat sepotong kaki di surga dan sepotongnya berada di neraka.
Karenanya tuntutan profesionalisme dan landasan idealisme dalam menegakkan amar ma’aruf nahi munkar menjadi amat urgen.
Posisi pers sejatinya menjadi medium dakwa yang terus mengajak manusia berbuat baik dan mencegah kemungkaran. Bukan sebaliknya, terjebak dalam kepentingan pragmatis tanpa mempertimbangkan dampak sosialnya.
Industri pers boleh tumbuh dan berkembang. Seiring dengan perkembangan tekhnologi. Mengejar trafik laghit, dan mengabaikan standar – standar jurnalistik dan kode etik. Sama halnya menggali lubang sendiri. Bahkan kerajaan bisnis tak akan bisa bertahan lama. Karena cepat atau lambat publik akan meninggalkannya.
Sekali lagi, goresan singkat ini adalah respon atas kegelisahan kami, sebagai pewarta melihat secarah jernih. Dimana fenomena dunia pers saat ini cukup memprihatinkan.
Tulisan inipun tak bermaksud menggurui siapapun, khususnya para pencari berita. Sebab tujuannya, agar setiap karya jurnalistik dipastikan membawa risalah para nabi. Wassalam(*)