MAKASSAR DAULATRAKYAT.ID. PT Gowa Makassar Tourism Development Tbk (PT GMTD) menegaskan bahwa klaim PT Hadji Kalla terkait kepemilikan lahan seluas 16 hektare di kawasan Tanjung Bunga tidak memiliki dasar hukum dan bertentangan dengan dokumen resmi negara.
Pernyataan ini disampaikan langsung oleh Presiden Direktur PT GMTD Tbk, Ali Said, dalam klarifikasi resmi perusahaan.
Menurut Ali Said, dasar hukum kawasan Tanjung Bunga telah ditetapkan pemerintah sejak 1991 melalui serangkaian Keputusan Menteri dan Gubernur, yang secara eksplisit memberikan mandat tunggal kepada PT GMTD untuk membeli, membebaskan, dan mengelola seluruh lahan di kawasan tersebut.
“Semua dokumen negara menyatakan hanya PT GMTD yang berwenang atas kawasan Tanjung Bunga. Tidak ada satu pun SK pemerintah yang memberikan hak kepada pihak lain pada periode tersebut. Ini fakta hukum, bukan opini,” tegas Ali Said.
Empat dokumen negara yang menjadi dasar kawasan—mulai dari SK Menteri PARPOSTEL 1991 hingga SK Penegasan dan Larangan Mutasi Tanah 1995—menetapkan bahwa kawasan Tanjung Bunga adalah proyek pembangunan pemerintah untuk Makassar–Gowa.
Ali Said menekankan bahwa seluruh pengembangan awal kawasan, mulai dari pembukaan akses hingga pematangan lahan, dilakukan oleh PT GMTD.
Tanpa mandat pemerintah kepada PT GMTD, kawasan Tanjung Bunga tidak akan menjadi pusat pertumbuhan seperti hari ini,” ujarnya.
Klaim Penguasaan Fisik 1993 Dinilai Tidak Memiliki Nilai Hukum
PT GMTD menyatakan bahwa klaim PT Hadji Kalla mengenai penguasaan fisik lahan sejak 1993 tidak relevan, karena pada periode itu:
Kawasan masih berupa rawa dan tanah negara.Tidak ada izin lokasi selain PT GMTD,Tidak ada pasar tanah,Tidak ada satu pun regulasi yang memberikan hak kepada pihak lain.
Dalam hukum agraria, penguasaan fisik tidak melahirkan hak. Dokumen negara tetap menjadi rujukan tertinggi,” jelas Ali Said.
Legalitas Sertifikat Harus Diuji Berdasarkan Objek Tanah
PT GMTD juga menantang PT Hadji Kalla untuk menunjukkan dasar hukum penerbitan Sertifikat HGB yang diklaim. Sertifikat tersebut dinilai berpotensi cacat hukum jika diterbitkan tanpa:
Izin lokasi,IPPT,Persetujuan gubernur,Pelepasan hak negara,Persetujuan PT GMTD sebagai pemegang mandat tunggal
“Jika sertifikat diterbitkan tanpa memenuhi syarat-syarat ini, maka sertifikat tersebut dapat dibatalkan secara administratif,” kata Ali Said.
Menurutnya tidak Ada Dokumen Pemerintah yang Menganulir SK 1991–1995 1995
PT GMTD menegaskan bahwa hingga kini tidak ada putusan pengadilan, dokumen BPN, maupun kebijakan pemerintah yang membatalkan SK-SK tersebut.
Ali Said menambahkan bahwa klaim pembebasan 80 hektare pada 1980-an juga tidak pernah tercatat dalam arsip pemerintah.
Pemagaran Resmi dan Dugaan Penyerobotan PT GMTD memaparkan bahwa seluruh pagar di atas area 16 hektare merupakan pagar resmi milik perusahaan. Namun, PT GMTD mencatat adanya dugaan penyerobotan lahan seluas sekitar 5.000 m² oleh pihak luar.
Laporan resmi telah disampaikan kepada kepolisian, di antaranya:
LP/B/1897/X/2025 (4 Oktober 2025)
LP/B/1020/X/2025 (7 Oktober 2025
Seluruh bukti visual, rekaman lapangan, dan saksi telah dikumpulkan.
Kepemilikan PT GMTD Diperkuat Sertifikat, Putusan Pengadilan, dan PKKPR
Kepemilikan PT GMTD atas lahan 16 hektare diperkuat dengan:
1. Sertifikat Berjenjang BPN
SHM No. 25 Tahun 1970
Konversi SHM No. 3307 Tahun 1997
Konversi SHGB No. 20454 Tahun 1997
2. Putusan Pengadilan Berkekuatan Hukum Tetap (Inkracht)
Termasuk putusan tahun 2002, 2003, 2006, hingga eksekusi Pengadilan Negeri Makassar pada 3 November 2025.
3. PKKPR dari Pemerintah Pusat
No: 15102510217371024
Terbit 15 Oktober 2025
“Seluruh dokumen mulai dari sertifikat, putusan pengadilan, hingga PKKPR menegaskan bahwa lahan ini sah milik PT GMTD. Posisi hukum kami sangat kuat dan tidak terbantahkan,” tegas Ali Said.
Terbuka untuk Dialog, Tetapi Tidak Berkompromi pada Dokumen Negara
Meski tegas dalam sikap hukum, PT GMTD tetap membuka ruang komunikasi dengan semua pihak. Namun, perusahaan menegaskan tidak akan berkompromi terhadap keputusan negara dan legalitas yang telah ditetapkan.
“Kami terbuuntuk berdialog, tetapi tidak akan mengorbankan mandat publik dan integritas hukum kawasan Tanjung Bunga,” tutup Ali Said.






























