Oleh : Muslimin.M
Satu tahun lagi tepatnya pebruari dan november 2024 pemilihan umum baik pemilu presiden/wakil presiden, legislatif maupun pilkada akan digelar secara serentak. Pemilu ini merupakan bentuk implementasi dari sistem demokrasi dan juga merupakan penerapan sila keempat Pancasila dan pasal 1 (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilu merupakan mekanisme untuk memilih wakil rakyat di lembaga Legislatif di tingkat pusat maupun daerah, presiden dan wakil presiden. Pemilihan umum di Indonesia sejak 1955 hingga saat ini yang terakhir di Pemilu serentak 2019 mengalami banyak sekali perubahan dari aspek kerangka hukum, penyelenggara, tahapan, peserta, kelembagaan, Pelanggaran, maupun manajemen pelaksanaannya.
Salah satu ukuran dalam menilai sukses nya penyelenggaraan pemilihan umum adalah tingginya partispasi politik yang diwujudkan dengan pemberian hak suara oleh masyarakat yang telah mempunyai hak pilih. Boleh dikatakan bahwa semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam pemilahan umum itu lebih baik. Sebaliknya, tingkat partispasi yang rendah pada umumnya dianggap sebagai tanda yang kurang baik, karena dapat ditafsirkan bahwa banyak warga tidak menaruh perhatian terhadap negara. Bagi negara demokratis seperti negara kita yang belum begitu baik demokrasinya tentu tantangannya adalah bagaimana praktik dan lembaga demokratis dapat diperkuat, sebagaimana di kemukakan oleh beberapa pakar politik, dikonsolidasikan, sehingga dapat bertahan terhadap ujian politik, konflik politik, dan krisis krisis. Bahwa Pemilihan umum tidak lahir tanpa tujuan tetapi untuk memilih para wakil rakyat dalam rangka mewujudkan pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat.
Menurut liphart bahwa demokrasi, lembaga perwakilan dan pemilihan umum merupakan tiga konsep yang sangat terkait dan tak bisa dielakkan. Untuk itu partisipasi masyarakat jelas di perlukan agar dapat mengimplementasikan makna demokrasi secara mutlak. Pemilihan umum penting untuk diselenggarakan secara berkala disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, pendapat atau aspirasi rakyat mengenai berbagai aspek kehidupan bersama dalam masyarakat bersifat dinamis, dan berkembang dari waktu ke waktu. Kedua, disamping pendapat rakyat yang berubah dari waktu ke waktu, kondisi kehidupan bersama dalam masyarakat dapat pula berubah karena dinamika dunia Intenasional atau faktor dalam negeri sendiri, baik karena faktor internal manusia maupun faktor eksternal. Ketiga, perubahan-perubahan aspirasi dan pendapat rakyat juga dapat dimungkinkan terjadi karena pertambahan jumlah penduduk dan rakyat yang dewasa, terutama para pemilih baru belum tentu mempunyai sikap yang sama dengan para orang tua mereka. Keempat, pemilihan umum perlu diadakan secara teratur untuk maksud menjamin terjadinya pergantian kepimpinan negara, baik dari kekuasaan eksekutif maupun legislatif.
Peran serta dan partisipasi masyarakat dalam politik merupakan kegiatan politik baik secara perorangan maupun kelompok untuk turut serta secara aktif dalam kehidupan politik, dengan jalan memilih pimpinan negara, dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah( public policy.) Secara konvensional kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai politik. Partisipasi masyarkat masih dipahami sebagai upaya mobilisasi masyarakat untuk kepentingan Pemerintah atau Negara, Padahal sebenarnya partisipasi idealnya masyarakat ikut serta dalam menentukan kebijakan Pemerintah yaitu bagian dari kontrol masyarakat terhadap kebijakan Pemerintah. Partisipasi politik akan berjalan selaras manakala proses politik berjalan secara stabil. Seringkali ada hambatan partisipasi politik ketika stabilitas politik belum bisa diwujudkan, karena itu penting untuk dilakukan oleh para pemegang kekuasaan untuk melakukan proses stabilisasi politik. Disamping itu pula proses berikutnya melakukan upaya pelembagaan politik sebagai bentuk dari upaya untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengaktualisasikan cita-citanya.
Salah satu ruang publik yang cukup besar pengaruhnya dalam membentuk karakter pemilih adalah media sosial, tentu media sosial ini mempunyai pengaruh sangat besar dalam menyebarkan dan menerima informasi bukan hanya dari aspek positifnya aspek negatifnya juga kadang tidak terhindarkan, media sosial bisa membuat sejumlah orang optimis bahkan pesimis terhadap pemilu. Rasa pesimis pada pemilu bagi sebagian orang tentu merupakan persoalan besar bagi Komisi Pemilihan Umum ditengah gencarnya himbauan untuk berpartisipasi secara aktif dalam pemilu yang akan datang sebab anggapan sebagian orang bahwa memilih adalah hak yang tidak ada sanksi apapun padahal sejatinya hak itu menjadi salah satu penentu keberlangsungan demokrasi dan masa depan bangsa.
Fenomena rendahnya Partisipasi pemilih
Fenomena rendahnya partisipasi politik masyarakat sebagai pemilih merebak pada beberapa pemilu, baik nasional maupun kepala daerah. Sebuah apatisme politik warga negara terhadap proses politik yang ada. Banyak yang akhirnya memilih Golput sebagai sikap politik yang dinilai tepat oleh masyarakat. Demokrasi ini tentu kurang sehat jika partisipasi pemilih dalam pemilu rendah sebab salah satu ukurannya adalah tingginya warga dalam menyalurkan hak pilihnya. Hak pilih menentukan masa depan negara, masa depan pemerintahan setidaknya lima tahun kedepan.
Di kutip dari berbagai sumber bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi rendahnya partisipasi pemilih dalam pemilu, salah satunya maraknya golput. Menurut Eep Saefullah golput terbagi atas empat golongan. Pertama, golput teknis, yakni mereka yang karena sebab-sebab teknis tertentu berhalangan hadir ke tempat pemungutan suara, atau mereka yang keliru mencoblos sehingga suaranya dinyatakan tidak sah. Kedua, golput teknis-politis, seperti mereka yang tidak terdaftar sebagai pemilih karena kesalahan dirinya atau pihak lain ( penyelenggara pemilu). Ketiga, golput politis, yakni mereka yang merasa tak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tak percaya bahwa pileg/pilkada akan membawa perubahan dan perbaikan. Keempat, golput ideologis, yakni mereka yang tak percaya pada mekanisme demokrasi (liberal) dan tak mau terlibat di dalamnya entah karena alasan fundamentalisme agama atau alasan politik-ideologi lain.
Dari konteks diatas maka kita bisa menarik benang merahnya bahwa faktor penyebab seseorang tidak menggunakan hak pilihnya karena faktor teknis, faktor politik, faktor sosialisasi, faktor administrasi. Artinya bahwa permasalahan yang muncul di masyarakat ini bisa dikatakan permasalahan klasik yang sering muncul ketika menjelang pemilu dan seolah menjadi permasalahan rutin yang terkesan tidak begitu penting, padahal justru ini bisa menjadi pintu masuknya permasalahan hukum pemilu terutama pidana pemilu.
Bahwa kemudian pemilu serentak masih menyisakan waktu setahun lagi bukan berarti antisipasi akan munculnya permasalahan serius tidak dilakukan, justru penyelenggara pemilu mesti menjadikan waktu yang singkat ini untuk benar benar serius membenahi masalah masalah klasik tersebut.
Kesuksesan pemilu pada tahun 2024 yang akan datang tentu dimulai dari kesuksesan penyelenggaranya, bagaimana kemampuan, kecepatan dan ketepatan dalam merespon, memetakan dan memperbaiki permasalahan yang ada secara tepat dan benar sebab secara teknis dan administratif otoritasnya ada pada penyelenggara pemilu dan tidak boleh salah dalam bertindak sebab sekecil apapun kesalahan itu maka akan selalu membawa konsekuensi baik hukum maupun administrasi.
Dan keberhasilan pemilu tahun 2024 yang akan datang tentu tidak menafikan peran pemerintah dan masyarakat secara umum, pemerintah memiliki tanggung jawab dan otoritas dalam menjalankan roda pemerintahan secara benar termasuk kepemiluan, dan masyarakat sebagai subyek sekaligus obyek pun juga demikian. Pemilu tahun 2024 yang akan datang menjadi ujian bagi bangsa ini ditengah hangatnya isu resesi ekonomi dunia yang sewaktu waktu bisa mengancam perhelatan demokrasi terbesar negeri ini, dan pemilu itu juga menjadi barometer penting tentang matangnya berdemokrasi bangsa ini.(*)